"Arcel..., dia..., dia di sini, Ma..."
"Ssshhh," kata Eyang. "Sudahlah Sila. Ikhlaskan..."
"Arcel..., maafkan Ibu. Arcel, maafkan Ibu. Arcel, maafkan Ibu. Kalau bukan karena Ibu, kamu nggak akan tenggelam di kolam renang. Maafkan Ibu, Nak...," isaknya.
Tenggelam di kolam renang? Aku?
Ah. Benar...!
Saat itu belum genap sebulan sejak ayah dimakamkan. Ibuku mulai berteriak-teriak seperti orang gila. Dalam satu kekalutannya, Ibu bilang tak ingin melihat wajahku lagi. Aku yang syok hanya bisa menangis dan lari keluar. Aku tak ingat lagi detailnya sekarang, yang jelas aku terpeleset dan masuk dalam kolam, tanpa seorang pun menyadari.
Jadi..., selama ini..., aku?
***
Bulan masih satu. Angkuh menyinar cahaya lembutnya yang mengerikan. Entah perasaanku, atau kali ini warnanya benar-benar semerah darah? Sama dengan yang kulihat di hari kematian ayah.
Dentang piano menggema di ruang tengah.
Wait There. Saat ayah memainkannya dulu, dia belum pernah gagal membuatku lelap.