Sebaliknya Rudi, dia juga tak pernah menanyakan saat aku dipanggil ke ruang pimpinan. Tak pernah sedikit pun ingin tahu keperluanku dengan si Boss. Apa benar yang dikatakan Jesi kalau Rudi mencintaiku, lalu sikapnya yang dingin begini apa bisa dikatakan ia suka?
Aku jadi serba salah, bagaimana seharusnya aku bersikap? Haruskah kutentukan salah satu dari mereka yang jadi pilihanku? Bagaimana jika mereka sakit hati dan marah padaku, sementara kami berada satu atap yang sama setiap hari.
***
Pagi itu, angkot yang kunaiki berhenti tepat di sisi Jesi turun dari motor. Senyum manis selalu terkembang dari bibirnya yang tipis. Seperti biasanya, ia selalu menyapaku lebih dulu.
“Pagi, Ranti, Apa kabar hari ini? Duh, sekarang kalo pulang sore nggak pernah tengok kanan kiri, langsung aja masuk mobil tanpa lirik-lirik lagi,” sindirnya.
“Kamu, Jes! Orang pulang naik angkot diteriaki, orang nebeng teman dinyinyiri, payah!” jawabku sekenanya.
“Ran, gimana rencana mutasi Bali? Jadi? Kasihan Rudi donk.”
Mendengar pertanyaan Jesi aku mengurungkan langkah selanjutnya.
“Nggak akan ada mutasi, Pak Ashari gak menyetujui. Kenapa dengan Rudi? Dia tak pernah berkata apa pun, pulang ya pulang. Sampai ujung gang aku turun.”
“Baguslah! Kamu gak jadi lari dari kenyataan, dan ada Rudi yang akan bertahan,” ledeknya sambil terkekeh. “Rudi gak mau bersaing dengan si Boss. Biar kamu yang menentukan sendiri. Jelas kalah kalo dibandingkan dengan si Boss. Itu katanya.” Aku pun terdiam.
“Kamu dengar kabar nggak, Pak Ashari mau menikah?”