***
Sebelum azan Subuh berkumandang, aku keluar kamar, saat yang lain masih terlelap. Kuambil wudu, qiamulail, lalu merenung. Kuingat semua kejadian akhir-akhir ini, terutama yang berkaitan dengan pertikaianku dengan Hans.
Semua pertengkaran selalu berkaitan dengan uang dan pemenuhan kebutuhan hidup. Hans yang baru saja dikeluarkan dari perusahaan tempatnya bekerja, mungkin merasa khawatir. Uang pesangon yang tak banyak dan kebutuhan yang makin mencekik, membuatnya selalu was-was akan pemenuhannya.
Sementara, aku selalu santai. Prinsipku, Tuhan akan selalu memenuhi kebutuhan dan mengirimkan rezeki kepada hamba-Nya. Selama hamba itu mau berusaha, akan ada jalan menjemput rezeki.
Berbagai cara telah kucoba agar dapur tetap mengebul dan kebutuhan sekolah anak-anak terpenuhi. Namun, beda dengan Hans, ia selalu khawatir kami kekurangan, tetapi tak ada sesuatu yang ia kerjakan dengan sungguh-sungguh.
Usai melakukan salat Subuh, aku masih tak ingin membuka pintu kamar. Hans beberapa kali mengetuk pintu dan menyuruhku membukanya, dengan alasan sudah azan Subuh, waktunya salat.
Tanpa jawaban dan tanpa tindakan, aku masih termenung di atas sajadah, mengabaikan semua panggilan Hans. Tak kusadari, bulir bening mengalir begitu deras dari sudut mata. Entah mengapa, baru pagi itu emosiku tersulut.
Rasa sesal dan amarah bercampur jadi satu. Terbayang wajah Hans saat memberikan segeblok uang kepada sepupu perempuannya. Padahal, uang itu sangat kami butuhkan.
Dulu, ketika masih ada kakak perempuannya, jika kami membutuhkan uang selalu datang berdua untuk meminjamnya. Bahkan, saat mengembalikan pun selalu bersama. Dengan alasan biar terbuka semua, tanpa ada yang disembunyikan.
***
Waktu terus berjalan. Kebutuhan makin banyak dan mencekik. Beberapa kali Hans mengeluh butuh uang untuk usaha. Ia mendesak saudara kandung lainnya untuk bersedia menjual tanah warisan.