Mohon tunggu...
Apriansyah Yudha
Apriansyah Yudha Mohon Tunggu... wiraswasta -

"Asal mau berusaha, hidup akan memberikan segalanya" - Pramoedya Ananta Toer -

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

You are the Apple of My Garden

20 Desember 2013   16:49 Diperbarui: 24 Juni 2015   03:42 38
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
13875390721312628267

You Are the Apple of My Garden

Hujan turun..

Perbincangan itu berhasil ku rekam dalam otakku, perbincangan yang berlangsung di sebuah taman mini yang sebenarnya adalah halaman sebuah rumah yang sengaja dijadikan asri oleh sang penghuni, berisikan bermacam macam tanaman. Ada apel, jeruk purut, mahkota dewa, cabe, pohon saga, sirih, bonsai, bunga mawar dan pohon tomat. Ya, mereka berbincang-bincang kawan, pohon pohon itu berbicara. Perbincangan yang sulit diterima akal sehat memang, namun jika kita mau menanggalkan kewarasan kita, kita bisa mendengar mereka yang sedang berbincang, semakin tidak waras semakin jelas tiap kata yang mereka ucapkan. Hanya saja kita masih bebal mempertahankan kewarasan yang kita anggap paling mumpuni dan ampuh mencapai tujuan hidup, tapi lihat? Bisa terlihat? Keadaan bumi seakan menunjukan tujuan kewarasan kita sekarang. Kehancuran.

Namaku tomat, tanpa hujan aku akan kehilangan nyawa. Maka dari itu aku lebih tertarik menyembah air, ketimbang api. Banyak agama di taman ini, aku mempercayai air yang memberiku kehidupan, sirih sahabatku beragama tanah, pohon nangka beragama matahari, lebih jauhnya para pohon menjulang di pelataran rumah tetangga menyembah api, karena menurut mereka jika matahari tak berapi, takkan ada kehidupan di dunia ini. tapi aku lebih suka air, karena hujan lebih segar, memberikanku kesejukan. Teman baikku adalah tanah alluvial coklat kehitaman yang kaya akan hara, semacam rizobium, cacing dan seekor ulat bulu hitam. Yang menarik adalah aku berbakat merubah segala bentuk kekotoran dalam tanah menjadi daftar nutrisi yang melimpah seperti magnesium, kalium, besi, yodium, tembaga, seng, vitamin A, C, dan masih banyak lagi. Aku besar secara organic, maka dari itu si ulat bulu masih dengan nyaman mengunyah dedaunanku. Aku lebih baik dari manusia yang tidak mengetahui apa apa mengenai kehidupan sebelum mereka dilahirkan. Ya aku tahu persis kehidupanku di masa lalu, tergambar jelas dalam setiap genku, ah.. maksudku tercatat jelas.. sehingga jika aku ingin membaca kehidupanku aku hanya tinggal membuka isi kepalaku dan membaca kembali. Singkatnya, Aku tahu benar bagaimana aku bisa tumbuh besar”

Kira kira begini ceritanya”

Satu biji yang dibuang seorang anak muda dari mulutnya yang merasa tidak nyaman ketika menyeruput jus tomat dari warung dimana aku disenangi dan dijajakan untuk dipotong, di-blend dan diberi es. Aku terima saja, entahlah aku tak merasa sakit sedikitpun. Disamping itu aku merasa bahwa hidupku tidak akan berakhir hari itu. Karena aku telah mendapat informasi, jauh jauh hari. Mengapa bisa? Entahlah... mungkin karena aku menyimpan ribuan informasi dalam bagian bagian diriku yang takkan hilang, yang saat itu hanya berupa biji biji, termasuk informasi kapan dan bagaimana aku akan mati. Aku menyimpan semua informasi lengkap tentang dunia, bumi, tanah, serangga, cuaca, termasuk anak muda tadi dalam manifestasi mungil, biji bijiku. Sengaja ataupun tidak, anak muda itu meludahkan satu bijiku ke pekarangannya. Aku bahagia”

Dan inilah aku, kau lah anak muda itu. Kita terikat takdir” katanya padaku ketika kami saling berhadapan.

Ku lihat dari tanah yang gembur, menjulang sebatang hijau kecil pohon tomat berumur tiga bulan. Tidak lebih dari satu meter, pohon itu memiliki buah buah yang mungil, masih hijau. Dengan daun yang cukup rimbun untuk ukuran sebangsa Solanaceae (terong terongan). Di ujung salah satu daun daunnya yang berbulu dari tangkai yang menjauh ke barat, bertengger seekor ulat bulu hitam gendut dengan tenang sedang tertidur pulas, sedangkan aku jongkok di timur sang ulat. Seakan menyadari perhatianku pada sang ulat si tomat berbicara melalui stomata stomata di sekujur tubuhnya.

jangan ganggu dia, dia berhak hidup”

aku geli melihat seekor ulat hitam di tanaman tomat yang hijau, terlalu mencolok. Dia seakan membuatku gatal gatal”

dia belum sama sekali menyentuhmu. Itu perasaanmu saja. Menjengkelkan. Manusia, saat ini sangat lemah terhadap alam, mereka menjauh dari kekerasan alam dan berlindung di titik nyaman tanpa mau belajar menjadi the fittest. Sedikit sedikit alergi. Seperti gelas tipis yang mudah pecah saja kau ini. Jika seleksi alam berlangsung seperti yang terjadi di ribuan tahun lalu, gas racun, ledakan meteor, gunung meletus dll. Spesies manusia hanya akan punah seketika. Sedangkan para tanaman akan mempertahankan keberlangsungan kehidupan di bumi dengan menyimpannya baik baik dalam biji biji mereka”

tolong katakan pada ulat itu untuk tidak mengganggu penghuni rumah ini. Termasuk segala jenis makhluk manusia yang datang berlalu lalang di sekitar sini”

tidak ada yang mau ikut campur dengan urusan manusia di taman ini. Manusia yang mencampuri urusan kami para tanaman. Apalagi si ulat, dia hanya bisa makan, kau tidak akan menyesal tidak membunuhnya setelah melihat dia mengepakkan sayap sayapnya”

baiklah, ku jaga ucapanmu. Kita akhiri saja perbincangan ini. Aku harus segera pergi”

ya, pergilah”

Aku pergi, karena tuntutan peradaban yang sedang dan harus ku jalani. Rutinitas. Namun perbincangan dengan tomat ku pikirkan terus menerus, semua terjadi tanpa bisa ku jelaskan dengan akal sehat. Aku gila. Yang jelas, aku bisa mendengarnya mengatakan semua itu melalui semacam senyawa kimiawi yang dia keluarkan dari sekujur tubuhnya lalu ku cerna di otakku begitu saja, mungkin stomata-stomata yang menyerupai mulut itu yang membuatnya bisa bicara. Bukan hanya tomat sebenarnya, tapi pohon lain pun, semua seperti sambungan telefon, memiliki koneksi dan kode masing masing agar terhubung yang bisa kau koneksikan dengan hati dan otakmu. Dalam hal ini aku lebih terikat dengan tomat karena ikatan takdir kami. Pernah ku pertanyakan fenomena ini kepada si tomat. Dalam umurnya yang hanya 4 bulan, dia mengatakan mungkin saja kulitku menerima semua impuls senyawa kimiawi darinya dan menerjemahkannya dengan proses neuron biasa.

Neurosis? Psikoneurosis kah? Itu artinya mentalku terganggu!” pekikku di tengah rutinitas yang mengagetkan orang orang di sekitar. Aku malu.

Ya, aku malu sekali. Rasa malu menunjukan aku masih menjaga kehidupan sosialku. Bagaimanpun juga, aku hidup dalam peradaban yang tidak menganggap normal sebuah perbincangan dengan pohon tomat, aku harus menyimpan rapat rapat kegilaanku bersama tomat dan mengedepankan kewarasanku bersama manusia. Aku harus sadar betul itu, menjadi the fittest yang dikatakan tomat tidak sama dengan the fittest abad ini, semua tentang uang. Jika seseorang memiliki uang banyak, dia yang akan menjadi the fittest. Ku pikir tak ada yang mau mempekerjakan orang yang berbicara dengan pohon tomat, aku harus jadi the fittest. Aku bisa langsung dipecat jika ketahuan punya semacam ketidakwarasan berbincang-bincang bersama sebuah pohon tomat. Tatanan abad ini, menuntut kewarasan sebelum menjadi tidak waras sepenuhnya karena mabuk kekayaan. Aku belum kaya, untuk itu aku butuh kewarasan lebih dari apapun saat ini, setelah itu akan ku tanam berhektar hektar perkebunan tomat untukku ajak mereka beribancang bincang sepanjang waktu hingga tutup usiaku. Tapi belum saatnya, tidak.. maafkan aku tomat, saat itu juga ku putuskan untuk menjauhi tomat. Aku harus menjauhimu.

Dan ku jauhi tomat pelan pelan. Hasrat untuk menjadi waras selalu saja tertanggu jika aku melewati taman dan melihat si tomat yang sedang tersiram sinar matahari. Menjadi tidak waras ternyata adalah kemampuan alami yang menyenangkanku. Jadi sesekali aku masih menguping pembicaran si tomat dengan pohon lain. Hampir dua minggu aku tak duduk di taman rumah, bisa dibayangkan betapa gilanya aku di mata orang ketika mereka melihat aku berbincang dengan pohon tomat.

Tapi semua berubah..

Suatu hari, ketika pohon apel berbuah. Semua tanaman di halaman seperti sibuk membicarakan sang primadona yang baru saja lahir, merah menyala.

Lihat, aku iri sekali pada apel merah itu.. begitu merah menggoda” Kata si mawar yang kalah merah.

Sebenarnya menjadi cantik adalah kutukan, apel dikutuk dalam banyak cerita. Snow White, kau tahu bagaimana apel dikesankan disana. Adam dan Hawa. Issac Newton, walapun kasusnya berbeda, setidaknya cerita cerita manusia itu memberi kesan mistis pada buah itu” Sirih menyangkal.

Bukan itu saja, kalian tau Alan Turning si bapak computer modern, meninggal bunuh diri karena frustasi terlahir gay, dia mati dengan mengigit apel yang mengandung sianida” Mahkota dewa menambahkan

Aku sirih, jika ku punya kekuatan sihir aku akan merubah daun daunku menjadi merah menyala. Tangkaiku akan ku rubah jadi kuning keemasan, lalu kuncupku akan berwarna merah muda yang lembut menenangkan hati yang melihatnya”

Kalian, bisakah kalian bersyukur? mawar, duri kita adalah anugrah, apel merah itu hanya akan menggoda penjahat untuk memetiknya. Percayalah kita tercipta dengan kelebihan dan kekurangan masing masing” Jeruk purut yang sedari tadi mengerut dahi, mulai angkat suara.

Ini keinginan yang sangat alami. Aku bosan diciptakan tidak mampu bergerak kesana kemari. Hanya terpaku, diam hingga akhir hayat. Aku ingin menusukkan duri duriku pada mereka yang sengaja merusak keindahanku. Kita diciptakan Tuhan menjadi makhluk yang sangat pasif, patutkah kita bersyukur?” Sanggah mawar

Bayangkan saja, jika kita berjalan jalan, aktifitas bumi akan kacau karena banyak dari kita yang terlampau besar jika berjalan bersama makhluk lainnya. Bagaimana burung burung bisa bersarang dan bertengger jika kita hilang dari tempat seharusnya kita berada. Tanah yang kita pijak sudah beraspal dan berbatu. Tidak kah kau mengerti, kita akan mati jika diciptakan bisa bergerak bebas. Kita harusnya bersyukur tercipta pasif, tanah yang kita pijak adalah bentuk kekokohan hidup kita” Timpal jeruk purut

Kau lupa aku percaya matahari? Kau memang penganut kepercayaan tanah yang taat”

Entahlah, dari perbincangan para pohon, aku menangkap banyak pesan bijak. Mereka menyimpan banyak informasi yang luar biasa tentang bumi. Bahkan banyak hal menyangkut manusia. Perbincangan sebenarnya masih berlanjut, hanya saja, dari tadi aku tak mendengar si tomat berbicara sepatah katapun. Biasanya dia ceriwis. Ku lirikkan mataku pada sudut taman yag lain. Ku perhatikan dia. Ah.. dia masih berdiri anggun di atas tanah. Di sebelah barat dedaunannya ku lihat tonjolan coklat yang anggun. Si ulat sudah menjadi kepompong ternyata.

Hey tomat, sudahlah dia bukanlah jodohmu” Kali ini cabe angkat suara

Aku tak ingin mendengar apapun darimu”

Kau bukanlah sebangsa buah buahan, apalagi apel yang merah merona indah, bahkan hingga saat ini kau masih membingungkan banyak makhluk, kau termasuk buah atau sayuran”

Aku ya aku, aku tomat”

Pupuskan saja rasa cintamu itu pada apel, lihat dia.. tingginya 4 kali lipat lebih tinggi derajatnya ketimbang kita”

Aku hanya mengaguminya, tidak mencintainya.. kau tahu? Semacam perasaan yang tidak bisa kau sampaikan pada bulan di angkasa, jika kau hanya punguk yang bisa terbang di ketinggian 20 meter”

Tomat menyukai apel? Pertanyaan itu tumbuh seperti rumput dalam hati. Rasanya lucu memikirkan hal ini. tapi dari postur yang terlihat, entah karena sikap angin yang terlau menghembus, tubuh tomat seakan miring dengan pose yang sedang menengadah memandangi apple yang menjulang di hadapannya, membuatku miris. Lalu pandanganku ku alihkan ke pohon apel yang lebih tinggi tersebut. Merah. Siapapun penghuni rumah termasuk aku bisa memetiknya kapanpun kami mau, tapi yang lebih berhak adalah nenek, karena dia yang senantiasa mengurus taman. Seakan ingat Tuhan, aku ingat rutinitasku esok hari. Tugas kantor yang menumpuk. Dan... EVA!!

Bukanakah besok aku akan melamar Eva??

Masih sempat sempatnya saja ku intip taman. Tolol. Ku simpan saja semua ketidakwarasan ini, ku lupakan tomat. Namun aku tak bisa tidur, pikiranku terlalu sibuk. Pukul 23 di menit ke 37 detik ke 10, ku bayangkan bagaimana besok akan berlalu. Terbelesit kejantananku. Ku pikirkan kekasihku Eva. Kami telah berencana dua minggu lalu bahwa esok hari setelah pulang dari rutintias kantor, kami akan membicarakan soal keseriusan kami pada ayah dan ibuku, juga nenekku. Setelah itu baru ke rumah Eva untuk melamarnya langsung pada kedua orangtuanya. Ah.. bahagia namun sedikit menegangkan, tapi itulah laki laki, menyukai ketegangan dan tantangan. Esok hari adalah tantagan. Harus ku persiapkan energiku untuk besok. Santai, Relax.. kami pasti melalui ini dengan baik.

Cahaya rembulan menyelusup kamar, keindahan bulan membuatku lebih tenang. Ku pejamkan mata.

*******

Pagi. Matahari seakan tak mau bertanggungjawab telah menghamili bumi, yang melahirkan tanaman tanaman menjengkelkan di taman. Dia masih bersembunyi di balik awan awan yang tebal. Aku melangkah kokoh menuju hari ini, Aku bukan matahari.

A, aduh neng deg-degan, takut sama mamah kamu..”

Emang si mama teh mau ngapain kamu? Da aa teh udah gede, udah mantap sama kamu. Kamu ge harus mantap. Sing pede nyak..”

Fiuuhh..” ku lihat senyum di bibir Eva, dia melihat ke arahku, raut mukanya seakan mengatakan “aku siap”.

Senyum tipis menghiasi kami yang memasuki rumah, senyum berkembang menjadi tawa, tawa merekah jadi riang canda. Waktu bergulir begitu indah...

Tinggal ke rumah kamu sayang..” kataku sembari mencubit pipi Eva ketika kami ke luar dari pintu rumah.

Iyaaa.. Alhamdulillah ya a” kataya sumringah, mukanya seperti mawar yang mekar. Seketika pandanganku langsung bertuju pada bunga mawar indah di taman yang juga merekah merah muda sepeti pipi Eva. Akan ku petik dan ku sisipkan di telinga Eva untuk menambah kebahagiaannya. Namun tanpa ku sadari mata Eva telah terpaku pada hal lain. Perhatianku pun teralihkan.

A apelnya minii merah ih.. jigana enak”

Tanpa pikir panjang ku langkahkan kakiku menuju apel yang bisa ku petik dengan mudah. Hanya tinggal beberapa inci antara tanganku dan apel, aku mendengar jeritan jeritan. 10 suara pekikan tajam menusuk telingaku.

Tidaaaaaaaaaaaaak”. Sirih dan cabe menjerit

Tidaaaaaaaaaaaaaaaakk” Mawar, jeruk purut menjerit

Jangaaaaaaaaaaaannnn” Tomat menangis histeris

Tanaman tanaman itu menjerit. Apa boleh buat, apel sudah di tangan. Dengan bingung ku jauhi taman. Tak mau disangka gila oleh Eva, aku berlagak tak mendengar mereka. Ku serahkan apel itu pada Eva dengan tenang aku mengatakan “You are the apple of my heart”. Eva tersipu, pipi dan senyumnya merona indah. Lalu kami memakannya berdua.

Satu bulan berlalu. Rutinitas terasa lebih berharga dengan kesibukan pernikahanku dan Eva.

Namun, semenjak aku memetik apel tak pernah ku dengar perbincangan para tanaman lagi, telingaku jadi tuli. Atau mereka yang tak mau bicara padaku lagi, entahlah. Pernikahanku akan berlangsung di penghujung musim hujan. Dan hari ini musim peralihan, hujan memang tidak turun. Tapi kehangatan matahari menyiram tubuhku. Untuk tomat, ku titikan air mataku. Aku merasa begitu merindukan suara para tanaman.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun