Sampai suatu hari diawal tahun ini, mata saya tertambat di sebuah post instagram. “Ketika Mas Gagah Pergi, segera tayang 21 Januari 2016”
Serius...? Saya wajib nonton.
Saya bukan penonton bioskop yang rutin, selain karna Lubuklinggau dan Bukittinggi tak punya bioskop besar. Diotak saya, terlanjur nempel kata kata ustadz waktu saya diasrama, “Kalau tiba tiba kita mati di bioskop, apa yang akan kita jawab di hadapan Allah saat pertemuan nanti..?” katanya berapi api sekaligus efektif membuat pesannya Terngiang ngiang Sampai sekarang. Barangkali kata kata ini yang sering bikin deg deg-an kalau masuk Bioskop.
Adalah istri saya yang produk kota besar, memberi argumentasi soal “perang” dilayar lebar. Asumsinya, kita masuk atau tidak masuk ke industri layar lebar, orang orang akan tetap berdatangan ke bioskop. Semakin kita menjauhinya, maka pilihan tontonan akan sepenuhnya tidak dapat kita pengaruhi.
Saya pun jadi mahfum soal dunia yang menawarkan budaya moralitas di rimba Hiburan, penggiat penggiat film islami itu semacam Pejuang dijalan sunyi. Sepi, lantaran terjepit antara kaum aktivis islam dengan syubhat bioskop, Ghazwul fiqri, belum termasuk Ikhtilat, berlebih lebihan dalam yang mubah, dan berbab-bab lagi ruang diskusi soal manfaat dan mudharat bioskop.
Disisi lain, penggiat tontonan harus menghadapi rimba raya dunia hiburan, dengan fragmatisnya Production House, dengan moralitasnya, dengan kapitalisme yang menggurita sekaligus baru dikenal para penggiat ini.
Bukan urusan mudah. Istri saya bilang, kalau ada kesempatan, kita harus tonton film film yang digagas para aktifis. Sepanjang kita tau orang orang dibalik film itu dapat dipercaya, tontonlah..!!. Mungkin tidak bagus, mungkin ceritanya melenceng dari aslinya, mungkin proyeknya idealis tapi pemainnya tidak natural, tidak bisa akting, tapi tontonlah.
Karena bikin film itu mahal, karna meyakinkan production house itu tidak mudah, karna mencari pemeran yang singkron antara peran dan keseharian itu sulit, karna memakai jaringan bioskop yang sampai kekota-kota kecil itu tidak sederhana.
“Tontonlah bang...!!” kata istri saya, biar penggiat budaya bernuansa islami itu tidak kapok, tidak jatuh miskin karna mengarap film islami, tidak sakit hati karna tak dihargai.
Yap, saya memutuskan untuk nonton. Terlebih karna faktor HTR, saya berhutang banyak pemahaman dengan membaca buku bukunya dimasa lalu. Favorit saya cerita Jaring jaring merahnya yang bersetting aceh masa Pendudukan.
Akhirnya saya nonton juga, setelah melihat tak satupun pemeran utamanya saya kenal, agak ngeri juga membayangkan bagaimana film ini akan dihidangkan. Tidak ada aktor utama jaminan mutu seperti ayat ayat cintanya kang abik. Saya takut film ini gagal.