Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Setelah Harta dan Takhta, Haruskah Ada Wanita? (Part 2)

6 Maret 2023   13:11 Diperbarui: 6 Maret 2023   13:23 413
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi gambar oleh Pixabay.com 

Hari itu, aku sedang berbelanja beberapa kebutuhan di sebuah supermarket. Tiba-tiba, seseorang nyaris menabrakku dengan kereta belanjanya di sebuah lorong. Aku terkejut, beberapa barang sempat terjatuh dari keranjangku saat berusaha menghindari.

Bukannya membantu atau meminta maaf, seorang lelaki malah tertawa melihat kejadian itu. Hampir saja aku marah, tetapi saat kutatap wajahnya segera kemarahan itu berubah. Bagas, ternyata dia yang sengaja menabrakku dengan maksud bercanda.


"Sorry, ya, Neng, ntar ongkos berobat karena terkejutnya aku ganti. Aku traktir makan sepuasnya. Mau?" tanya Bagas.


"Apaan, sih, kamu? Bikin jantung orang mau  copot, tauk?" jawabku.


"Iya, makanya nanti aku traktir sepuasnya, kamu mau makan apa?"


"Makan orang!" jawabku ketus sambil berlalu.


Bagas tertawa melihat ekspresiku marah. Dia berusaha mengejar langkahku menuju meja kasir.


"Ri, emang belanjanya sudah? Cuma segitu?  Belanja lagi, donk, biar aku temenin," bujuk Bagas.


"Sudah, memang cuma ini saja yang aku butuhkan. Kamu sudah?"


"Gampanglah, besok bisa ke sini lagi. Jadi aku traktir, 'kan?" tanyanya.


"Nggak usah, aku nggak apa-apa, kok. Iihh, kaya apaan aja minta ganti rugi." Aku melangkah lebih dulu.


Sampai di meja kasir, aku meletakkan keranjang belanjaku. Bagas di belakangku meluruskan kereta belanjanya. Rupanya dia juga sudah selesai belanja.


"Mbak, nanti bayarnya jadi satu sama ini, ya. Tapi bill-nya dipisah. Bisa, 'kan?" tanya Bagas pada petugas kasir sambil menunjuk belanjaannya.


"Bisa, Pak, bayarnya pakai cash atau debit card?" jawab kasir cantik itu.


"Debit saja," ucap Bagas.


"Eh, nggak usah, aku bayar sendiri aja. Aku bayar pakai cash, ya, Mbak," cegahku.


"Rezeki jangan ditolak, nggak baik, jadi satu saja, Mbak," lanjut Bagas.


Aku akhirnya mengalah, benar juga kata Bagas, rezeki nggak boleh ditolak.
Setelah semua transaksi di kasir selesai, aku bermaksud menuju ke mobil hendak pulang. Namun, Bagas kembali mengajakku makan siang. Kembali aku harus mengalah, akhirnya kami menuju salah satu restoran terdekat.


Sambil memesan makanan, Bagas menanyakan beberapa hal yang sebenarnya tak ingin kubicarakan lagi.


"Bagaimana suamimu? Baik-baik saja, 'kan kalian?" tanyanya.


"Justru kalo kami baik-baik saja kamu nggak akan lihat aku duduk di sini," jawabku pelan.


"Kamu ... divorced?" tanya Bagas sambil menatapku tajam.


Aku hanya mengangguk. Sebaiknya tak perlu kuceritakan masalah itu pada Bagas. Aku yakin Maya telah menceritakan segalanya.


"Lalu, kamu masih tinggal di sana? Anak-anak?" tanya Bagas.


"Ya, itu kan rumah pemberian ayahku. Aku yang berhak atas rumah itu. Anak-anak masih tetap bersamaku."


Sepertinya Bagas tahu banyak tentang masalahku. Apa mungkin Maya bercerita semua?  Bukannya dia janji untuk tidak menceritakan masalah ini pada siapa pun.


"Kamu pasti bertanya, dari mana aku tahu semua masalahmu. Iya, 'kan?"


Bagaimana Bagas tahu aku sedang memikirkan itu?


"Aku yang bertanya pada Maya, sebenarnya Maya tak mau menjawab, tapi aku memohon kepadanya. Dia hanya cerita sebagian saja, yang lainnya dia minta aku bertanya langsung kepadamu," jawab Bagas.


Aku hanya terdiam, heran, kenapa Bagas bisa tahu apa yang ada di pikiranku? Belum kuucapkan sudah dijawab. Bagaimana dia tahu? Bahaya dong kalau sampai aku berpikir yang bukan-bukan tentang dia. Bisa ketahuan.


"Ri, mikir apa? Nggak usah mikir aneh-aneh, ya. Aku nggak akan jahat sama kamu. Justru kalau bisa aku ingin melindungimu."


Ah, gombalan apa lagi ini? Malas aja berurusan lagi sama laki-laki. Paling juga sama saja.


Sejak pertemuan itu, selalu ada alasan yang mempertemukan aku dan Bagas. Sengaja atau tidak, selalu ada peristiwa yang memaksa kami untuk bertatap muka. Semua berjalan biasa saja, tak ada yang istimewa bagiku.


Genap setahun setelah perpisahanku dengan suami, Bagas mulai berani mendekati. Dia beralasan, selama itu aku tak ada yang menemani atau melindungi. Aku pasti butuh seseorang sebagai tempat curahan rasa, dalihnya.


Awalnya, aku enggan menerimanya. Namun, karena dia gigih, segala cara dilakukan agar bisa dekat denganku, akhirnya aku luluh dan mulai belajar mencintainya.


Aku berusaha membuka hati untuknya, mulai berbagi cerita, bercanda, hingga melewatkan hari bersama. Bagas memang beda dengan suamiku dulu. Dia bukan lelaki yang temperamen, lebih sabar, humoris, penuh kasih sayang dan pengertian.


Tak sulit mencintai seorang Bagas. Sikapnya yang peramah terhadap anak dan keluarga yang lain membuatku benar-benar jatuh cinta padanya. Aku merasa bagaikan Putri kerajaan, apa yang kuminta selalu diupayakan.

Ilustrasi gambar oleh Pixabay.com 
Ilustrasi gambar oleh Pixabay.com 


Waktu berlalu begitu indah, bersama Bagas aku menemukan kedamaian. Usahanya pun kian maju pesat. Beberapa proyek dan permintaan barang yang diusahakannya berjalan lancar bahkan melebihi ekspektasi.


Kami pun berencana meresmikan hubungan. Setelah anak-anak saling mengenal dan memahami, kami berencana mengadakan pesta pernikahan di akhir tahun sekalian menunggu anak-anak libur sekolah.


Sebuah negara jadi tujuan kami untuk berbulan madu. Bersama anak-anak kami akan menghabiskan waktu di sana untuk beberapa minggu. Beberapa perlengkapan pun telah aku siapkan untuk semua rencana kami.


Namun, selalu saja ada halangan yang tak diinginkan. Selalu ada wanita lain yang membayangi hidupku.


Mengapa di balik kesuksesan seorang lelaki yang baik selalu ada wanita-wanita genit yang berniat menggodanya? Mengapa setiap aku dekat dan memiliki lelaki baik dan penyabar selalu ada wanita-wanita bebas yang ingin merusaknya?

Ilustrasi gambar oleh Pixabay.com 
Ilustrasi gambar oleh Pixabay.com 


Bagas mulai beralasan sibuk setiap aku memintanya mengantar ke suatu tempat. Dia selalu beralasan ada pekerjaan setiap aku minta datang ke rumah. Perhatian dan kasih sayangnya pun mulai berkurang.


Aku bisa merasakan itu. Bagas tak lagi seperti yang dulu. Dia mulai berubah sejak memiliki komunitas baru.


Lebih parahnya lagi, Bagas selalu mengelak bila kutanya aktivitas kesehariannya akhir-akhir ini. Dia selalu bilang baik-baik saja dan tidak ada yang perlu dikhawatirkan dengan dirinya. Sementara, aku selalu menerima informasi-informasi dari teman dekatku berkaitan dengan aktivitas Bagas.


"Sudahlah, nggak usah terlalu posesif gitu. Aku mencintaimu Ririe, nggak akan menyakiti kamu. Apa kamu masih ragu? Lagian, dari mana kamu dapat info? Bisa dipercaya nggak?" ucap Bagas suatu hari.


"Entahlah, siapa yang harusnya lebih aku percaya, kamu yang selalu mengelak atau temanku yang selalu mengirimkan bukti perselingkuhan kalian?" jawabku tegas sambil berdiri.


Aku berlalu dari meja kafe dan meninggalkan Bagas. Dia hanya diam. Setelah aku agak jauh, dia baru mengatakan beberapa  kalimat sambil berteriak.


"Ririe, aku mencintai kamu. Siapa yang lebih pantas kamu percaya? Pikirkan itu, Ri!"


"Entahlah, aku hanya nggak mau terluka lagi. Dulu, kamu yang meminta aku membuka hati. Dan kini, setelah aku juga mencintaimu, mengapa harus ada dia?" Aku tak peduli lagi di kafe itu ada pengunjung lain atau tidak.


"Ri, tunggu! Kita bicarakan dulu di sini!" pinta Bagas sambil berusaha mengejarku.


"Biarkan aku sendiri, entah sampai kapan menghabiskan sisa rasa ini." Kututup kaca mobil tanpa sedikit pun melihat ke arah Bagas.


Mobil kulajukan membelah kemacetan kota metropolitan. Entah sampai kapan rasa ini akan tetap singgah. Rasanya enggan untuk melanjutkan hubungan dengan Bagas hingga pelaminan, tetapi aku terlanjur mencintainya.


Tuhan, adakah jawaban yang lebih menyejukkan?  Mengapa setelah harta dan takhta selalu harus ada wanita?

Tamat

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun