"Duhai Rama yang memesona, inilah Adinda datang dengan membawa bunga. Ini bunga bukan sembarang bunga. Ini bunga adalah pinus asli. Ini rasa bukan sembarang rasa. Ini rasa serius dari hati. Oh, Kakanda, sudikah menerima bunga dari Dinda? Bunga rasa dalam jiwa, yang terlanjur suka pada Kakanda." Kuindahkan suara untuk membujuk Rama dengan puisi.
Rama ternganga, diam seribu bahasa. Senior  yang lain tertawa terbahak.
"Rama. Segera terima cinta itu bocah! Jangan suka mainin perasaan perempuan, lho, ya!" Kak Budi menimpali.
Oh Tuhan, terima kasih, sudah kujalankan tugas dari Kak Indah dengan baik.
Dari jauh Kak Indah tertawa terbahak, melihat raut wajah Rama merah padam. Senior lain ikut bahagia, melihat aku sukses bermain drama.
***Â
Hari itu, aku pulang lebih akhir. Ada yang belum selesai kusalin.
Di depan gerbang sekolah, kulihat Rama masih berdiri di sana.
"Kok, baru pulang? Ada yang ketinggalan?" sapa Rama.
"Iya, Kak, hatiku."
"Tertinggal di mana?" Rama kebingungan.