"Gimana apanya? Kalo aku lelah apa mau dipaksa jualan? Kamu mau yang jualan?" tanyaku balik.
Rupanya, setan yang sedang melintas menguasai tubuhnya. Seketika, ia berdiri dan mengacungkan pisau ke arahku. Dipegangnya leherku seolah ingin menusukkan pisau itu ke arahku.
Aku yang duduk di bangku kecil di sudut dapur hanya diam. Aku pun tahu dia tak punya nyali untuk melakukan itu. Tanpa rasa takut, aku malah menantangnya.
"Teruskan! Lakukan kalo kamu mau! Aku tidak takut mati!"
Putriku yang sedari tadi diam-diam mendengar pertikaian kami, tiba-tiba keluar dari kamar dan mendatangi kami. Dengan berurai air mata, ia menyadarkan ayahnya yang tengah dikuasai amarah.
"Hentikan! Hentikan, Yah! Ayah selalu begitu terhadap Bunda. Selalu memaksa dan menyalahkan Bunda! Aku benci Ayah!" teriaknya.
Lelaki kekar itu tiba-tiba lemas tubuhnya. Ia bersimpuh di sebelahku. Memohon maaf dengan berurai air mata. Ia menyesal dengan apa yang telah dilakukannya.
"Maafkan aku, Ling, aku tak tahu kenapa bisa melakukan itu padamu. Sedikit pun aku tak ada niat untuk menyakitimu." Bulir bening deras mengalir dari sudut matanya.
Aku hanya terdiam, tak ada satu kata pun yang sanggup terucap. Aku pun tak mengerti, kenapa dia bisa setega itu padaku. Pisau itu memang tak berhasil melukai tubuhku, tetapi cukup mematikan perasaanku.
Aku berlalu, mengambil air wudu lalu masuk kamar dan mengunci pintunya. Tak ingin dia mendekat dengan segala penyesalannya. Tak ingin lagi mendengar segala maaf yang ia mohonkan.
Saat itu, hatiku rasanya beku. Tak ada yang ingin kulakukan, meskipun hanya untuk meluapkan emosi. Semua rasa telah luruh bahkan air mata pun ikut mengering.