Baruklinting tercenung sendirian, setelah kedua orang kepercayaannya itu pamit pergi untuk pulang ke Kulonprogo. Batinnya berkecamuk. Rasa sedih menggelayuti batin dan pikirannya. Baruklinting merasakan bahwa satu demi satu orang yang dikasihinya telah meninggalkan dirinya.
Jiwanya terasa hampa. Sebab kini dia menyadari bahwa kedudukan dan derajat tetinggi sebagai orang nomor satu di Mangir terasa hampa tak berguna tanpa kehadiran orang-orang yang dikasihinya di sekelilingnya. Ibunya telah tiada, sedangkan bapa dan kerabat Sentana masih mengungsi. Lalu untuk apa memiliki segalanya, jika tanpa ada kasih sayang dari orang-orang yang dikasihi. Baruklinting larut dalam duka dan rasa kecewa.
"Semua kupersiapkan untuk kedatangan ibu. Segalanya kupersembahkan untukmu, ibu. Dan setelah semua telah kuperoleh, termasuk tahta Mangir, mengapa ibu tidak datang? ".
"Masihkah kau ingat, ibu. Bahwa aku pernah berjanji padamu. Aku bertekad kelak ibu dan bapa aku pertemukan, dan kita bisa berkumpul sebagai keluarga, walau entah kita harus tinggal bersama di mana", ujar Baruklinting seolah berbicara kepada ibunya itu.
Baruklinting larut dalam duka. Jika duka itu suatu rasa, maka rasa itu berada di lubuk hatinya yang paling dalam. Hatinya pun masgul. Kerinduan yang dalam pada ibunya akhirnya turut menyergap rahsa kalbunya.
Tempat tersembunyi, Desa Dender Gunungkidul     Â
 Ki Ageng Wanabaya dan kerabat Sentana Mangir telah beberapa saat mengungsi di suatu tempat tersembunyi, di Gunungkidul. Tempat itu bernama Desa Dender, yang konon merupakan tanah perdikan milik Bhre Kertabumi, leluhur Ki Ageng Wanabaya sendiri. Sebab di tempat itu pula Raden Lembu Amisani, kakek Ki Ageng Wanabaya wafat setelah mengungsi dari keadaan Majapahit yang mulai runtuh pada tahun 1400 Saka. Raden Lembu Amisani masih termasuk dalam kerabat Sentana keraton Majapahit. Dia adalah putra ke 43 dari 117 putra-putri Raja Brawijaya V. Sehingga jikalau ditarik garis waktu ke belakang, maka Ki Ageng Wanabaya memiliki garis keturunan langsung raja-raja Majapahit.
 Di sebuah rumah pendopo di Desa Dender, siang itu Ki Ageng Wanabaya mengumpulkan beberapa orang kepercayaannya. Dia sangat ingin mendengar kabar tentang keadaan Kotapraja dan Mangir. Sebab sejak berada di pengungsian ini, hubungannya dengan orang-orang di Kotapraja terputus. Dia tak memperoleh berita apapun tentang situasi Kotapraja yang telah ditinggalkannya itu. Hanya berita desas-desus yang sulit dipertanggungjawabkan kebenarannya yang dia dengar dari orang-orang di desa itu.
Di tengah situasi Kotapraja yang genting, memang tidak mudah memperoleh kabar yang benar. Sebab lebih banyak beredar kabar burung yang berseliweran daripada kabar tentang fakta sesungguhnya yang terjadi. Kabar burung yang paling dominan lalu menjadi desas-desus yang berkembang cepat di masyarakat, dan membentuk opini. Walaupun kenyataan faktanya belum tentu demikian. Sebab informasi di masa perang lebih banyak dikendalikan oleh para pemenang. Tak ada kebenaran berita yang mutlak selain pesan-pesan propaganda yang saling melemahkan mental pihak lawan. Ki Ageng Wanabaya menyadari keadaan yang demikian itu.
"Telah kudengar kabar angin bahwa Kotapraja telah menjadi karangabang. Benarkah kabar demikian itu, Ki Demang Pandak?", tanya Ki Ageng Wanabaya ke Demang Pandak yang hadir di pertemuan itu.
"Benar demikian yang saya dengar, sinuwun. Kabar itu saya dengar langsung dari seorang punggawa yang baru saja mengungsi akibat kekacauan di Kotapraja".
"Kekacauan yang bagaimana itu, Ki?", tanya Ki Ageng Wanabaya.