Orang bilang tanah kita tanah surga
Tongkat kayu dan batu jadi tanaman
Saat aku kecil dulu, lagu berjudul Kolam Susu yang dinyanyikan Koes Plus itu sering sekali didendangkan oleh Ayahku. Terkadang almarhumah Ibuku juga ikut bersenandung kecil sambil tersenyum. Memang bagi manusia-manusia Baby Boomer seperti mereka, Koes Plus lebih dari sekadar musisi tapi seniman yang mampu menangkap kepingan sejarah negeri lewat musik.
Sang empunya lagu, mendiang Yon Koeswoyo pernah menjelaskan lirik metafora yang dirilis tahun 1973 itu. Menurutnya, 'tongkat kayu' itu adalah batang pohon sedangkan 'batu' adalah singkong. Imaji Kolam Susu memang boleh menggelinding dengan liar. Namun banyak orang sepakat kalau lagu itu menggambarkan betul kekayaan alam Indonesia mulai dari tanah yang subur hingga matahari bersinar sepanjang tahun, sehingga urusan kebutuhan pangan bukanlah masalah di negara Gemah Ripah Loh Jinawi ini. Karena tanah di Indonesia bisa membuat 'tongkat kayu' dan 'batu' jadi tumbuhan yang dapat dikonsumsi.
Tetapi, bagaimana jika tanah-tanah surga itu tak pernah benar-benar menjadi milik masyarakat negeri ini?
Bagaimana jika lahan-lahan Ibu Pertiwi yang sepatutnya dimanfaatkan untuk kesejahteraan rakyat justru dikuasai oleh segelintir orang atau entitas yang begitu pongah disebut sebagai oligarki?
Ironis memang.
Tapi itulah masalah yang benar-benar terjadi di daratan Merah Putih ini.
Saat 59% Lahan di Indonesia Milik Para Konglomerat
"Satu persen dari orang Indonesia menguasai hampir 59 tanah di Republik ini, di luar kawasan hutan. Karena itu jangan sampai anak cucu kita nanti tinggal di lahan-lahan milik konglomerat-konglomerat itu. Mereka harus tinggal di lahan-lahan mereka sendiri, melalui reforma agraria," -- Parman Nataatmadja, Kepala Badan Bank Tanah