Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Jika Takdirku Harus Mendampingi

3 Juni 2020   11:49 Diperbarui: 3 Juni 2020   11:40 264
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Pixabay.com

Matahari pagi ini bersinar cerah. Bekas hujan tadi malam yang membasahi dedaunan juga masih menyisakan kesegaran. Namun, tak mampu membuat senyumku terlihat ceria. 

Kegamangan selalu ada jika Rudi berangkat ke luar kota untuk urusan bisnisnya.
Entah mengapa, akhir-akhir ini aku selalu curiga. Rudi selalu tergesa-gesa dan ingin segera berangkat jika harinya tiba. Ada sesuatu yang ia sembunyikan. 

"Pagi, Jeng Ema. Lagi bersih-bersih, nih? Pak Rudi sudah berangkat, kok sepi?" tanya Bu Mira, tetanggaku yang sering disebut Bigos, biang gosip. 

"Iya, Bu Mira, ke luar kota pagi ini. Makanya berangkat lebih pagi sebelum macet," jawabku sambil menyapu halaman. 

"Jeng, maaf, ya, sekali-kali diikuti. Biar tahu aktivitasnya di sana. Maaf, ya, bukannya saya provokasi, takut seperti kejadian tetangga sana itu!" Sambil menunjuk suatu arah, Bu Mira membuatku makin resah. Lalu melanjutkan langkahnya ke pasar. 

Usai Bu Mira, aku dikejutkan motor Yanti yang tiba-tiba berhenti tepat di belakangku. Hampir menjerit, sebelum akhirnya sadar kalau Yanti sengaja mengejutkanku. 

"Yanti! Bikin kaget aja! Tumben, kamu pagi-pagi sudah sampai sini?" 

"Kaget, ya? Ada yang mau aku tanyakan, kita ngobrol di dalam, yuk!" ajak Yanti. Aneh, biasanya jarang mau diajak masuk rumah, sekarang malah dia yang menyelonong dulu. 

"Kamu pernah nggak ikut Rudi ke luar kota? Sekali-kali ikuti Ma, jangan terlalu percaya sama lelaki. Apalagi saat jauh, bukannya menakuti, sih, tapi kamu perlu waspada," saran Yanti. 

"Kamu sehat 'kan, Yan? Aku heran hari ini, kamu serba aneh!" tanyaku. Bertambah lagi yang membuat aku resah memikirkan Rudi. 

"Minggu lalu, waktu antar saudaraku nikah, aku melihat Rudi sama perempuan lain di salah satu hotel. Aku nggak kenal perempuan itu, tapi yakin itu Rudi karena turun dari mobilmu." Kalimat Yanti membuatku syok. Kegelisahan makin bertambah. 

Apakah mungkin Rudi tega menghianatiku? Sedangkan usia pernikahan kami baru tiga tahun. Putra pertama kami pun baru belajar berjalan. Oh, Tuhan, kuatkan aku. 


*** 


Waktu bergulir, bulan berganti tahun pun berlalu. Aku masih bertahan mendampingi Rudi dan belum menemukan bukti kuat tentang tuduhan orang kepadanya. 

Kewajiban sebagai istri masih tetap kulakukan, layaknya tak terjadi apa-apa dalam rumah tangga kami. Meskipun, rasa curiga tiap hari semakin bertambah dengan sikap Rudi yang slintutan. 

Aku hanya ingin menjaga putraku,  karena dia satu-satunya amanah yang harus kujaga. Mendidik dan merawatnya hingga tumbuh menjadi pemuda yang bertanggungjawab. Walau saat ini ayahnya bukanlah contoh yang baik untuk perkembangannya. 

Aku tak ingin meracuni otak putraku dengan pertengkaran kami, karena itu aku selalu diam dan mengalah meskipun Rudi sering bersikap tak adil kepadaku. 

Dalam salat selalu kuminta kekuatan dan kesabaran serta keikhlasan. Agar aku mampu menjadikan satu-satunya amanah ini berhasil menjadi kebanggaan kami. Dalam doa selalu kusebut nama Rudi untuk tetap menjadi imam yang baik bagi keluarga kecilku. Dijauhkan dari segala petaka dan kedholiman. 

Tanpa pernah kusadari, satu per satu ternyata bukti bermunculan tanpa harus kucari. Akhir bulan yang selalu tekor pada keuangan Rudi, membuatku ingin mencari tahu ke mana larinya dana. Sedangkan aku tak pernah menerima nafkah darinya. 

Bersyukur aku punya usaha sendiri, meskipun kecil tetapi masih mampu memberi hasil untuk biaya hidup kami sehari-hari. Belanja dapur, uang jajan Daffa dan sedikit sisa untuk kutabungkan dan kusedekahkan. 

Suatu hari, Rudi memintaku mencarikan kredit untuk menambah modal bisnisnya. Dengan berat hati, kujadikan sertifikat rumah sebagai jaminan. Kredit pun cair atas namaku. 

Dua bulan pertama, angsuran masih mampu kami bayarkan. Menginjak bulan ketiga dan seterusnya, terlihat ketimpangan terjadi pada neraca keuangan Rudi. Aku tak bisa diam, kudatangi bank pemberi kredit lalu kuminta customer service mencetak rekening koran atau bukti-bukti pengeluaran dan pemasukan. 

Tanpa sepengetahuan Rudi, kuperiksa satu per satu kejanggalan yang ada. Aku masih diam dan seolah tak tahu apa yang terjadi dengan keuangan bisnis Rudi. Sementara tiap bulan, masih saja aku yang menutup kekurangan tagihan. 

Kadang aku tak habis pikir. Nafkah yang seharusnya kuterima tiap bulan tak pernah kudapatkan. Justru aku yang harus menutup kekurangan dana di bisnis Rudi. Tuhan, kuatkan aku, apa yang harus kulakukan? 

Malam itu, usai salat tahajud tak sengaja mukena yang kukenakan menyentuh tas kerja Rudi. Hingga jatuh dan berceceran isi yang ada di dalamnya. Kuberesi dan kumasukkan lagi ke tempat awalnya. 

Ketika memasukkan salah satu berkas ke salah satu sisi tas, betapa terkejutnya aku. Menemukan sebuah kondom dan kuitansi  pelunasan salah satu hotel. Seketika tubuhku lemas, lutut ini terasa tak mampu menyangga tubuh. Aku bersimpuh kembali dengan linangan air mata, mencurahkan segala rasa kepada-Nya. 

Tak kusangka, Rudi benar-benar tega kepadaku. Namun, aku tetap harus baik padanya. Aku tak ingin Daffa tahu keadaan ini. Aku harus tetap manis di depan Rudi dan Daffa, sekalipun hati ini remuk. 

*** 

Suatu hari, aku diundang teman-teman SMA untuk bertemu dan makan-makan di salah satu restoran. Sebagai istri yang taat, aku tetap meminta izin Rudi meskipun dia di luar kota. Dia mengizinkan asal aku berangkat bersama Daffa. 

"Daffa mau 'kan menemani Bunda? Boleh, ya, Bunda kumpul sama teman sekolah dulu?" tanyaku. Daffa hanya mengangguk, meski agak berat tapi bersedia menemaniku. 

Ilustrasi oleh Pixabay.com
Ilustrasi oleh Pixabay.com
Dia duduk menyendiri di pojok, karena merasa tak nyaman dengan teman-temanku. Aku kagum sendiri dengan perkembangan Daffa,  tak terasa dia telah tumbuh menjadi remaja yang penuh pengertian dan bertanggungjawab. 

Pagi itu, aku dikejutkan suara telepon dari Rudi. Deringnya tak henti-henti seolah ada sesuatu yang darurat. 

"Asalamualaikum ... iya Yah," tanyaku penasaran. 

"Bunda, HP ku yang hitam ketinggalan di meja, ya? Jangan terima telepon dari siapa pun, ya! Jangan diangkat kalo ada telepon masuk!" perintahnya. 

"Oh, gitu? Tadi si Hendra sama Dion telepon, aku jawab kalo HP Ayah ketinggalan. Itu aja, sih," jawabku ketakutan. 

"Sudah dibilang, jangan diangkat! Masih bandel aja, Ayah mau pulang ini. Ambil HP!" Segera telepon dimatikan, terdengar kemarahan Rudi yang meluap-luap hanya karena HP ketinggalan. 

"Tahu nggak? Tiga kali Ayah menyerempet mobil dan motor, gara-gara Bunda nggak bisa jaga amanah!" bentak Rudi begitu sampai di rumah. 

"Kok, Bunda yang disalahkan? Ayah yang sembrono kenapa Bunda yang salah?" tanya Daffa tiba-tiba muncul dari kamar. 

Rudi terdiam dan langsung pergi meninggalkan kami berdua. Kupandangi Daffa, kupeluk satu-satunya buah hatiku. 

"Maafkan Ayah, dia lagi banyak urusan dan tergesa-gesa." Aku berusaha menghibur Daffa dan mengalihkan tatapan kebencian yang mulai tampak di matanya.
 

*** 

Hari yang kujalani terasa semakin berat. Di satu sisi harus menggenggam bara pengkhianatan Rudi. Namun, di sisi lain aku harus tampak anggun dan tetap dingin di hadapan Daffa. Aku hanya berusaha tegar, kupasrahkan semua skenario hidup pada Sang Sutradara Agung. Apa pun yang terbaik bagiku adalah yang Dia kehendaki. 

Kejadian berulang lagi, HP Rudi tertinggal di rumah. Baru ingat setelah dia sudah di luar kota, terlalu jauh jika harus mengambil kembali ke rumah. Pesannya pun masih sama, jangan sentuh apalagi mengangkat telepon. 

Namun, kali ini Daffa membuatku terharu. Diam-diam dia memahami permasalahan kedua orang tuanya. Dia juga tahu kombinasi angka untuk membuka HP ayahnya. Bahkan menggandakan aplikasi Whatsapp ayahnya di HP nya sendiri. Aku bingung harus bagaimana menghadapinya. 

"Buka aja HP ayah, Bun! Aku tahu passwordnya." Segera diberikannya HP hitam itu padaku. 

Kulihat ada beberapa pesan yang masuk, kupilih salah satu nama dari perempuan. Perlahan kubaca isi percakapannya, luruh bulir bening dari mata ini. Tak kuasa membaca kata per kata yang meremukkan hati. 

Tiba-tiba Daffa mendekat dan memelukku. Dekapannya mampu membangkitkan semangatku, untuk tetap tabah dan ikhlas menerima semua ini sebagai cobaan. 

"Nanti kalo Ayah pulang kita yang pergi, Bun. Aku nggak mau lihat Bunda disakiti Ayah lagi," bisik Daffa. Aku terkejut, ternyata dia menyimpan dendam pada ayahnya. 

"Daffa nggak boleh begitu, Sayang. Bagaimanapun juga dia ayahmu, Nak. Dia imam kita. Semoga Allah memberi hidayah agar dia sadar dan kembali pada kita." 

Aku berusaha meredam amarah putraku yang sedang beranjak dewasa. Takut dia tak bisa mengendalikan emosinya. Takut dendamnya menjadi kebencian yang mendalam pada ayah kandungnya. Kupeluk lagi dia, kubisikkan kalimat-kalimat yang menyejukkannya, hingga akhirnya meleleh butiran hangat di pipinya yang putih. 

***

Mobil Rudi memasuki halaman. Dengan langkah gontai dia memasuki rumah. Tampak guratan penuh beban di wajahnya. Entah apa yang dipikirkannya. 

Aku tak beranjak dari meja depan etalaseku. Kubiarkan dia masuk rumah tanpa penyambutan seperti biasanya. Daffa pun terlihat asyik dengan bukunya dan tak menghiraukan kedatangan ayahnya. 

Tiba-tiba Rudi bersimpuh di dekat kakiku. Dia menangis dan memohon maaf atas khilafnya selama ini. Aku terdiam, bibir ini terasa beku, lidahku kelu. Air mata pun tak bisa menetes, mungkin telah habis berlinang sebelum kutemukan bukti atas pengkhianatan Rudi. 

Aku berdiri dan mencoba berlalu, tetapi Rudi mendekap erat kaki ini. Berusaha menyembah dan mencium jemari kakiku. Air mata terasa hangat membasahi punggung kaki. 

"Untuk apa kau sembah aku? Tak sepantasnya, aku bukan Tuhanmu. Sedangkan Dia yang patut kau sembah tak pernah kau lakukan." Aku berusaha tegar di hadapan Rudi dan Daffa. 

"Ampuni aku Bun, maafkan aku. Selama ini aku telah khilaf dan melupakan kalian. Maafkan aku!" tangisan Rudi semakin menjadi. 

Daffa berdiri dan  terdiam, sinar matanya menampakkan amarah. Aku berusaha menjaga agar ayah dan anak tak sampai bertikai. Bagaimanapun hancurnya hatiku, yang bersimpuh ini adalah suamiku, dan yang berdiri di sudut adalah putraku. 

"Aku telah ditipu orang Bun, uangku habis." Tiba-tiba Rudi tersungkur, dia pingsan dengan tubuh tertelungkup di hadapanku. Aku berteriak dan memanggil Daffa, segera dia mencari bantuan. Sesaat kemudian Rudi dilarikan ke rumah sakit. 

Dokter memanggilku setelah memeriksa semua kondisi kesehatan Rudi. Hasil laboratorium menyatakan positif darah tinggi, diabetes melitus, kolesterol, asam urat dan penyumbatan saluran menuju jantung. Ada indikasi stroke ringan. Maka harus dirawat secara intensif di ICCU. Aku terdiam, pasrah. 

Ketika Rudi mulai sadar, perawat memanggilku. Aku diminta mendampinginya, mungkin berkenan membacakan Al-Qu'ran agar kondisi Rudi segera membaik. Rudi meminta aku menggenggam tangannya. Tangan yang sudah sekian lama tak pernah menyentuhku, tetapi justru membelai perempuan lain yang tak pernah peduli pada keadaan Rudi seperti saat ini. Aku jijik. 

Terlihat butiran bening mengalir dari sudut mata Rudi. Tak sepatah kata pun sanggup ia ucapkan, terlebih di mulutnya terpasang masker oksigen. Aku jadi merasa bersalah, istri macam apa aku ini? Tega dengan suami yang sedang meregang nyawa di hadapannya. 

Kucoba menggenggam erat tangan Rudi, dia pun berusaha menggenggam tanganku. Tampak seolah kedamaian hadir di hatinya. Ketegangan yang menggurat di wajahnya mulai memudar. 

Tuhan, jika memang takdirku harus mendampingi lelaki lemah di hadapanku ini, maka kuatkan aku. Ingatkan aku bahwa semua yang kulakukan karena kepasrahanku atas kehendak-Mu. Kupasrahkan hidupku hanya pada-Mu, ya Robb. 

*** 

Ramadan telah tiba, bulan yang penuh ampunan dan kasih sayang. Terlihat sekali perubahan pada diri Rudi. Dia benar-benar sudah bertobat dan kembali seperti Rudi yang kukenal 18 tahun yang lalu. 

Meskipun bisnis yang dijalankannya redup akibat jatuh sakit, tetapi hikmahnya sangat besar pada kondisi mental Rudi. Tabungan yang kumiliki pun ikut menjadi penyangga, menutup semua kekurangan  tagihan. 

Alhamdulillah, Tuhan maha adil. Dia tidak akan membiarkan hamba-Nya yang mau berusaha. Bisnisku mulai menggeliat seiring dengan banyaknya pesanan baju muslim. Rudi pun kembali sehat dan bekerja lagi dengan bisnisnya yang dulu. 

Terkadang, masih ada rasa khawatir saat Rudi berangkat ke luar kota di mana perempuan itu berada. Teringat perbuatannya yang menjijikkan. Namun, segalanya telah aku pasrahkan. Jika memang Allah yang menghendaki, itulah yang harus kujalani. 

Pagi itu, terdengar HP Rudi berdering di kamar, sedangkan dia sudah berangkat ke luar kota setelah salat Subuh. Deringnya tak henti-henti membuatku ingin mencari letak barang itu, ternyata masih di saku celana Rudi yang dipakai tadi malam. Jelas tertera nama perempuan yang memanggilnya. 

Sesaat kemudian ada pesan masuk, [Mohon maaf Pak Rudi, meeting hari ini dibatalkan karena Pak Gani ada urusan mendadak. Hormat saya, Sisca]

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun