Mohon tunggu...
Any Sukamto
Any Sukamto Mohon Tunggu... Penulis - Belajar dan belajar

Ibu rumah tangga yang berharap keberkahan hidup dalam tiap embusan napas.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen Pilihan

Cerpen | Akhir Sebuah Pembuktian

19 Februari 2020   10:18 Diperbarui: 22 April 2020   15:33 165
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

Kami mempersilahkan masuk. Banyak yang harus dijelaskan. Dalam ruang tamu yang sempit, ayah Bibah duduk bersila dan meminta pertanggungjawabanku.

Dengan emosi yang masih menyala, lelaki paruh baya itu meminta penjelasanku secara menyeluruh. Bagaimana mungkin aku dan Bibah bisa menikah tanpa persetujuan dari salah satu wali perempuan.

Kami bisa memaklumi, dan berusaha tenang memberi penjelasan dengan sabar. Karena memang semua ini kesalahan kami, tanpa meminta izin dan restu terlebih dulu untuk menikah.

"Tidak mungkin kalian bisa menikah tanpa ada wali dari pihak perempuan. Aku ayahmu. Dan aku tidak pernah memberimu ijin menikah sebelum usai kuliahmu!" Ayah Bibah masih geram.

" Ee ... tapi kami sudah resmi menikah secara agama, Pak. Ini surat keterangan pernikahan kami." Kusodorkan seberkas bukti pernikahanku dengan Bibah. Namun, tak disentuh sedikit pun, bahkan dibaca isi kertas tersebut.

"Ini semua kami lakukan karena tidak ingin menambah dosa jika kami pacaran. Sebagaimana Bapak mengajarkan putri Bapak untuk menjaga auratnya, maka saya pun berusaha menjaga kehormatan putri Bapak dengan menikahinya. Walaupun tanpa seizin Bapak." Aku tetap  berusaha tenang dan memberi penjelasan sedetail mungkin.

Ayah Bibah hanya terdiam, menunduk menahan emosi, dan berusaha menyembunyikan bulir bening yang mulai menggenang di sudut matanya. Dia sangat terpukul melihat keadaan kami. Tampak tubuhnya yang kian lelah, setelah sekian jam menempuh perjalanan demi menemui putri tercintanya yang menuntut ilmu di luar kota. Namun, harapannya kandas setelah mengetahui keberadaanku di kontrakan Bibah.

"Maaf, Pak, kami sudah berencana tidak akan memiliki putra dulu sebelum usai kuliah kami. Saya juga sudah berjanji pada Bibah akan menafkahinya walau kami masih berstatus mahasiswa."  

Bibah dan ayahnya hanya diam, suasana hening sesaat. Aku melanjutkan kalimatku yang masih belum selesai.
"Saya hanya minta doa dan restu, semoga kami bisa memegang amanah untuk tetap melanjutkan kuliah hingga akhir. Meskipun jalan yang kami tempuh berbeda dengan keinginan Bapak."

Kemudian, Bibah bangkit dari duduknya, menuju ke dapur untuk membuatkan kopi ayahnya. Aku hanya mengangguk saat dia meminta ijin meninggalkan kami berdua.

Sesaat kemudian, ayah Bibah berdiri dan melangkah ke luar rumah. Tanpa sepatah kata pun, ia meninggalkan kontrakan kami. Aku hanya berdiri dan mengikuti ke luar rumah. Tak ada yang bisa kulakukan untuk mencegahnya.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun