Ingin meminjam kepada saudara laki-lakinya, ia malu. Sedangkan kakak perempuan satu-satunya yang biasa meminjami telah berpulang. Tak ada upaya lain selain menjual warisan.
Lagi-lagi, aku yang selalu diandalkan untuk maju lebih dulu. Mulai mencari informasi harga tanah, proses penjualan dan kelengkapan surat-surat di notaris, aku yang diminta untuk mengurus semua. Dia hanya menjadi tukang ojek yang setia mengantar ke mana pun.
Namun, ketika tanah mulai laku, saat bertemu dengan pembeli dan notaris, aku tak dilibatkan lagi. Bukan masalah bagiku, toh, semua demi keluarga kami.
Kini, ketika ia memiliki uang hasil penjualan sawah, sedikit pun tak ada aku di ingatannya. Justru ia lebih sering bicara dengan sepupu perempuannya, yang datang bagai malaikat, tetapi juga sebagai iblis pengkhianat.
Dengan berbagai alasan, uang itu berhasil pindah tangan ke rekening perempuan iblis itu. Sedangkan untukku? Satu sen pun tak ada yang jatuh.
Mengapa denganku dia tega? Hanya saat susah saja dia selalu mengajakku, tetapi saat bahagia dan memiliki uang lebih, aku yang tersia-sia?
Tuhan, salah apakah aku? Mengapa ujian ini tak henti Kau berikan padaku? Aku hanya hamba-Mu yang lemah. Mungkinkah aku kuat menerima cobaan Ini? Aku merintih di atas sajadah.
"Bunda, Bunda masih tidur?" Suara lembut dan lugu mengusik kesendirianku. Suara bocah tanpa dosa itu menyadarkanku kembali, ada dia yang harus kujaga dan kurawat.
Aku bangkit, menyeka wajah lalu membuka pintu untuk buah hatiku.
"Bunda sudah bangun, Sayang. Ada apa?"
"Bun, besok lusa sudah puasa, ya? Aku boleh ikut puasa 'kan?" tanya putra bungsuku.