Sutradara : Firman Syah
Penulis : Skenario Fredy Aryanto
Penulis : Novel Helvy Tiana Rosa
Pemain : Hamas Syahid, Aquino Umar, Masaji Wijayanto, Izzah Ajr
Saya lupa kapan persisnya mendengar Helvi Tiana Rosa menyampaikan akan mem-filmkan novel “Ketika Mas Gagah Pergi”, sepertinya beberapa bulan lalu yang tak lama. Kalau tidak salah ingat, saya mengetahuinya lewat Twiter. Tapi saya ingat betul, tanggapan saya pertama kali tau bahwa novel ini akan difilimkan, “Nekat”.
Yah HTR nekat, lebih khusus lagi ketika di publikasi berikutnya, disebutkan film ini akan di buat patungan. yang saya tau, patungan jenis ini mentok mentoknya balik bandar. Alias HTR yang akan nutupin kekurangan sumber dananya. Dan post nomer rekening untuk yang mau menyumbang bikin saya sadar, ini akan jadi urusan serius. ini bukan jenis nekat biasa, ini sub spesialis nekat “nomer 99”.
Ada yang saya sesali waktu itu, “saya tidak tergerak untuk ikut patungan”. Bukan karna saya tidak sepakat dengan ide besar merevolusi budaya dunia hiburan atau ide tentang tontonan berkualiatas dan bermoral. Bukan, bukan itu.
Tapi saya kepalang pundung, karna saya pernah kecewa menanti film ini. Waktu itu saya masih di Rohis Sekolah, cerita buku ini akan di filmkan sudah sempat diumumkan di majalah Annida, Mas gagah waktu itu di perankan oleh seorang dari tim nasyid yang konon hapal 10 juzz alqur’an.
Tapi kabar itu menguap, di ganti asumsi besar dibenak saya. Buku ini tak akan pernah punya tempat di layar bioskop, production house akan mengambil sari pati romantisme kakak adik di film ini, dan akan membuang jauh nilai nilai “mahal” didalam-nya.
Jadi, saya antusias sekaligus ngeri dengan keberanian HTR.
Tapi, toh saya akhirnya tidak tertarik. Tidak ikut patungan, pun tidak ikut perkembangan. Saya memang mendengar proses syuting telah, tapi informasinya menguap dibenak saya, secepat pergantian time line Twitter Asma Nadia yang cerita tentang film-nya yang kesekian.
Sampai suatu hari diawal tahun ini, mata saya tertambat di sebuah post instagram. “Ketika Mas Gagah Pergi, segera tayang 21 Januari 2016”
Serius...? Saya wajib nonton.
Saya bukan penonton bioskop yang rutin, selain karna Lubuklinggau dan Bukittinggi tak punya bioskop besar. Diotak saya, terlanjur nempel kata kata ustadz waktu saya diasrama, “Kalau tiba tiba kita mati di bioskop, apa yang akan kita jawab di hadapan Allah saat pertemuan nanti..?” katanya berapi api sekaligus efektif membuat pesannya Terngiang ngiang Sampai sekarang. Barangkali kata kata ini yang sering bikin deg deg-an kalau masuk Bioskop.
Adalah istri saya yang produk kota besar, memberi argumentasi soal “perang” dilayar lebar. Asumsinya, kita masuk atau tidak masuk ke industri layar lebar, orang orang akan tetap berdatangan ke bioskop. Semakin kita menjauhinya, maka pilihan tontonan akan sepenuhnya tidak dapat kita pengaruhi.
Saya pun jadi mahfum soal dunia yang menawarkan budaya moralitas di rimba Hiburan, penggiat penggiat film islami itu semacam Pejuang dijalan sunyi. Sepi, lantaran terjepit antara kaum aktivis islam dengan syubhat bioskop, Ghazwul fiqri, belum termasuk Ikhtilat, berlebih lebihan dalam yang mubah, dan berbab-bab lagi ruang diskusi soal manfaat dan mudharat bioskop.
Disisi lain, penggiat tontonan harus menghadapi rimba raya dunia hiburan, dengan fragmatisnya Production House, dengan moralitasnya, dengan kapitalisme yang menggurita sekaligus baru dikenal para penggiat ini.
Bukan urusan mudah. Istri saya bilang, kalau ada kesempatan, kita harus tonton film film yang digagas para aktifis. Sepanjang kita tau orang orang dibalik film itu dapat dipercaya, tontonlah..!!. Mungkin tidak bagus, mungkin ceritanya melenceng dari aslinya, mungkin proyeknya idealis tapi pemainnya tidak natural, tidak bisa akting, tapi tontonlah.
Karena bikin film itu mahal, karna meyakinkan production house itu tidak mudah, karna mencari pemeran yang singkron antara peran dan keseharian itu sulit, karna memakai jaringan bioskop yang sampai kekota-kota kecil itu tidak sederhana.
“Tontonlah bang...!!” kata istri saya, biar penggiat budaya bernuansa islami itu tidak kapok, tidak jatuh miskin karna mengarap film islami, tidak sakit hati karna tak dihargai.
Yap, saya memutuskan untuk nonton. Terlebih karna faktor HTR, saya berhutang banyak pemahaman dengan membaca buku bukunya dimasa lalu. Favorit saya cerita Jaring jaring merahnya yang bersetting aceh masa Pendudukan.
Akhirnya saya nonton juga, setelah melihat tak satupun pemeran utamanya saya kenal, agak ngeri juga membayangkan bagaimana film ini akan dihidangkan. Tidak ada aktor utama jaminan mutu seperti ayat ayat cintanya kang abik. Saya takut film ini gagal.
Dan benar saja, lima belas menit pertama film ini berleha-leha. berlama lama dengan background suara Gita yang kurang natural. Meskipun tidak se-kaku Kholidi sebagai Azzam di Ketika cinta bertasbih, tapi hamash syahid keulitan dibanyak adegan. terutama untuk menghasilkan chemistry dengan aquino umar. Adegan jatuhnya mas gagah juga kurang dramatis untuk membuka cerita.
Untungnya Film ini memasang Wulan Guritno, film makin luwes setelah tokoh ibu Mas Gagah ini mulai mengambil peran. Meskipun lambat diawal makin keujung fimnya makin bisa dinikmati.
Joke joke ringannya bak pelumas yang membantu film ini menggelinding, beberapa bahasa anak gaul membuat saya butuh beberapa detik untuk memahaminya, dan ketawa delay sendirian. bikin saya sadar saya semakin berumur, he he he By the way Ada yang tau arti nongci nongci syanci ga..?*
Ide HTR untuk memasukkan semua konten buku kedalam film juga bukan tanpa resiko. Beberapa adegan terlihat berdiri sendiri, tapi pesannya jadi kuat sekali ; Tentang Palestina, tentang aktivis dakwah kampus, tentang komitmen murajaah Alqur’an.
Sepanjang adegan saya bisa melihat dengan jelas, HTR tidak berkompromi soal prinsip sekecil apapun di film ini. Adegan adegannya mirip anak HTR, dijaga, dirawat, dan diukur pada porsi yang sesuai dengan nilai nilai yang ingin dia bangun. Salute.
Jika para aktifis menonton film ini ditengah keramaian penonton lainnya. Maka bisa dipastikan ada beberapa adegan yang membuat dia tertawa sendirian. Film ini bak misionaris ulung, ada pesan Ghadhul bashar, ada murajaah, ada juga liqa, ada anak rohis maupun lantunan nasyid lawas, semacam mengingatkan kita tentang dunia seperti apa yang kita perjuangkan selama ini.
Adegan yang paling sukses mengembalikan ingatan saya adalah adegan resepsi pernikahan yang dipisah, sukses bikin saya mengacungkan jempol untuk HTR. Ini bukan pengingat, ini benar benar keberanian menunjukkan identitas.
Sebenarnya dua pemeran utama di fim ini bukan tidak bagus, Aquino Umar malah cukup bersinar di sini meskipun belum halus, dia semacam versi lain Nirina Zubir dalam dunia akting, yang dibutuhkannya Cuma jam terbang, masa depannya dunia filmnya pasti cerah.
Yang menarik pula Hamash Syahid, dibanyak adegan dia sangat natural, tapi semacam memang kesulitan menghasilkan chemistry ketika beradu peran dengan perempuan. Jika sedang beradu adegan Wulan Guritno, Seperti yang saya sampaikan tadi, faktor wulannya sangat besar membantu. Tapi banyak sekali adegan nanggung saat dengan Aquino umar. Tebakan saya si mas Gagah ini tidak begitu nyaman berakting sedekat itu dengan perempuan.
Dan beruntungnya dibanyak adegan Hamash Syahid tetap bisa menginspirasi anak anak muda. seperti adegan hafalan dan Membaca Alqur'an yang sepertinya memang dia Hapal. banyaknya artis terkenal yang jadi Cameo menjadi hiburan tersendiri, konon orang orang ini suka rela membantu terwujudnya film ini.
Kekuatan terbesar dari film ini memang ceritanya yang kuat, jadi lubang lubang kecil tadi lancar lancar saja dieksekusi karna memang ceritanya sudah berkarakter. Film ini bisa disebut oase yang lebih berani. Setelah Fase Film Ayat Ayat Cinta yang fenomenal itu, film ini semacam tonggak baru keberanian tentang identitas, tentang tontonan mendidik, tentang moral yang diperjuangkan HTR.
Penting di tonton sekeluarga untuk mengingatkan ide membangun keluarga islami ideal, sekaligus penting juga ditontong oleh anak anak muda yang mencari jati diri.
Terakhir saya sampaikan salam takzim kepada Mbak Helvi dan Team, untuk mimpi mimpinya, untuk idealismenya yang menyemangati.
Pangkalan kerinci, 24 Januari 2016.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H