Linklater Dan ‘Politik Pengakuan’
Menurut Linklater masalah yang utama pada teori kritis dalam hubungan internasional adalah : teori kritis dalam hubungan internasional perlu untuk memahami keterkaitan antara pengecualian pada tingkatan yang berbeda, kemudian teori kritis seharusnya fokus padakedaulatan negara sebagai bentuk yang bermasalah dari komunitas politik (Linklater 1994 : 129). Negara menurut Linklater, berada pada titik problematis sejak awal berdirinya, karena negara dimaksudkan sebagai sistem penyertaan dan pengecualian. Negara memisahkan warganegara, warga domestik, dari yang dianggap sebagai non-warganeraga, pihak luar, yang pada akhirnya cara pandang ini membangun batas diantara manusia yang memiliki identitas kebangsaan yang berbeda. Cara pandang ini juga digunakan sebagai alat marjinalisasi terhadap ‘internal other’, yaitu kelompok-kelompok minoritas yang hidup di bawah batas-batas negara tetapi dibatasi dalam partisipasi dan identitas politik.[3]
Linklater kemudian memberikan formulasi atas permasalahan ini, yaitu memberikan kebebasan dan keistimewaan kepada tiga sumber utama identitas : pertama, perbedaan dan keragaman budaya, kedua, afiliasi nasional dan ketiga, logika universal akan kemanusiaan. Linklater menjelaskan identitassebagai ekspresi dari ikatan sosial kolektif, sebagai representasi dari pengalaman bersama sejumlah manusia pada kelompok tertentu (Linklater 1996a : 96; 1998 : 180). Lebih jauh ia mencoba untuk menjelaskan identitas pada istilah kultural dan universal. Pada titik ini gerakan ‘indigenous people’ dan gerakan perempuan, yang dicontohkan sebagai ‘politik pengakuan’ – dilihat sebagai upaya perjuangan akan perlindungan keragaman budaya.[4]
Tiga asumsi yang dinyatakan Linklater terkait sifat dari politik pengecualian dan hubungannya terhadap identitas. Pertama, Linklater percaya bahwa praktik pengecualian pada dasarnya berkembang sebagairespon dari keberadaan perbedaan (differences). Pendapat inidimunculkan ketika ia menjelaskan, bahwa ‘politik pengakuan menuntut adanya ekspresi sensitivitas kepada perbedaan dan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memperluas berbagai perbedaan pendapat terkait komunitas politik’ (Linklater 1998 : 187). Kedua, Linklater mengasumsikan bahwa perbedaan budaya menimbulkan tantangan terbesar bagi struktur dunia post-Westphalian. Ketiga, dengan memisahkan marjinalisasi budaya di luar dari praktik-praktik pengecualian, ia nampaknya tidakmengakui alur kompleks dimana relasi kekuasaan meliputi jender, kelas, ras dan seksualitas yang menghasilkan dinamika layaknya ragam identitas yang termarjinalkan.[5]
Bahan Pembanding
Chipkin (2007) menjelaskan politik nasionalisme itu mengakar dari cara pandang ‘politik kepemilikan’. Kemudian nasionalisme menundukkan segala bentuk lain dari identitas. Dari cara pandang ini kita dapat melihat bahwa identitas dibentuk melalui komitmen politik dari satu bentuk komunitas dibandingkan pada kebebasan untuk mengikuti keinginan manusia untuk mengkonsolidasi satu identitas. Ruang selalu menjadi perhatian para peneliti antropologis dikarenakan objek-objek studi penelitian mereka selalu terkait dengan faktor ruang (Lefebvre, 1991; Moore, 1986) dan ini kemudian menjadi dasar bagi beberapa argumen. Dougan (2004 : 33) berpendapat bahwa konsep-konsep dasar mengenai ruang memberikan penjelasan-penjelasan kunci mengenai batas (boundaries). Kemudian pembahasan mengenai batas ini akan mengantarkan kita pada pengertian akan identitas. Dari perpektif ini pembahasan identitas dikaitkan dengan simbol-simbol yang telah mengakar pada budaya dan batas-batas wilayah.[6]
Erikson (1950) yang melakukan pendekatan atas penanda identitas melalui kedekatan antara identitas dengan keamanan. Identitas dilihat sebagai mekanisme pengendalian kecemasan melalui penguatan rasa kepercayaan, prediktabilitas dan kontrol sebagai reaksi terhadap perubahan yang menganggu dengan cara membangun kembali identitas yang telah ada atau membangun sebuah identitas baru (Kinnvall, 2004). Kemudian Giddens berpendapat bahwa identitas diri terdiri dari pengembangan atas perasaan yang konsisten akan keberlanjutan biografis dimana individu mampu mempertahankan narasi tentang pertanyaan diri akan melakukan, bertindak dan menjadi.[7]
Berkaitan dengan ini Giddens menekankan akan keamanan ontologis dan kecemasan eksistensial untuk memahami hubungan global-lokal sebagai diskursus psikologi akan dominasi dan perlawanan. Kemudian Sigel (1989) menyebutkan bahwa,”terdapat satu dorongan yang kuat pada manusia untuk mempertahankan perasaan identitas seseorang, keberlanjutan yang menimbulkan rasa takut untuk mengalami perubahan terlalu cepat atau mengalami perubahan karena paksaan pihak luar” (hal 459). Globalisasi telah membuat proses ini terlihat menjadi lebih sulit untuk memikirkannya dalam bentuk identitas tunggal, terintegrasi dan harmonis sebagaimana individu secara terus menerus menyesuaikan tindakan mereka dengan orang lain. Individu mencariakan satu identitas yang tetap walaupun belum tentu identitas yang dimaksud itu ada. Maka dari itu kita harus memahami bahwa identitas tidak bersifat tetap, sebagai sesuatu yang telah ada, tetapi dilihat sebagai proses menjadi. Seperti yang dinyatakan Hall (1992), “ Jika kita merasa kita memiliki identitas bersatu dari lahir hingga kematian kita, ini disebabkan karena kita membentuk narasi nyaman itu atau ‘narasi tentang diri’ tentang diri kita” (hal 227).[8]
Analisa
Pada awalnya Globalisasi dinilai telah membantu munculnya ‘politik identitas’ yang juga ikut menggeser peran dari kedaulatan negara sebagai struktur sosial utama di masyarakat. Gerakan sosial kemudian muncul sebagai respon dari keterbukaan globalisasi dan memungkinkan munculnya ragam framework alternatif akan struktur sosial di masyarakat (Scholte : 1996). Tetapi kehadiran gerakan sosial inibisa saja tidak hanya dilihat dari bergersernya peran kedaulatan negara tetapi sebagai konsekuensi dari kebijakan negara. Linklater (1998) mencoba menjelaskan akan adanya upaya negara untuk melakukan pemisahan antar individu melalui batas-batas negara, warganegara domestik, warganegara asing kemudian juga terjadi cara pandang terhadap kelompok minoritas yang dianggap sebagai ‘internal other’, minoritas yang berbeda yang dimarjinalkan. Jika Scholte melihat kondisi ini sebagai awal munculnya kelompok minoritas untuk memunculkan suatu ‘politik identitas’ di dalam negara, maka Linklater bergerak lebih jauh dengan berbicara tentang ‘politik pengakuan’ yang menuntut adanya ekspresi sensitivitas kepada perbedaan dan kemungkinan-kemungkinan baru untuk memperluas berbagai perbedaan pendapat terkait komunitas politik’ (Linklater 1998 : 187)[9]
Dari sisi lain, Chipkin (2007) menjelaskan politik nasionalisme itu mengakar dari cara pandang ‘politik kepemilikan’. Kemudian nasionalisme menundukkan segala bentuk lain dari identitas. Dari cara pandang ini kita dapat melihat bahwa identitas dibentuk melalui komitmen politik dari satu bentuk komunitas dibandingkan pada kebebasan untuk mengikuti keinginan manusia untuk mengkonsolidasi satu identitas. Pada pemikiran Chipkin ini kita dapat memahami bagaimana negara mengkonstruk cara pandang akan identitas, bahwa identitas nasionalisme dibangun untuk mempersatukan dan menundukkan identitas lainnya, baik ethnis, agama, kesukuan, gender, ideologi politik, dan indigenous people. Dari titik ini pulalah kita dapat melihat negara menggunakan identitas sebagai mekanisme pengendalian kecemasan melalui penguatan rasa kepercayaan, prediktabilitas dan kontrol sebagai reaksi terhadap perubahan yang menganggu dengan cara membangun kembali identitas yang telah ada atau membangun sebuah identitas baru (Kinnvall, 2004)