"Sayang, kau membuat Arcel tidur di bawah piano lagi..."
Sayup kudengar suara ibu mendekat begitu ayah selesai memainkan "Wait There" untuk ke-sejuta kalinya. Aku merasa tubuhku begitu ringan, meski mataku terasa berat. Pasti aku akan benar-benar tertidur jika ayah mau bermain satu kali lagi.
"Oh ya?" Ayah pura-pura tidak tahu. Dia lalu membungkukkan badan, melongok ke kolong piano, tempatku berbaring menelungkup. "Wah..., benar! Jagoan Ayah kenapa tidur di lantai?"
Kurasakan tangan ayah menarikku lembut, berhati-hati agar kepalaku tak terantuk, kemudian membawaku dalam gendongannya.
"Ayah," kataku dengan suara serak, kukucek kedua mataku. "Nanti jadi kan nonton Spiderman?"
"Jadi dong. Tapi Ayah ngajar dulu sebentar. Arcel nanti berangkat sama Ibu, ya?"
Aku berpindah ke gendongan ibu. Ayah menciumku dan ibu bergantian. Dia mengacak pula rambut keritingku dengan sayang.
"Ayah nanti nyusul ke bioskop. Tunggu di sana, ya?" Â Ayah melambaikan tangan.
Namun ayah tak pernah menyusul kami yang sudah berjam-jam menunggu di bioskop. Entah sudah berapa kotak pop corn yang kuhabiskan. Langit semakin menggelap, dan muncul bulan semerah darah ketika ibu mengajakku pulang.
Dalam perjalanan pulang, ibu mendapat kabar. Taksi yang ditumpangi ayah menabrak bus kota, sebelum akhirnya terbalik dan terjun bebas dari fly over.
***