Bagas mulai beralasan sibuk setiap aku memintanya mengantar ke suatu tempat. Dia selalu beralasan ada pekerjaan setiap aku minta datang ke rumah. Perhatian dan kasih sayangnya pun mulai berkurang.
Aku bisa merasakan itu. Bagas tak lagi seperti yang dulu. Dia mulai berubah sejak memiliki komunitas baru.
Lebih parahnya lagi, Bagas selalu mengelak bila kutanya aktivitas kesehariannya akhir-akhir ini. Dia selalu bilang baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan dirinya. Sementara, aku selalu menerima informasi-informasi dari teman dekatku berkaitan dengan aktivitas Bagas.
"Sudahlah, nggak usah terlalu posesif gitu. Aku mencintaimu Ririe, nggak akan menyakiti kamu. Apa kamu masih ragu? Lagian, dari mana kamu dapat info? Bisa dipercaya nggak?" ucap Bagas suatu hari.
"Entahlah, siapa yang harusnya lebih aku percaya, kamu yang selalu mengelak atau temanku yang selalu mengirimkan bukti perselingkuhan kalian?" jawabku tegas sambil berdiri.
Aku berlalu dari meja kafe dan meninggalkan Bagas. Dia hanya diam. Setelah aku agak jauh, dia baru mengatakan beberapa  kalimat sambil berteriak.
"Ririe, aku mencintai kamu. Siapa yang lebih pantas kamu percaya? Pikirkan itu, Ri!"
"Entahlah, aku hanya nggak mau terluka lagi. Dulu, kamu yang meminta aku membuka hati. Dan kini, setelah aku juga mencintaimu, mengapa harus ada dia?" Aku tak peduli lagi di kafe itu ada pengunjung lain atau tidak.
"Ri, tunggu! Kita bicarakan dulu di sini!" pinta Bagas sambil berusaha mengejarku.
"Biarkan aku sendiri, entah sampai kapan menghabiskan sisa rasa ini." Kututup kaca mobil tanpa sedikit pun melihat ke arah Bagas.