Mohon tunggu...
Arako
Arako Mohon Tunggu... Freelancer - Freelancer

Best in citizen journalism K-Award 2019 • Pekerja Teks Komersial • Pawang kucing profesional di kucingdomestik.com

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

[Fiksi Horor dan Misteri] Rembulan Merah Darah

30 September 2016   08:12 Diperbarui: 20 April 2017   12:15 269
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

 

Bulan tampak tipis di atas sana. Setipis senyum ibu yang selalu menghias wajah cantiknya. Dulu.

Bulan yang sama mengintip malu-malu. Dari sela gumpalan awan yang terlihat seperti tirai kelambu putih, namun sepuluh tahun tak dicuci. Kelabu.

Aku termenung di jendela kaca besar di ruang tengah. Dari sini pemandangan langit tampak jelas karena lampu selalu diredupkan. Dari sini pula aku bisa leluasa memandang ibu tanpa membuatnya histeris dan mencakari wajahnya sendiri.

Ya. Perempuan kurus dengan rambut panjang awut-awutan yang duduk di balik piano putih besar itu ibuku. Kali ini dia membatu dengan wajah kosong sepucat hantu. Ah, benar-benar sebuah ketenangan yang semu. Sebentar juga ibu akan berteriak-teriak lagi seperti biasa.

Sudah hampir tiga tahun ibu jadi aneh begitu. Tepatnya, sejak ayah meninggal. Saat itu aku masih berumur lima tahun. Kata orang-orang, ibu sudah gila. Dirasuki arwah ayah yang mati tidak wajar. 

Benarkah?

Aku tidak tahu.

Yang kutahu adalah, aku dilarang Eyang Uti mendekati ibu. Wajahku yang terlampau mirip dengan ayah akan membuatnya menjerit-jerit lagi. Membuatnya tak bisa melupakan ayah meski telah pergi bertahun-tahun.

***

 

Lagu ini.

Instrumental lembut nan elegan yang begitu familiar di telingaku. Manis. Meski entah bagaimana ada seberkas kesedihan mengalun di dalamnya. Bagaimanapun, musik indah menghipnotisku untuk melangkah menuju sumber suara : piano besar di ruang tengah.

Ibuku.

Jemarinya menari balet di atas tuts hitam putih yang mirip zebra cross mini itu. Matanya terfokus pada lembar partitur penuh ukiran not balok di depannya. Bisa kubaca tulisan "Wait There" tercetak di bagian tengah atas kertas.

Sebetulnya ibu bukan seorang pianis. Dia perangkai bunga. Dia jatuh cinta pada ayah, guru piano di sebuah sekolah musik ternama.

Ibu yang dulu pecinta berat musik klasik, belakangan begitu menyukai karya-karya Yiruma yang terdengar lebih ringan di telinga. Dia selalu meminta ayah memainkannya jika tiba di rumah.

Ibu memejamkan mata dan larut dalam permainannya. Caranya bermain, jelas tak sebaik ayah. Namun lagu ini, aku menyukainya. Selalu. Rasanya seperti mendengarkan senandung Nina Bobo yang mengantarku pada ujung lelap.

 

Kuperhatikan Ibu. Dari segaris celah di matanya yang tertutup, butiran kristal basah mengalir keluar. Butiran yang sama sepertinya hinggap pula di mataku. Ah..., aku tahu. Ibu --sama sepertiku--, pasti terkenang hari itu.

Hari terakhir ayah bersama kami.

***

"Sayang, kau membuat Arcel tidur di bawah piano lagi..."

Sayup kudengar suara ibu mendekat begitu ayah selesai memainkan "Wait There" untuk ke-sejuta kalinya. Aku merasa tubuhku begitu ringan, meski mataku terasa berat. Pasti aku akan benar-benar tertidur jika ayah mau bermain satu kali lagi.

"Oh ya?" Ayah pura-pura tidak tahu. Dia lalu membungkukkan badan, melongok ke kolong piano, tempatku berbaring menelungkup. "Wah..., benar! Jagoan Ayah kenapa tidur di lantai?"

Kurasakan tangan ayah menarikku lembut, berhati-hati agar kepalaku tak terantuk, kemudian membawaku dalam gendongannya.

"Ayah," kataku dengan suara serak, kukucek kedua mataku. "Nanti jadi kan nonton Spiderman?"

"Jadi dong. Tapi Ayah ngajar dulu sebentar. Arcel nanti berangkat sama Ibu, ya?"

Aku berpindah ke gendongan ibu. Ayah menciumku dan ibu bergantian. Dia mengacak pula rambut keritingku dengan sayang.

"Ayah nanti nyusul ke bioskop. Tunggu di sana, ya?"  Ayah melambaikan tangan.

Namun ayah tak pernah menyusul kami yang sudah berjam-jam menunggu di bioskop. Entah sudah berapa kotak pop corn yang kuhabiskan. Langit semakin menggelap, dan muncul bulan semerah darah ketika ibu mengajakku pulang.

Dalam perjalanan pulang, ibu mendapat kabar. Taksi yang ditumpangi ayah menabrak bus kota, sebelum akhirnya terbalik dan terjun bebas dari fly over.

***

 

Wait There.

Ibu masih memainkannya. Namun ketika sampai di nada yang harus dimainkan dengan makin cepat, semakin deras pula air mata mengalir di pipi ibu. Mencipta guncangan hebat di bahunya.

Aku tergugu melihatnya...

Oh, betapa ingin kupeluk ibuku. Biar kuhapus kristal itu dari matanya. Biar kubalut luka di batinnya.

Perlahan, kudekati ibu. Aku tidak tahan lagi. Aku sungguh ingin memeluknya. Ingin kukatakan bahwa bukan hanya ibu yang merindukan Ayah, aku juga. Bukan hanya ibu yang kehilangan ayah, aku juga. 

Kusentuh rok bunga-bunga ibu dari samping. Kuberanikan diri menginterupsi tangisannya.

"Bu..., ini Arcel..."

Ibu tersentak.

"Pergi...," desisnya. 

Aku terluka. Ibu tampak terusik dengan kehadiranku.

"Tapi, Bu..."

"Ibu bilang pergi!" suaranya lebih keras, kini bergetar penuh kemarahan. "Jangan ganggu Ibu..."

Air mataku menggenang. Ibu bahkan tak mau memalingkan wajahnya padaku. "Bu..."

"PERGIIIII.....AAAARRGHHHHHH....PERGI KAMU!!!! AAAAAAAAAAAAAA!!!!!!!"

Aku bergidik. Ibuku benar-benar kalap. Dia mulai menjambaki rambutnya sendiri. Oh... Oh... Oh..., gawat! Ibu akan melukai dirinya sendiri lagi.

"Eyang! Eyang Uti...," seruku ketakutan. Dalam hati mengutuk diriku sendiri. Apa yang kulakukan pada ibu?

"Eyaaang, cepatlaahh. Tolong Ibuu..."

Syukurlah Eyang mendengar teriakku. Dia muncul, diikuti Mbak Sari, asisten rumah tangga kami yang baru. Keduanya berkutat menenangkan Ibu yang jeritannya tak ubah seperti hewan disiksa. Aku mundur, merapat ke sudut. Melihat segalanya dengan tatapan ngeri. Ibuku benar-benar seperti orang kesurupan.

Aku tak tahu butuh waktu berapa lama, namun akhirnya Ibu bisa sedikit tenang. Kini, lengkingnya tak lebih dari isak.

"Arcel, Ma...," kata Ibu di pelukan Eyang.

Mendengar namaku keluar dari mulut Ibu, aku mengangkat wajah yang tanpa sadar sudah bersimbah air mata. Meski demikian, aku masih tak berani mendekat. Aku takut Ibu akan histeris lagi.

"Arcel..., dia..., dia di sini, Ma..."

"Ssshhh," kata Eyang. "Sudahlah Sila. Ikhlaskan..."

"Arcel..., maafkan Ibu. Arcel, maafkan Ibu. Arcel, maafkan Ibu. Kalau bukan karena Ibu, kamu nggak akan tenggelam di kolam renang. Maafkan Ibu, Nak...," isaknya.

Tenggelam di kolam renang? Aku?

Ah. Benar...!

Saat itu belum genap sebulan sejak ayah dimakamkan. Ibuku mulai berteriak-teriak seperti orang gila. Dalam satu kekalutannya, Ibu bilang tak ingin melihat wajahku lagi. Aku yang syok hanya bisa menangis dan lari keluar. Aku tak ingat lagi detailnya sekarang, yang jelas aku terpeleset dan masuk dalam kolam, tanpa seorang pun menyadari.

Jadi..., selama ini..., aku?

***

Bulan masih satu. Angkuh menyinar cahaya lembutnya yang mengerikan. Entah perasaanku, atau kali ini warnanya benar-benar semerah darah? Sama dengan yang kulihat di hari kematian ayah.

Dentang piano menggema di ruang tengah.

Wait There. Saat ayah memainkannya dulu, dia belum pernah gagal membuatku lelap.

 

Wait There. Ketika jemari ibuku yang ganti memainkannya, itu pertanda...

Wait There. Saatku berpulang telah tiba.


Rembulan merah darah.

Ibu. Aku akan menunggumu di sana. 


*********

 

Palembang. Akhir September '16

 

 

[caption caption="Fiksiana Community"][/caption]

 

 


*********

 

Palembang. Akhir September '16

 

 

Fiksiana Community
Fiksiana Community

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
  8. 8
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun