“tolong katakan pada ulat itu untuk tidak mengganggu penghuni rumah ini. Termasuk segala jenis makhluk manusia yang datang berlalu lalang di sekitar sini”
“tidak ada yang mau ikut campur dengan urusan manusia di taman ini. Manusia yang mencampuri urusan kami para tanaman. Apalagi si ulat, dia hanya bisa makan, kau tidak akan menyesal tidak membunuhnya setelah melihat dia mengepakkan sayap sayapnya”
“baiklah, ku jaga ucapanmu. Kita akhiri saja perbincangan ini. Aku harus segera pergi”
“ya, pergilah”
Aku pergi, karena tuntutan peradaban yang sedang dan harus ku jalani. Rutinitas. Namun perbincangan dengan tomat ku pikirkan terus menerus, semua terjadi tanpa bisa ku jelaskan dengan akal sehat. Aku gila. Yang jelas, aku bisa mendengarnya mengatakan semua itu melalui semacam senyawa kimiawi yang dia keluarkan dari sekujur tubuhnya lalu ku cerna di otakku begitu saja, mungkin stomata-stomata yang menyerupai mulut itu yang membuatnya bisa bicara. Bukan hanya tomat sebenarnya, tapi pohon lain pun, semua seperti sambungan telefon, memiliki koneksi dan kode masing masing agar terhubung yang bisa kau koneksikan dengan hati dan otakmu. Dalam hal ini aku lebih terikat dengan tomat karena ikatan takdir kami. Pernah ku pertanyakan fenomena ini kepada si tomat. Dalam umurnya yang hanya 4 bulan, dia mengatakan mungkin saja kulitku menerima semua impuls senyawa kimiawi darinya dan menerjemahkannya dengan proses neuron biasa.
“Neurosis? Psikoneurosis kah? Itu artinya mentalku terganggu!” pekikku di tengah rutinitas yang mengagetkan orang orang di sekitar. Aku malu.
Ya, aku malu sekali. Rasa malu menunjukan aku masih menjaga kehidupan sosialku. Bagaimanpun juga, aku hidup dalam peradaban yang tidak menganggap normal sebuah perbincangan dengan pohon tomat, aku harus menyimpan rapat rapat kegilaanku bersama tomat dan mengedepankan kewarasanku bersama manusia. Aku harus sadar betul itu, menjadi the fittest yang dikatakan tomat tidak sama dengan the fittest abad ini, semua tentang uang. Jika seseorang memiliki uang banyak, dia yang akan menjadi the fittest. Ku pikir tak ada yang mau mempekerjakan orang yang berbicara dengan pohon tomat, aku harus jadi the fittest. Aku bisa langsung dipecat jika ketahuan punya semacam ketidakwarasan berbincang-bincang bersama sebuah pohon tomat. Tatanan abad ini, menuntut kewarasan sebelum menjadi tidak waras sepenuhnya karena mabuk kekayaan. Aku belum kaya, untuk itu aku butuh kewarasan lebih dari apapun saat ini, setelah itu akan ku tanam berhektar hektar perkebunan tomat untukku ajak mereka beribancang bincang sepanjang waktu hingga tutup usiaku. Tapi belum saatnya, tidak.. maafkan aku tomat, saat itu juga ku putuskan untuk menjauhi tomat. Aku harus menjauhimu.
Dan ku jauhi tomat pelan pelan. Hasrat untuk menjadi waras selalu saja tertanggu jika aku melewati taman dan melihat si tomat yang sedang tersiram sinar matahari. Menjadi tidak waras ternyata adalah kemampuan alami yang menyenangkanku. Jadi sesekali aku masih menguping pembicaran si tomat dengan pohon lain. Hampir dua minggu aku tak duduk di taman rumah, bisa dibayangkan betapa gilanya aku di mata orang ketika mereka melihat aku berbincang dengan pohon tomat.
Tapi semua berubah..
Suatu hari, ketika pohon apel berbuah. Semua tanaman di halaman seperti sibuk membicarakan sang primadona yang baru saja lahir, merah menyala.
“Lihat, aku iri sekali pada apel merah itu.. begitu merah menggoda” Kata si mawar yang kalah merah.