Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Haruskah Aku Kembali Belajar?

3 Januari 2021   11:35 Diperbarui: 3 Januari 2021   11:58 349
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Sweetlouise@Pixabay.com

Seorang lelaki bermotor berhenti tepat di depan ibuku yang sedang berdiri di dekat gerbang sekolah. Sesaat mereka berbicara serius, tampaknya sedang merencanakan sesuatu. Aku tak begitu menghiraukannya karena bel telah berbunyi, yang berarti aku harus kembali belajar di dalam kelas.

Aku tak tahu apa saja yang telah dilakukan Ibu dengan lelaki itu, yang jelas saat hendak pulang sekolah kulihat Ibu baru turun dari boncengan motor. Ia lalu menghampiriku, mengajakku pulang dengan berjalan kaki. Sedangkan lelaki itu entah siapa dan pergi ke mana, aku takut menanyakannya pada Ibu.

Siang itu, saat masih jam kantor tiba-tiba Ayah pulang dengan segunung amarah. Ia parkirkan motornya dengan tergesa dan terlihat begitu marah pada ibuku. Perang mulut pun tak dapat dihindari, keduanya saling menyalahkan.

Aku hanya terdiam di teras depan. Berusaha mencerna setiap kata yang meluncur dari keduanya. Namun, aku masih tetap tak paham dengan kata dan kalimat mereka.

Hening sejenak, sebelum akhirnya ibuku keluar dengan membawa tas jinjing.

"Ayo, kita pulang ke rumah Nenek!" ajak Ibu penuh emosi.

"Lho, kenapa, Bu?" tanyaku masih bingung.

"Sudah, nggak usah banyak tanya! Ayo cepat berangkat!" Suara Ibu makin tinggi.

Aku hanya bisa mengikuti langkah Ibu dari belakang. Tanpa tahu maksud dan tujuan Ibu meninggalkan rumah Ayah. Aku juga tak berani bertanya bagaimana dengan sekolahku besok, sedangkan saat ini belum waktunya liburan.

Kami berangkat tanpa membawa apapun dari rumah, selain beberapa baju yang dibawa Ibu dalam tas jinjingnya. Sementara rumah Nenek sangat jauh letaknya dengan rumah Ayah. Buku dan semua peralatan sekolahku pun tak ada yang kubawa.

Sesampainya di rumah Nenek, suasana tegang masih kurasakan. Aku yang masih berusia sebelas tahun belum mampu mencerna kata dan kalimat dari pertengkaran ayah dan ibuku. Hanya ketakutan yang kurasakan akibat luapan amarah Ibu.

Nenek pun terlihat ikut marah mendengar cerita Ibu. Dia juga menyalahkan tindakan Ayah yang menurut mereka salah. Namun, aku masih belum paham, apa penyebab kemarahan Ayah hingga mengusir ibuku.

Azan Maghrib berkumandang, seperti biasa jika aku masih di rumah Ayah, segera kuambil mukena menuju musala dekat rumah. Bersama teman sebaya, aku sering ikut salat berjamaah di sana. Namun kali ini, mukena yang kupunya tidak dibawa oleh Ibu, apa yang harus kupakai untuk salat?

Malam pun menjelang, aku masih bingung dengan apa yang harus kulakukan. Buku pelajaran tak ada yang kubawa, padahal besok ada ulangan harian dari Bu Guru. Apa juga yang harus kubaca dan kupelajari? Mana mungkin aku kembali ke rumah Ayah untuk mengambil buku pelajaran?

Aku hanya diam, sesekali mendengar percakapan Ibu dan Nenek. Ada sedikit kalimat yang bisa kutangkap, sepertinya Ayah marah karena Ibu selalu minta uang. Padahal, Ayah sudah berlebihan memberinya.

Ah, entahlah, lebih baik aku tidur saja. Semoga esok Ibu mengajakku kembali ke rumah Ayah. 

***

Pagi itu, Ibu mendapat kabar dari Bu Guru bahwa sekolah diliburkan. Aku bersyukur, tidak jadi ketinggalan pelajaran dan harus ujian susulan sendiri. Akan tetapi, libur kali ini belum jelas sampai kapan, Bu Guru hanya menyampaikan libur dan akan ada pengumuman selanjutnya.

Aku termenung, tak ada teman yang bisa kuajak bermain di rumah Nenek. Nenek sibuk berjualan, sedangkan Ibu tampak mondar-mandir dengan HP-nya. Sesekali terdengar nada panggil di ponsel itu, seseorang menghubunginya.

Tampak kegelisahan di wajah Ibu, tetapi aku takut untuk menanyakannya. Sesekali terdengar Ibu menjawab telepon dan menjanjikan hari lain kepada si penelepon. Namun, aku masih belum jelas juga, hanya bisa mereka-reka dari pembicaraan Ibu.

Tuhan, apakah ini suatu pelajaran yang juga harus dimengerti? Kenapa ayah dan ibuku bertengkar dan harus mengorbankan sekolahku? Apakah masalahnya begitu besar?

Waktu terus berlalu, aku masih belum kembali ke rumah Ayah. Sekolah pun masih libur karena pandemi masih menyelimuti bumi ini. Begitu yang kudengar dari orang-orang dewasa.

Aku hanya tahu dari Ibu dan Nenek bahwa masih ada corona yang membuat sekolahku libur. Kata mereka itu adalah virus yang mematikan jika tertular.  Alasan itu pula yang membuatku mengerjakan tugas dan ujian hanya dari HP.

Siang itu, terdengar lagi suara Ibu marah dengan orang yang meneleponnya.

"Aku nggak ada ongkos untuk pulang, belum lagi harus rapid tes, urus aja sendiri!" HP lalu dimatikannya.

"Siapa yang telpon, Lia? Soni sakit?" tanya Nenek.

"Iya, Mbak Wati yang telpon, Mas Soni masuk rumah sakit karena stroke," jawab Ibu sewot.

"Kamu nggak pulang? Bagaimanapun juga dia suamimu. Temui dia, jelaskan permasalahannya. Ibu juga nggak mau disalahkan kalo ada apa-apa dengan suamimu." Anjuran Nenek sepertinya tidak didengarkan Ibu.

"Bu, dia itu gajinya banyak, tapi nggak diberikan semua kepadaku. Aku kan juga ingin tampil seperti ibu-ibu yang lain," jawab Ibu.

"Tapi kamu terlalu boros. Apa saja kamu beli. Nggak mungkin Soni mengusirmu kalo kamu nggak kelewatan," ucap Nenek masih menyalahkan Ibu.

"Aku ditagih utang, banyak. BPKB motor kugadaikan. Mas Soni tahu, dia marah lalu aku diusirnya." Jawaban Ibu membuat aku mengerti kenapa Ayah sampai mengusirnya.

"Lalu, untuk apa kamu utang? Buat siapa uangnya?" desak Nenek.

"Aku ... aku ... ada laki-laki lain yang aku cintai," jawab Ibu gugup.

"Kamu selingkuh?" Pertanyaan Nenek dijawab Ibu dengan anggukan.

Aku tak paham apa itu selingkuh, yang aku tahu memang Ibu sering didatangi lelaki saat mengantarku sekolah. Saat aku keluar gerbang sekolah pun Ibu kadang masih bersama orang itu. Pernah sekali aku bertanya, Ibu menjawab itu temannya.

Tuhan, apakah ini salah satu pelajaran hidup yang harus kupahami? Mengerti keadaan dan permasalahan orang tuaku yang tidak seharusnya kuketahui.

***

Berbulan aku tinggal di rumah Nenek. Ibuku tak mau pulang ke rumah Ayah, sebaliknya Ayah tak mau menjemput Ibu dengan alasan terbaring sakit karena stroke telah melumpuhkan separuh tubuhnya.

Siang itu, orang-orang sibuk mempersiapkan tahun baru. Nenekku pun ikut sibuk karena menerima pesanan kue dari tetangganya. Katanya tidak boleh bergerombol, tidak boleh ada pesta tahun baru, tetapi masih ada juga yang mau mengadakan. Aku jadi bingung dengan pemikiran orang-orang itu.

Menjelang azan Ashar, HP ibuku berdering, tertulis nama Bude Wati yang menghubungi. Entah apa yang dikatakannya, tetapi wajah Ibu menunjukkan sikap yang tidak biasa.

"Vid, ayahmu meninggal. Jangan menanyakan lagi ayahmu, ya. Kita nggak akan pulang ke sana."

Bagai petir menggelegar, aku yang tak paham permasalahan orang tua jadi korban keangkuhan mereka. Ayahku meninggal dalam keadaan sakit, sementara aku dan Ibu tidak pernah ada di sampingnya. Berbulan terbaring sakit, tetapi sekali pun Ibu tak pernah menjenguk bahkan merawatnya.

Tuhan, inikah pelajaran yang harus kupelajari lagi? Ampuni dosa ayahku. Ampuni kesalahannya pada Ibu. Maafkan aku yang tidak bisa merawatnya saat dia sakit.

Air mata berderai di pipi, tetapi segera kuusap karena Ibu melarangku menangisi kepergian Ayah.

Kenapa harus aku yang merasakan semua ini, Tuhan? Mengapa di saat teman-temanku bergembira menjelang tahun baru, aku justru kehilangan ayahku? Haruskah aku kembali belajar tentang hidup sedangkan temanku yang lain belajar tentang pelajaran baru di sekolah?

Kali ini bukan hanya buku dan peralatan pendukung, bukan hanya semangat dan kedisiplinan belajar melalui daring, bukan juga kuota dan pulsa saja yang kubutuhkan di masa pandemi ini. Namun, aku juga harus menyiapkan kekuatan hati, jiwa dan raga untuk berlapang dada menerima dan menjalani hidup setelah kepergian ayahku.  

Siapa yang bersalah dan siapa yang benar, aku serahkan kepada-Mu, ya Allah. Jadikan Ibu sadar, ada aku yang ingin kembali belajar, menjadi diriku sebagaimana teman-teman lain yang seusia denganku. Haruskah aku kembali belajar tentang hidup?

Sidoarjo, 3 Januari 2021

Any Sukamto

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun