"Buka aja HP ayah, Bun! Aku tahu passwordnya." Segera diberikannya HP hitam itu padaku.Â
Kulihat ada beberapa pesan yang masuk, kupilih salah satu nama dari perempuan. Perlahan kubaca isi percakapannya, luruh bulir bening dari mata ini. Tak kuasa membaca kata per kata yang meremukkan hati.Â
Tiba-tiba Daffa mendekat dan memelukku. Dekapannya mampu membangkitkan semangatku, untuk tetap tabah dan ikhlas menerima semua ini sebagai cobaan.Â
"Nanti kalo Ayah pulang kita yang pergi, Bun. Aku nggak mau lihat Bunda disakiti Ayah lagi," bisik Daffa. Aku terkejut, ternyata dia menyimpan dendam pada ayahnya.Â
"Daffa nggak boleh begitu, Sayang. Bagaimanapun juga dia ayahmu, Nak. Dia imam kita. Semoga Allah memberi hidayah agar dia sadar dan kembali pada kita."Â
Aku berusaha meredam amarah putraku yang sedang beranjak dewasa. Takut dia tak bisa mengendalikan emosinya. Takut dendamnya menjadi kebencian yang mendalam pada ayah kandungnya. Kupeluk lagi dia, kubisikkan kalimat-kalimat yang menyejukkannya, hingga akhirnya meleleh butiran hangat di pipinya yang putih.Â
***
Mobil Rudi memasuki halaman. Dengan langkah gontai dia memasuki rumah. Tampak guratan penuh beban di wajahnya. Entah apa yang dipikirkannya.Â
Aku tak beranjak dari meja depan etalaseku. Kubiarkan dia masuk rumah tanpa penyambutan seperti biasanya. Daffa pun terlihat asyik dengan bukunya dan tak menghiraukan kedatangan ayahnya.Â
Tiba-tiba Rudi bersimpuh di dekat kakiku. Dia menangis dan memohon maaf atas khilafnya selama ini. Aku terdiam, bibir ini terasa beku, lidahku kelu. Air mata pun tak bisa menetes, mungkin telah habis berlinang sebelum kutemukan bukti atas pengkhianatan Rudi.Â
Aku berdiri dan mencoba berlalu, tetapi Rudi mendekap erat kaki ini. Berusaha menyembah dan mencium jemari kakiku. Air mata terasa hangat membasahi punggung kaki.Â