Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Hati yang Retak (Tamat)

31 Mei 2020   11:17 Diperbarui: 31 Mei 2020   11:17 562
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi oleh Pixabay.com

Sepanjang perjalanan pulang, aku memikirkan ucapan Pak Ashari. Apa maksud ucapannya membutuhkan hatiku? Bukankah ia tahu aku tengah patah hati.

Ia pun tahu Rudi juga menaruh hati padaku. Dari ucapan Jesi yang beberapa kali menggodaku saat jam istirahat, Pak Ashari paham tentang perasaan Rudi terhadapku.

Malam itu menjadi malam yang paling menggelisahkan bagiku. Keinginan untuk segera meninggalkan kota ini dengan alasan mutasi jabatan bisa dipastikan gagal. Pak Ashari jelas menahanku, sedangkan hatiku ingin segera berlari meninggalkan semua kepahitan.

***

Beberapa hari sejak Pak Ashari menyatakan sikapnya, aku jadi bimbang. Apakah mungkin Pak Ashari menaruh hati padaku, sedang ia baru beberapa bulan di sini. Apakah aku harus berpaling dari Mas Ardy, yang kini telah menikah?

Tanpa sengaja kubandingkan antara sosok Pak Ashari dan Rudi. Haruskah aku memilih salah satu dari mereka? Apakah ini bukan sebagai pelampiasanku saja?

Oh, Tuhan, beri aku petunjuk, di saat hatiku merasa disakiti kini ada dua hati yang ingin menawarkan kepahitan itu.  Harusnya aku memulai hidup dengan melihat realitas yang ada. Masih ada orang lain yang membutuhkan segenap jiwa ragaku.

Mas Ardy memang telah berlalu dan tak akan kembali, aku harus menghilangkannya dari anganku walau sulit. Tak akan mungkin ia kembali kumiliki, sedang akad telah ia ikrarkan bersama wanita yang kini menjadi istrinya.

Kucoba mulai membuka dan menata hati, bersikap ramah dan perhatian kepada Rudi atau Pak Ashari. Siapakah salah satu dari mereka nantinya yang akan memenangkan hatiku. Oh, pantaskah aku memilih, sedang mereka bukan pilihan?

Sore saat pulang kantor, aku berusaha menunggu Rudi untuk ikut dalam mobilnya. Hal yang dulu jarang kulakukan dan kini terjadi di hadapan Pak Ashari. Tampaknya ada sedikit cemburu pada sikapnya, aku bisa membacanya sedikit gurat kecewa di wajah si Boss.

Namun, hal itu hanya beberapa saat saja. Setelah itu ia lupa dengan sikapku yang mau menerima tawaran Rudi pulang bersama. Juga tak berusaha menegurku jika memang ia cemburu atas sikapku.

Sebaliknya Rudi, dia juga tak pernah menanyakan saat aku dipanggil ke ruang pimpinan. Tak pernah sedikit pun ingin tahu keperluanku dengan si Boss. Apa benar yang dikatakan Jesi kalau Rudi mencintaiku, lalu sikapnya yang dingin begini apa bisa dikatakan ia suka?

Aku jadi serba salah, bagaimana seharusnya aku bersikap? Haruskah kutentukan salah satu dari mereka yang jadi pilihanku? Bagaimana jika mereka sakit hati dan marah padaku, sementara kami berada satu atap yang sama setiap hari.

***

Pagi itu, angkot yang kunaiki berhenti tepat di sisi Jesi turun dari motor. Senyum manis selalu terkembang dari bibirnya yang tipis. Seperti biasanya, ia selalu menyapaku lebih dulu.

“Pagi, Ranti, Apa kabar hari ini? Duh, sekarang kalo pulang sore nggak pernah tengok kanan kiri, langsung aja masuk mobil tanpa lirik-lirik lagi,” sindirnya.

“Kamu, Jes! Orang pulang naik angkot diteriaki, orang nebeng teman dinyinyiri, payah!” jawabku sekenanya.

“Ran, gimana rencana mutasi Bali? Jadi? Kasihan Rudi donk.”

Mendengar pertanyaan Jesi aku mengurungkan langkah selanjutnya.

“Nggak akan ada mutasi, Pak Ashari gak menyetujui. Kenapa dengan Rudi? Dia tak pernah berkata apa pun, pulang ya pulang. Sampai ujung gang aku turun.”

“Baguslah! Kamu gak jadi lari dari kenyataan, dan ada Rudi yang akan bertahan,” ledeknya sambil terkekeh. “Rudi gak mau bersaing dengan si Boss. Biar kamu yang menentukan sendiri. Jelas kalah kalo dibandingkan dengan si Boss. Itu katanya.” Aku pun terdiam.

“Kamu dengar kabar nggak, Pak Ashari mau menikah?”

Seketika mataku terbelalak dan mulutku menganga, “AAPPAA?”

“Widih, yang mau nikah sana kenapa kamu melototnya ke saya?” Lagi-lagi Jesi terkekeh.

Kemudian menjelaskan kalau Pak Ashari sebenarnya sudah punya tunangan, tetapi masih ragu mau menikah, calon mertuanya masih sakit dan entah kapan sembuhnya.

 Aku lemas, hampir saja aku berharap akan cintanya, ternyata ia pun sudah punya pilihan. Lantas untuk apa selama ini menahanku? Mengapa seolah memberi harapan meski hanya tersirat, oh, Tuhan.

Aku berlalu meninggalkan Jesi. Langkah gontai kuayun menaiki tangga menuju ruang kerjaku. Tak mengira, ternyata Pak Ashari sudah ada di ruangannya saat aku melintas.

“Pagi, Ranti, gak biasanya deh kamu kuyu begitu. Bukannya akhir-akhir ini sudah ceria?” sapanya saat aku tepat di depan pintu. “Masuk dulu sini, Ran, ada yang perlu aku bicarakan.”

Dengan berat aku mengikuti perintahnya. Sejenak otak sehatku berpikir, mengapa aku harus kecewa, toh Pak Ashari bukan pacarku. Kalau memang dia mau menikah kenapa aku yang kecewa?

Aku duduk di kursi depan mejanya, sambil menunduk aku menanyakan keperluan dia memanggilku.

“Kamu tahu alasanku melarangmu mutasi ke Bali? Karena kamu hanya ingin melampiaskan kekesalanmu. Lingkungan di sana tidak baik, bukan Balinya, tapi lingkungan dekat kantor dan mes kita. Aku sudah pernah tugas di sana dua tahun, dan aku mengalami sendiri.”

Aku tetap menunduk sambil mendengarkan uraiannya. Menurutnya, Bali sangat kuat pengaruhnya. Jika tidak kuat iman aku akan terperosok kehidupan malam yang tak jelas.

“Tapi kan tidak semua orang begitu, Pak. Kembali pada pribadi masing-masing. Selagi kita bisa menahan diri dan tak akan tergoda, why not?”

“Oke, sekarang kamu bisa bilang gitu. Dulu aku pun begitu. Dan setelah sampai sana, Apa yang terjadi, aku berubah total. Lokasi kantor kita dekat dengan diskotik, lokasi mes juga dekat dengan club malam." Pak Ashari memberi gambaran. 

"Aku sudah pernah tinggal di sana Ran, karena aku tahu salatmu rajin. Puasa juga rutin, aku hanya tak sanggup melihat semua itu lenyap. Sama halnya aku menjerumuskan kamu kalau kau di sana." 

"Dan rata-rata memang lelaki yang ditempatkan di sana. Jadi, mohon kamu mengerti. Aku sangat menyayangkan jika kamu harus berangkat. Lebih baik juga di sini. Dekat dengan keluargamu dan teman-teman sekolahmu. Di sana kamu sendiri, dan pasti akan mencari teman.”

Tiba-tiba aku merasa ada kekuatan yang mendorong untuk menanyakan kabar pernikahannya. Hal ini akan aku kaitkan dengan alasannya melarangku mutasi.

“Lalu, apa artinya saya di sini. Pak Ashari akan menikah ‘kan, Pak?” Seolah tercekik saat aku berusaha melepaskan kalimat itu.

“Oh, masalah itu. Kamu tahu dari mana? Aku memang akan menikah, sudah lama direncanakan, dan entah kapan akan terwujud.” Sambil mendesah ia menunduk.

“Aku sempat berpikir akan meninggalkan tunanganku, karena makin tak jelas hubungan kami. Ternyata Tuhan berkehendak lain. Calon mertuaku meninggal dan aku harus menikah di hadapan jenazahnya secara siri. Mungkin resminya akan menunggu dua atau tiga bulan lagi. Kamu kecewa?”

Aku mendongakkan kepala, kutatap manik hitam di matanya. Namun, tak sanggup berkata-kata. Sesaat kemudian aku bangkit dari duduk dan hendak ke luar ruangan.

“Ran, maafkan aku.”

“Untuk apa? Toh belum ada komitmen apa-apa di antara kita, meskipun aku tengah berusaha mengobati luka.”

Aku melangkah keluar lalu duduk di kursi dan mulai merapikan berkas yang harus kuselesaikan hari ini. Berharap emosiku tak terpancing dengan kejadian tadi, aku berusaha menghadap komputer seolah terlihat sibuk.***

Waktu berjalan begitu lambat, aku ingin segera menyudahi suasana di sini. Makin lama makin sakit hati ini, entah karena apa. Hanya ingin resign saja dari kantor ini.

Suatu hari, kuberanikan diri menemui Pak Ashari. Niatku hendak resign dengan alasan mengikuti saudara ke Amuntai. Celakanya, Pak Ashari pun pernah tugas di sana hampir tiga tahun.

Semua cerita dan pengalamannya disuguhkan untukku agar berhati-hati dan pandai membawa diri. Menurutnya, itulah modal utama yang harus kubawa jika hendak memasuki suatu kota untuk menetap.

Aku hanya mengangguk dan mengiyakan semua pesannya. Permohonan maaf tak lupa juga kusampaikan jika selama menjadi bawahannya aku banyak melakukan kesalahan. Kemudian aku pamit.

“Terima kasih, ya, Ran, maaf kalo aku nggak bisa mengayomimu, menjadi pemimpin yang baik selama kita bekerja sama di sini.”

“Sama-sama, Pak. Sebaliknya saya juga minta maaf kalo belum bisa membantu Bapak menyelesaikan tugas.”

“Semoga ke depannya kariermu makin bagus. Dan ingat satu hal, I love you. Meskipun aku tak bisa memperjuangkan itu.”

Jleebb!

Tamat

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun