Piano itu sudah tak pernah lagi terdengar dentangnya di rumah ini. Sudah berapa lama? Entahlah, aku sendiri tidak yakin. Mungkin enam..., ehm, bukan! Tujuh. Ya, hampir tujuh tahun rasanya. Sama seperti umur Davie.
Aku memang pernah menggantungkan hidup dan duniaku pada musik. Pada piano. Pada kelompok orkestra terkenal yang membesarkan namaku. Segalanya telah kutinggalkan sejak bertahun lalu, hanya beberapa bulan setelah putra semata wayangku lahir.
***
“Papa...!”
Senyumku spontan mengembang pada sumber suara di pintu depan. Tubuh mungil dan lincah itu langsung melesat ke arahku yang berjongkok, menyambutnya dalam pelukan. Ah, menghirup aroma apel di rambut ikalnya benar-benar menenangkan.
“Davie, papa selalu bilang apa? Hati-hati...,” kataku sembari menatap lembut mata mungilnya. Kedua tanganku yang jari tengah dan telunjuknya membentuk huruf V saling kubenturkan beberapa kali. Sebuah gerakan isyarat standar yang bermakna ‘hati-hati’.
Davie balas menatapku. Tangan kanannya bergerak memutar persis di depan dada. “Ma-af, Pa-pa,” ucapnya terbata. Namun bibirnya tersenyum. Bocah itu tahu bahwa aku sama sekali tak marah padanya.
Kuusap puncak kepalanya dengan sayang. “Sana, tukar baju dulu. Papa tunggu di meja makan...”
Davie menurut. Dia melangkah menuju kamarnya di lantai atas, diikuti Mbok Rum yang baru keluar dari dapur. Kuperhatikan punggung anak kesayanganku itu lekat-lekat. Dengan seragam biru kotak-kotak dan tas spider man, dia benar-benar tampak seperti bocah TK biasa yang demikian normal. Tak akan ada yang menyangka jika dia sebetulnya punya kekurangan.