Sejarawan Jan Bremen dalam bukunya yang berjudul Keuntungan Kolonial dari Kerja Paksa Sistem Priangan dari Tanam Paksa Kopi di Jawa 1720-1870, menjelaskan bahwa setelah Verenigde Oost Indische Compagnie (VOC) jatuh, Herman Willem Daendels dikirim oleh Belanda untuk menjadi Gubernur Jenderal Hindia Belanda ke-36.
Dalam aturannya, Daendels kala itu masih berpegang teguh pada pendapat petani-petani Jawa tak pernah jadi pemilik tanah. Kondisi masa kolonial memang suram. Banyak bangsawan Bumiputera yang menikmati kemewahan sejak VOC berkuasa, lewat memeras para penduduk yang berprofesi sebagai petani. Namun apa yang terjadi ratusan tahun lalu itu sebetulnya tak pernah benar-benar terhapus hingga masa modern 2025 saat ini.
Ya, negeri ini sebetulnya tak pernah benar-benar merdeka dari para oligarki.
Jika Aristoteles pernah menjelaskan bahwa oligarki merupakan kekuasan yang dipegang segelintir orang dan merupakan manifestasi dari pemerintahan yang buruk, bukankah itu yang tengah ramai dialami oleh masyarakat Desa Kohod, Pakuhaji, Kabupaten Tangerang baru-baru ini? Membuat mereka menjerit lantaran mafia-mafia tanah tak hanya menguasai daratan, tapi juga perairan yang jadi sumber penghidupan mereka?
Bayangkan saja, sepanjang 30,16 kilometer pagar laut dipasang di pesisir Alar Jimab sana.
Jika menurut Daniel Jonan yang merupakan anggota DPR RI, pagar laut yang tersusun dari bambu, anyaman, paranet dan pemberat karung pasir, maka bukankah itu merupakan indikasi tahapan reklamasi? Karena pagar laut itu bisa menumpuk sedimentasi di dasar laut sehingga tanah akan semakin naik dan menjadi lahan luas mencapai 30 juta meter persegi.
Berapa nominalnya? Hampir Rp300 triliun.
Siapa pemiliknya? PT Cahaya Intan Sentosa (CIS) dan PT Intan Agung Makmur (IAM). Perusahaan yang disebut-sebut punya hubungan dengan para pemilik proyek pemukiman elite di Jakarta.
Konglomerat.
Mereka yang hanya sejumlah 1% di Indonesia ini.