Yah, kecuali jika ada yang memerhatikan detail alat bantu dengar yang terpasang di telinganya. Benar. Davie memang tuna rungu. Dia tak merespon suara apapun sejak kelahirannya. Dia bahkan tak menangis. Hasil pemerikasaan audiometri menunjukkan derajat ketuliannya mencapai 110 desibel. Itu artinya, Davie tak bisa mendengar suara apapun yang lebih pelan dari ledakan meriam.
Meski demikian, Davie anak cerdas. Terapi bicara yang dijalani membuatnya semakin lancar berucap. Dia juga cukup pandai membaca gerakan bibir lawan bicaranya. Aku sendiri tak pernah kesulitan berkomunikasi dengannya.
Dalam hal ini, rasa terima kasih tak terhingga harus kusampaikan pada seorang gadis dari masa laluku. Nada, gadis tunarungu yang tak hanya berhasil mengajariku bahasa isyarat, namun juga bahasa cinta. Gadis yang padanya aku selalu menaruh hati.
Sayang, niatku mempersuntingnya sama sekali tak mendapat restu. Ibuku menenentang keras kala kupertemukan dengan Nada untuk pertama kalinya. “Bagaimana mungkin musisi sepertimu memilih gadis cacat ini sebagai pendamping? Demi almarhum ayahmu, selagi aku masih bernyawa, tak akan kubiarkan si tuli ini jadi menantuku!”
Dan begitulah. Ibu menamatkan kisahku bersama Nada begitu saja. Sebagai gantinya, beliau menyodorkan gadis lain, yang di kemudian hari menjadi istriku. Kartika, seorang violinist cantik sekaligus putri tunggal pemilik yayasan sekolah musik ternama yang punya cabang hampir di setiap kota. Anggun, pintar, memesona, dan kaya raya. Mungkin kata-kata itu yang tepat untuk menggambarkan seorang Kartika.
Sempurna? Sama sekali tidak!
Ibuku saja yang buta lantaran tak mampu melihat ada cacat demikian parah dari menantu kesayangannya itu. Jika Nada hanya gadis yang kehilangan sebagian pendengarannya, maka Kartika adalah perempuan iblis yang telah kehilangan seluruh hatinya. Ya, dia sungguh wanita tanpa perasaan. Tak sedikitpun ia peduli pada kehamilan maupun janin yang dikandungnya. Entah berapa kali kupergoki dia asyik merokok dan menenggak vodka, padahal perut buncitnya kian membesar. Teguranku hanya dianggapnya angin lalu.
Bahkan ketika Davie lahir, tak satu kali pun Kartika mau menyentuhnya. Hatiku tak habis bertanya, ibu macam apa dia?
Saat beberapa bulan kemudian dokter memvonis Davie punya masalah serius pada syaraf pendengaran, Kartika justru semakin jarang pulang. Puncaknya, ibuku sendiri yang memergokinya tengah tidur dengan lelaki lain ketika aku sibuk di rumah sakit. Ibuku murka.
Kartika kabur, dan belum kembali hingga detik ini. Hal itu berimbas pada kesehatan ibuku yang menurun drastis. Entah tak sanggup menanggung malu karena ulah menantu atau karena tertekan dengan kondisi Davie, sakit ibu memburuk dengan cepat. Stroke menyiksanya selama setahun penuh sebelum akhirnya meninggal dunia dalam tidur.
“Apa kabar, Bu?” aku bermonolog pada lukisan potret ibu yang tergantung di ruang tamu. “Menyesalkah kau sekarang? Semua ini jelas tidak akan terjadi jika Nada yang jadi menantumu. Ah, dulu kau menolaknya hanya karena ia tak bisa mendengar. Tapi lihatlah kini, cucu semata wayangmu ternyata juga sama tulinya. Karma-kah ini? Aku sungguh tidak tahu, Bu... Tapi kuharap, dimana pun Nada berada kini, dia sudah memafkanmu. Memaafkan kita...”