Dalam Pengungsian #24
Ndalem Alit Wanabayan, Kotapraja
Dan demikianlah untuk beberapa saat, Baruklinting menjadi penguasa Mangir tanpa ada gangguan dari siapa pun. Untuk beberapa saat? Ya. "Siapa dapat menjamin bahwa kekuasaan adalah abadi". Baruklinting juga berpandangan demikian. Sebab dia masih teringat kepada pesan wisik dari Lintang Panjer Sore di Gua Langse, bahwa setelah terjadi prahara di Mangir, kekuasaan dan kejayaan Baruklinting akan meredup. Bahkan akan hancur berkeping-keping.Â
Baruklinting menyadari keadaan ini. Dia telah siap mengikuti segala kemungkinan apapun itu yang terjadi. Jikalau keadaan itu disebut takdir, maka Baruklinting telah siap menjemput takdirnya sendiri.
Dalam pada itu, setelah beberapa waktu berlalu, tiba-tiba seorang prajurit jaga regol depan gerbang Wanabayan berlari kecil menghadap Baruklinting yang sedang berada duduk di belakang Ndalem Alit Wanabayan. Dia memberitahu bahwa seseorang meminta ijin untuk bertemu.
"Siapa?", tanya Baruklinting kepada prajurit itu.
 "Dua orang bernama Ki Suta dan Ki Nala, sinuwun", jawab prajurit itu. Baruklinting terkejut mendengar nama itu. Dia hampir melupakan kedua orang berjuluk Sepasang Ular Kembar dari Selatan itu, sejak mereka tidak ada kabarnya lagi setelah diutusnya pergi ke Jalegong untuk memboyong Dewi Ariwulan ibunya ke Mangir. Bagaimana kabarnya dua orang itu? Bagaimana kabar ibuku? Apakah mereka berhasil memboyong ibuku? Batin Baruklinting. Dia tak sabar ingin bertemu semua orang itu.
 "Suruh mereka masuk. Kutunggu di sini", ujar Baruklinting singkat.
Tak lama kemudian Sepasang ular kembar dari Selatan itu datang di pendopo itu. Baruklinting menyambut mereka dengan gembira. Dia menunggu kabar gembira dari dua orang kakak beradik utusannya yang baru tiba dari Jalegong itu.
Akan tetapi bukan kabar gembira yang disampaikan oleh Ki Suta dan Ki Nala. Mereka berdua menyesal bahwa tak bisa memboyong Dewi Ariwulan ke Mangir. Bahkan keberadaan perempuan itu pun tak bisa mereka pastikan, sebab keadaan Jalegong telah porak poranda akibat serangan berulang-ulang ke tempat itu oleh orang-orang yang menamakan diri Orang Laskar Pajang! Baruklinting sedih. Dia menyimak baik-baik penuturan Ki Suta dan Ki Nala.
"Kami lihat sendiri pasraman Jalegong menjadi karangabang, luluh lantak dimakan api. Tempat itu baru saja diserang oleh orang-orang laskar Pajang".
 "Saya dan kakang Suta sempat dikeroyok oleh delapan orang dari mereka. Tetapi beruntung kami bisa mengatasi keadaan. Kedelapan orang itu tewas di tempat itu".
"Tak ada yang bisa kami mintai keterangan tentang keberadaan Dewi Ariwulan. Kecuali kami memperoleh sedikit informasi dari seorang pendekar yang muncul tiba-tiba di situ. Dia bernama Putri Biru".
"Putri Biru?". Baruklinting mendesis terkejut. Dia tidak asing dengan perempuan bernama Putri Biru yang tinggal di Jalegong itu. Dia adalah simbok, pelayan setia Dewi Ariwulan ibunya.
"Benar raden. Putri Biru, perempuan yang mengaku kenal panjenengan dan dia pelayan setia Dewi Ariwulan sendiri sedari dulu, katanya", ujar Ki Nala menjelaskan.
"Dia menceritakan bahwa dirinya adalah salah satu orang yang selamat dari serangan itu. Tetapi dia tidak menemukan Dewi Ariwulan. Sebab banyak orang telah tewas oleh serangan itu. Sebagian tawanan telah dibawa oleh para penyerang, entah kemana. Dan para tawanan tak diketahui keberadaan dan tak pernah kembali ke Jalegong".
"Kami melihat bahwa Jalegong telah benar-benar tak ada penghuninya. Kecuali Putri Biru di tempat itu"
 "Mengapa tak kalian ajak Putri Biru untuk berkumpul di Mangir?".
"Sedianya demikian, raden. Telah kami tawarkan untuk mengajaknya tinggal ke tempat raden. Namun dia memilih jalannya sendiri"
"Dia memilih untuk meninggalkan Jalegong dan memutuskan hidup di Tuntang Rawapening. Dia menitip suatu salam kagem panjenengan, raden".
 Baruklinting tercenung. Dia teringat pada jasa perempuan itu yang begitu baik menemani ibunya, bahkan melayani dirinya sejak masih kecil, di kala itu. Putri Biru adalah seorang pelayan yang setia. Baruklinting berterimakasih atas pelaporan yang begitu lengkap akan keadaan Jalegong, keadaan Dewi Ariwulan dan Putri Biru.
Kepada Ki Suta dan Ki Nala dia menawarkan kepada mereka untuk tinggal di Ndalem Kaprawiran di kompleks Wanabayan itu. Akan tetapi dengan halus dua orang kakak beradik itu menolak tawaran itu. Mereka memilih untuk pulang kembali ke kediaman mereka di Kulonprogo, namun berjanji setiap waktu mereka siap untuk merapat ke Kotapraja jika mereka diminta oleh Baruklinting.
***
Baruklinting tercenung sendirian, setelah kedua orang kepercayaannya itu pamit pergi untuk pulang ke Kulonprogo. Batinnya berkecamuk. Rasa sedih menggelayuti batin dan pikirannya. Baruklinting merasakan bahwa satu demi satu orang yang dikasihinya telah meninggalkan dirinya.
Jiwanya terasa hampa. Sebab kini dia menyadari bahwa kedudukan dan derajat tetinggi sebagai orang nomor satu di Mangir terasa hampa tak berguna tanpa kehadiran orang-orang yang dikasihinya di sekelilingnya. Ibunya telah tiada, sedangkan bapa dan kerabat Sentana masih mengungsi. Lalu untuk apa memiliki segalanya, jika tanpa ada kasih sayang dari orang-orang yang dikasihi. Baruklinting larut dalam duka dan rasa kecewa.
"Semua kupersiapkan untuk kedatangan ibu. Segalanya kupersembahkan untukmu, ibu. Dan setelah semua telah kuperoleh, termasuk tahta Mangir, mengapa ibu tidak datang? ".
"Masihkah kau ingat, ibu. Bahwa aku pernah berjanji padamu. Aku bertekad kelak ibu dan bapa aku pertemukan, dan kita bisa berkumpul sebagai keluarga, walau entah kita harus tinggal bersama di mana", ujar Baruklinting seolah berbicara kepada ibunya itu.
Baruklinting larut dalam duka. Jika duka itu suatu rasa, maka rasa itu berada di lubuk hatinya yang paling dalam. Hatinya pun masgul. Kerinduan yang dalam pada ibunya akhirnya turut menyergap rahsa kalbunya.
Tempat tersembunyi, Desa Dender Gunungkidul     Â
 Ki Ageng Wanabaya dan kerabat Sentana Mangir telah beberapa saat mengungsi di suatu tempat tersembunyi, di Gunungkidul. Tempat itu bernama Desa Dender, yang konon merupakan tanah perdikan milik Bhre Kertabumi, leluhur Ki Ageng Wanabaya sendiri. Sebab di tempat itu pula Raden Lembu Amisani, kakek Ki Ageng Wanabaya wafat setelah mengungsi dari keadaan Majapahit yang mulai runtuh pada tahun 1400 Saka. Raden Lembu Amisani masih termasuk dalam kerabat Sentana keraton Majapahit. Dia adalah putra ke 43 dari 117 putra-putri Raja Brawijaya V. Sehingga jikalau ditarik garis waktu ke belakang, maka Ki Ageng Wanabaya memiliki garis keturunan langsung raja-raja Majapahit.
 Di sebuah rumah pendopo di Desa Dender, siang itu Ki Ageng Wanabaya mengumpulkan beberapa orang kepercayaannya. Dia sangat ingin mendengar kabar tentang keadaan Kotapraja dan Mangir. Sebab sejak berada di pengungsian ini, hubungannya dengan orang-orang di Kotapraja terputus. Dia tak memperoleh berita apapun tentang situasi Kotapraja yang telah ditinggalkannya itu. Hanya berita desas-desus yang sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya yang dia dengar dari orang-orang di desa itu.
Di tengah situasi Kotapraja yang genting, memang tidak mudah memperoleh kabar yang benar. Sebab lebih banyak beredar kabar burung yang berseliweran daripada kabar tentang fakta sesungguhnya yang terjadi. Kabar burung yang paling dominan lalu menjadi desas-desus yang berkembang cepat di masyarakat, dan membentuk opini. Walaupun kenyataan faktanya belum tentu demikian. Sebab informasi di masa perang lebih banyak dikendalikan oleh para pemenang. Tak ada kebenaran berita yang mutlak selain pesan-pesan propaganda yang saling melemahkan mental pihak lawan. Ki Ageng Wanabaya menyadari keadaan yang demikian itu.
"Telah kudengar kabar angin bahwa Kotapraja telah menjadi karangabang. Benarkah kabar demikian itu, Ki Demang Pandak?", tanya Ki Ageng Wanabaya ke Demang Pandak yang hadir di pertemuan itu.
"Benar demikian yang saya dengar, sinuwun. Kabar itu saya dengar langsung dari seorang punggawa yang baru saja mengungsi akibat kekacauan di Kotapraja".
"Kekacauan yang bagaimana itu, Ki?", tanya Ki Ageng Wanabaya.
"Maafkan jika saya keliru menyampaikan berita. Menurut punggawa itu, berbagai kerusuhan dan pembakaran rumah-rumah terutama terjadi di Pasar Gede. Sedangkan alun-alun telah dikuasai oleh sekelompok massa yang sewaktu-waktu merangsek dan menjarah Ndalem Wanabayan, sinuwun".
"Kekacauan Kotapraja seperti ada pihak yang mengatur dan mengendalikan, sinuwun". Ki Demang Srandak menambahkan apa yang dikatakan Ki Demang Pandak.
"Mengapa kau katakan demikian, Ki Demang Srandak?", tanya Ki Ageng Wanabaya.
"Sebab sesuai pengamatan saya langsung, beberapa hari lalu di Kotapraja. Berbagai tindak kerusuhan di beberapa tempat dalam Kotapraja, selalu meninggalkan banyak korban tewas di kalangan penduduk. Sementara tak ada satu pun pihak perusuh yang berhasil ditangkap warga. Setiap kali usai membuat kerusuhan, para perusuh itu lalu pergi, seperti menghilang begitu saja. Artinya para perusuh itu adalah orang-orang tergolong berilmu tinggi dan terlatih dalam olah perang keprajuritan. Demikian, sinuwun". Ki Ageng Wanabaya menarik napas dalam-dalam. Dia berpikir keras atas pelaporan Ki Demang Srandak dan Demang Pandak.
"Jika demikian, walaupun tak ada perusuh yang tertangkap. Adakah ciri-ciri khusus apa yang bisa diamati dari para perusuh itu, Ki?". Tanya Ki Ageng Mangir lagi.
"Menurut saya ada, sinuwun. Ciri-ciri mereka memakai pakaian serba hitam yang bergerak cepat seperti kelebatan bayangan. Mereka orang-orang layaknya pasukan khusus yang berilmu tinggi. Ciri lainnya, di antara mereka ada yang membawa bendera berwarna kuning bergambar ular melingkar di tengahnya." Ki Demang Srandak menjelaskan.
"Bendera kuning bergambar ular? Apakah itu hasil pengamatanmu sendiri, Ki Demang?"
"Benar, sinuwun", jawab Demang Srandak.
"Hmmm. Nogo Kemuning", desis Ki Ageng Wanabaya singkat.
Mendadak dadanya berdegup kencang. Dia tahu bahwa ciri-ciri perusuh itu mirip seperti kelompok yang pernah dilihatnya saat di Merapi. Dia teringat pada peristiwa di masa lalu, saat berada di Merapi. Di kala itu, dari suatu tempat tersembunyi, kelompok begal itu dilihatnya membantu Baruklinting mematok berbagai pusaka ngideri Merapi, sebelum dia menerima Tombak Sengkelat Kyai Upas. Mereka berpakaian serba hitam, gesit dan tangguh.
"Nogo Kemuning?", tanya Ki Demang Pandak dan Demang Srandak hampir berbarengan.
"Ya benar. Mereka adalah Bayangan Hitam pasukan khusus dari gerombolan Nogo Kemuning. Aku sendiri telah melihat kehebatan mereka waktu aku usai bertapa di Merapi, beberapa waktu lalu".
Suasana berubah ngelangut di tempat itu. Untuk beberapa saat tak ada yang berbicara.
***
(Bersambung ke Episode #25 Angin Berubah Arah )Â
Baca juga:Â episode sebelumnya #23
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI