Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Akhir Sebuah Pembuktian

19 Februari 2020   10:18 Diperbarui: 22 April 2020   15:33 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Akhir Sebuah Pembuktian

Any Sukamto

Siang itu, usai kuliah Bibah datang ke kosku sambil tersengguk, matanya yang bulat basah oleh air mata. Dengan suara lembut, perempuan berwajah manis itu  menceritakan semua kegelisahan yang mengendap di hati.

Dia tak pernah menduga sama sekali, bahwa sahabat terbaiknya ternyata tega mengkhianati kepercayaan yang diberikan. Sebagai teman lelaki terdekatnya, aku hanya tertegun, mencoba memahami dan mengerti keadaannya. Kebetulan kami berasal dari kota yang sama, dan satu jurusan di kampus biru ini.

Sejak saat itu, seolah dia menaruh harapan besar padaku. Ada sesuatu yang dia inginkan dan butuhkan. Mungkin saja sebagai pengganti sahabatnya itu, bisa juga pertolongan dariku,  atau ... mungkin cintaku? Entahlah.

Ada binar indah yang kutangkap dari sorot mata beningnya. Ada getar rasa yang tak bisa kunalar hadirnya. Ada rasa nyaman saat kami bertemu, dan aku membiarkan semua ini, serta tak ingin kehilangan kesempatan yang ada.

"Bibah, aku boleh bertemu orang tuamu?" tanyaku pada Bibah, setelah lima bulan kami berteman dekat.

"Tumben, ada apa?" tanya Bibah sambil memasukkan sesendok nasi ke mulut.

"Aku ingin melamarmu."

Seketika, mata Bibah terbelalak. Bibirnya diam mengunyah, dan seolah napasnya terhenti sesaat. Kemudian, dia terbatuk-batuk karena tersedak. Beberapa mahasiswa pengunjung kantin yang kebetulan duduk dekat meja kami pun menoleh.

Kusodorkan segelas minuman dingin yang ada di hadapanku. Segera diraihnya dan meneguk isi yang ada dalam gelas. Dia pun terlihat lebih tenang kembali.

"Apa maksudmu melamarku? Rizal, kuliah saja kita belum selesai, lalu bagaimana anak-anak kita kelak? Kau nafkahi apa aku?" tanya Bibah. Sepertinya, dia menganggap aku hanya bercanda.

"Hidup, mati, jodoh dan takdir ada yang ngatur. Insyaallah kalo niat kita baik dan tulus, Allah akan memudahkan," jawabku tegas.

Bibah pun terdiam. Sejenak berpikir, ada sesuatu yang sepertinya mengganjal di hati perempuan pemilik lesung pipi itu. Namun, dia ragu untuk menyampaikannya.

"Aku tidak ingin setiap hari kita menambah dosa. Kamu cinta aku 'kan? Pikirkan yang kita lakukan saat ini. Berapa lama kita dekat dan mulai akrab? Kita memang tidak saling bersentuhan, kita juga nggak berlebihan, tetapi suatu saat, bisa saja imanku runtuh dan aku nekat dengan syahwatku. Aku mencintaimu, Bibah."

Bibah terdiam. Dia hanya menunduk. Mungkin menyesal karena telah menjadikanku teman dekatnya. Atau mungkin, dia justru sedang mengatur suatu rencana.

***
Pagi itu, aku dan Bibah tak ada jadwal kuliah. Kami pun melanjutkan tidur usai salat Subuh. Ketika terdengar pintu diketuk, aku berusaha bangkit dan membuka pintu. Betapa terkejut saat mengetahui siapa yang datang.

"Asalamualaikum, benar ini kontrakan Habibah?" tanya lelaki itu.

"Benar, Pak," jawabku sambil mengulurkan tangan untuk menjabat tangannya.

"Kok, ada lelaki di sini? Bukankah ini kontrakan mahasiswi? Perempuan semua 'kan yang tinggal di sini ... ?" belum selesai pertanyaan lelaki itu, tiba-tiba Bibah berdiri di sampingku. Tanpa mengenakan jilbab dengan rambut kondisi basah, membuatnya semakin murka.

"Lho, apa-apaan ini, Bibah? Siapa dia?" Pertanyaan ganti tertuju pada Bibah. Tampak amarah dari lelaki yang ternyata ayah Bibah.

Segera Bibah menarik tangan ayahnya dan berusaha mencium. Namun, segera dihempaskan, mata merah dan geraham yang tergigit erat tampak di wajah ayahnya. Bibah pun diam tertunduk.

Kami mempersilahkan masuk. Banyak yang harus dijelaskan. Dalam ruang tamu yang sempit, ayah Bibah duduk bersila dan meminta pertanggungjawabanku.

Dengan emosi yang masih menyala, lelaki paruh baya itu meminta penjelasanku secara menyeluruh. Bagaimana mungkin aku dan Bibah bisa menikah tanpa persetujuan dari salah satu wali perempuan.

Kami bisa memaklumi, dan berusaha tenang memberi penjelasan dengan sabar. Karena memang semua ini kesalahan kami, tanpa meminta izin dan restu terlebih dulu untuk menikah.

"Tidak mungkin kalian bisa menikah tanpa ada wali dari pihak perempuan. Aku ayahmu. Dan aku tidak pernah memberimu ijin menikah sebelum usai kuliahmu!" Ayah Bibah masih geram.

" Ee ... tapi kami sudah resmi menikah secara agama, Pak. Ini surat keterangan pernikahan kami." Kusodorkan seberkas bukti pernikahanku dengan Bibah. Namun, tak disentuh sedikit pun, bahkan dibaca isi kertas tersebut.

"Ini semua kami lakukan karena tidak ingin menambah dosa jika kami pacaran. Sebagaimana Bapak mengajarkan putri Bapak untuk menjaga auratnya, maka saya pun berusaha menjaga kehormatan putri Bapak dengan menikahinya. Walaupun tanpa seizin Bapak." Aku tetap  berusaha tenang dan memberi penjelasan sedetail mungkin.

Ayah Bibah hanya terdiam, menunduk menahan emosi, dan berusaha menyembunyikan bulir bening yang mulai menggenang di sudut matanya. Dia sangat terpukul melihat keadaan kami. Tampak tubuhnya yang kian lelah, setelah sekian jam menempuh perjalanan demi menemui putri tercintanya yang menuntut ilmu di luar kota. Namun, harapannya kandas setelah mengetahui keberadaanku di kontrakan Bibah.

"Maaf, Pak, kami sudah berencana tidak akan memiliki putra dulu sebelum usai kuliah kami. Saya juga sudah berjanji pada Bibah akan menafkahinya walau kami masih berstatus mahasiswa."  

Bibah dan ayahnya hanya diam, suasana hening sesaat. Aku melanjutkan kalimatku yang masih belum selesai.
"Saya hanya minta doa dan restu, semoga kami bisa memegang amanah untuk tetap melanjutkan kuliah hingga akhir. Meskipun jalan yang kami tempuh berbeda dengan keinginan Bapak."

Kemudian, Bibah bangkit dari duduknya, menuju ke dapur untuk membuatkan kopi ayahnya. Aku hanya mengangguk saat dia meminta ijin meninggalkan kami berdua.

Sesaat kemudian, ayah Bibah berdiri dan melangkah ke luar rumah. Tanpa sepatah kata pun, ia meninggalkan kontrakan kami. Aku hanya berdiri dan mengikuti ke luar rumah. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mencegahnya.

Bibah keluar dengan membawa nampan berisi dua cangkir kopi. Dia terkejut ketika mengetahui ayahnya telah pergi tanpa pamit padanya. Namun, ia segera memahami sikap ayahnya. Kekecewaan yang sangat dalam seolah bisa ia rasakan.

***
Kabar sedih yang kami terima mengharuskan aku dan Bibah pulang ke rumah orang tuanya. Bapak jatuh sakit setelah mengunjungi kami. Beban pikiran membuat tubuhnya lemah, hingga beberapa hari hanya terkulai lemas di pembaringan.

Sesampainya kami di hadapan Bapak, segera Bibah meraih tangan lalu menciumnya, bergantian denganku. Kami lakukan juga hal itu terhadap Ibu yang saat itu di samping Bapak. Hanya air mata yang mengalir di pipi perempuan paruh baya itu.

Mengetahui kedatangan kami, Bapak berusaha mengucapkan suatu kata. Namun, hanya Ibu yang mendengar dan mengerti maksudnya. Seketika itu juga Ibu berdiri dari duduknya dan marah pada kami berdua.

"Bibah, sekarang kau lihat kondisi Bapakmu! Apa yang kau lakukan cukup membuat ayahmu terpukul. Sepulang dari kontrakanmu, Ayah hanya diam. Tak banyak bicara, hingga akhirnya kau lihat sendiri keadaannya. Sekarang, pergi kau dari sini bersama suamimu! Jangan injak rumah ini sebelum kalian berhasil meraih gelar sarjana! Hanya itu yang ayah inginkan." Selesai dengan amarahnya, Ibu meninggalkan kami dan keluar kamar.

Sebelum melangkah keluar, aku dan Bibah menatap wajah Bapak. Terlihat air mata terurai dari pelupuk matanya. Tampak kesedihan yang mendalam. Tak banyak yang bisa kami lakukan, selain mencium tangannya kembali dan memohon restunya.

***
Apa pun  aku lakukan demi memenuhi keinginan Bapak. Selain kuliah, aku juga bekerja serabutan. Bibah pun mencoba berusaha mencari tambahan uang. Asal cukup untuk memenuhi biaya kebutuhan sehari-hari.

Uang kuliah dari orang tuaku hanya cukup untuk diriku sendiri. Sedang kebutuhan dan kuliah Bibah, kami harus mengupayakan sendiri. Orang tua Bibah sudah memutus biaya kuliahnya sejak mengetahui ia kunikahi.

Waktu yang terus bergulir memacu semangatku untuk membuktikan kepada orang tua Bibah, bahwa keputusan kami tidak salah. Meskipun tinggal dalam satu kontrakan, dan status kami sebagai suami istri, tetapi kami tidak lupa dengan janji dan komitmen awal.

Hingga tiba saatnya, semua ujian telah terlewati, wisuda pun segera digelar. Kami bermaksud menemui kedua orang tua Bibah untuk mengundang mereka menyaksikan hari pengukuhan kami sebagai sarjana.

"Rizal, kamu sudah siap menghadapi amarah Bapak dan Ibu?" tanya Bibah sambil berkemas.

"Insyaallah aku siap. Kamu? Maafkan aku, Bibah, jika telah membawamu dalam masalah ini." Bibah hanya tersenyum dan memandangku. Seolah terlihat tegar dan ikhlas menjalani semua ini.

Aku berangkat menuju rumah mertuaku, bersama istri yang telah kunikahi selama dua tahun terakhir. Ada rasa bangga dan bahagia, berharap bisa bertemu mereka.

Namun, takdir berkata lain. Ayah Bibah ternyata sudah pergi lima hari sebelum kedatangan kami. Beliau pergi dengan tenang setelah mendapat penjelasan dari adik lelaki Bibah, bahwa dialah yang menjadi wali nikah dari pihak perempuan.

Tamat

 11 Februari 2020

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun