Pertanyaannya sekarang, apakah identitas memang mampu direkonstruksi oleh negara seperti yang disebutkan oleh Chipkin, ataukah kelompok identitas akan memberikan respon melalui hadirnya era keterbukaan globalisasi dan kemudian memunculkan adanya ‘politik identitas’ ala Scholte dan ‘politik pengakuan’ ala Linklater yang kemudian menghilangkan diskriminasi dan marjinalisasi negara terhadap kelompok minoritas? Menarik jika kita mendengar pendapat Giddens bahwa identitas diri terdiri dari pengembangan atas perasaan yang konsisten akan keberlanjutan biografis dimana individu mampu mempertahankan narasi tentang pertanyaan diri untuk melakukan, beritindak dan menjadi. Giddens menganggap individu mampu mempertahankan identitas yang dipilihnya sebagai satu upaya mempertahankan sensitivitas kolektif.[10] Upaya mempertahankan sensitivitas kolektif ini kemudian diungkap Sigel (1989) sebagai “terdapat satu dorongan yang kuat pada manusia untuk mempertahankan perasaan identitas seseorang, keberlanjutan yang menimbulkan rasa takut untuk mengalami perubahan terlalu cepat atau mengalami perubahan karena paksaan pihak luar”. Individu akan berupaya untuk mempertahankan identitas politik dan berusaha untuk melindungi identitas dari upaya rekonstruksi pihak eksternal.
Kesimpulan
Identitas politik menjadi arena pertemuan antara kelompok minoritas dengan negara, negara berupaya untuk melakukan rekonstruksi identitas kolektif menjadi identitas nasionalisme yang berpusat kepada negara. Upaya penyeragaman identitas oleh negara ini kemudian dapat menjadi tindakan-tindakan diskriminasi dan marjinalisasi kepada kelompok minoritas. Kondisi ini memunculkan ‘politik identitas’ dan ‘politik pengakuan’ sebagai respon dari tindakan-tindakan negara. Kelompok minoritas terus berupaya untuk mempertahankan sensitivitas kolektif yang diwujudkan melalui identitas politik. Upaya mempertahankan identitas politik ini akan menjadi semaki kuat apabila negara semakin menguatkan upayanya untuk melakukan penyeragaman identitas. Kehadiran globalisasi yang membuka akses informasi dan menggeser batas-batas kedaulatan negara kemudian menjadi peluang bagi kelompok minoritas untuk terus bertahan dan menyuarakan identitas politiknya.
Referensi
Burchill, Scott, Andrew Linklater, ‘Theories Of International Relations, Fourth Edition, (New York : Palgrave Macmillan)
Maiguashca, Bice, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005)
Ojong, Vivian Besem, Mpilo Pearl Sithole, ‘The Substance of Identity:Territoriality, Culture, Roots andthe Politics of Belonging’, dalam ‘The African Anthropologist’,(Vol. 14, Nos. 1&2, 2007)
Kinnvall, Catarina, ‘Globalization and Religious Nationalism: Self,Identity, and the Search for Ontological Security’, dalam ‘International Society of Political Psychology’,Vol. 25, No. 5,(Malden : Blackwell, 2004)
Viotti, Paul R., Mark V. Kauppi, ‘International Relations Theory, Fourth Edition, (New York : Pearson, 2010)
[1]Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005), hal 118-119
[2] Bice Maiguashca, Chapter 7 ‘Globalisation and the politics of identity’, dalam Catherine Eschle and Bice Maiguashca, ‘Critical Theories, International Relations and the Anti Globalisation Movement’, (New York : Routledge, 2005), hal 118-119