“Fiuuhh..” ku lihat senyum di bibir Eva, dia melihat ke arahku, raut mukanya seakan mengatakan “aku siap”.
Senyum tipis menghiasi kami yang memasuki rumah, senyum berkembang menjadi tawa, tawa merekah jadi riang canda. Waktu bergulir begitu indah...
“Tinggal ke rumah kamu sayang..” kataku sembari mencubit pipi Eva ketika kami ke luar dari pintu rumah.
“Iyaaa.. Alhamdulillah ya a” kataya sumringah, mukanya seperti mawar yang mekar. Seketika pandanganku langsung bertuju pada bunga mawar indah di taman yang juga merekah merah muda sepeti pipi Eva. Akan ku petik dan ku sisipkan di telinga Eva untuk menambah kebahagiaannya. Namun tanpa ku sadari mata Eva telah terpaku pada hal lain. Perhatianku pun teralihkan.
“A apelnya minii merah ih.. jigana enak”
Tanpa pikir panjang ku langkahkan kakiku menuju apel yang bisa ku petik dengan mudah. Hanya tinggal beberapa inci antara tanganku dan apel, aku mendengar jeritan jeritan. 10 suara pekikan tajam menusuk telingaku.
“Tidaaaaaaaaaaaaak”. Sirih dan cabe menjerit
“Tidaaaaaaaaaaaaaaaakk” Mawar, jeruk purut menjerit
“Jangaaaaaaaaaaaannnn” Tomat menangis histeris
Tanaman tanaman itu menjerit. Apa boleh buat, apel sudah di tangan. Dengan bingung ku jauhi taman. Tak mau disangka gila oleh Eva, aku berlagak tak mendengar mereka. Ku serahkan apel itu pada Eva dengan tenang aku mengatakan “You are the apple of my heart”. Eva tersipu, pipi dan senyumnya merona indah. Lalu kami memakannya berdua.
Satu bulan berlalu. Rutinitas terasa lebih berharga dengan kesibukan pernikahanku dan Eva.