Mohon tunggu...
Agus Awaludin
Agus Awaludin Mohon Tunggu... -

hanya

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Dia Adalah Pemancing Sang Penikmat Malam

28 November 2011   09:20 Diperbarui: 25 Juni 2015   23:06 170
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Puisi. Sumber ilustrasi: PEXELS/icon0.com

Sunyi dilembah Naringgul yang terpencil


diseberang sebuah cekungan tanah, pada sisi perairan yang dangkal


malam adalah jelmaan bagi ruang yang bernama kesenyapan, mistis begitu rupa


jika langit berubah hitam, gelap bisa menutup kesetiap pandangan mata


lalu gulita merubah merba senja menjadi ruang tanpa cahaya


Malam sunyi dilembah Naringgul yang terpencil


ada lengkung labirin dilangit, hujan telah menutupi perbukitan


dari ketinggian terdengar percikan air yang keluar dari sela sela batu


suaranya lirih terbawa angin mengemakan lagu nyayian malam


mungkin, bulanlah yang telah menyemangati malam bahwa gelap itu tak selamanya pekat


lalu disana terpangpang;  langit malam, cahaya bulan dan cakrawalanya.


Malam sunyi dilembah Naringul yang terpencil


tersandar sebuah rakit bambu yang mengambang dipunggung danau dibalik pohon loa


ada yang datang sebelum senja tiba, datang dari jauh dengan perahu kecilnya


dan kini telah ditambatkan pada sisi ditiang saung rakit diNaringgul


dalam keremangan, masih samar terlihat dibawah sinaran lampu senter


sosok bayangan Pemancing Tua yang tengah khusuk menghitung mata kail,


memilah umpan yang dikumpulkannya siang tadi.


Dia bukan nelayan, bukan pula pelayat,


dia adalah pemancing sang penikmat malam


tak ada yg di kejar dan tak ada yang di buru


kesendiriannya adalah segala keabadian


jiwanya lenggang senyap disemesta purba


Dibawah saung diatas rakit bambu, tersandar di bawah pohon loa


tiba tiba hening tanpa suara, tak ada ringkik  jangkrik ataupun siulan burung malam


angin apakah yang ditiup dari ketinggian tempat tidurnya gunung ?


hujan telah menderas deras, menerpa menubruk,


membasahi apa saja yang dilalui


dan gelombangpun mengucang-guncang rakit bambu


terdengar petir mengelegar menembus pekatnya malam


memekakan telinga,membelah diantara suara derit  bambu dan kayu yang bergesekan


Siapa yang berayun sampai tak terlihat di bawah saung


jika sanggup melawan alam, kekuatan mana yg bisa membalikan arah angin?


dan jika sanggup menerka alam, kearah mana angin bergerak?


kegulir waktukah yang letih menebak setiap keinginan alam


lalu Angin apakah yang ditiup dari ketinggian tempat tidurnya gunung


seperti misteri hujan yang terulang kesilam waktu yang sudah terbuang.


Siapa yang bisa membuat doa lebih bersemangat daripada kata-kata


tubuhnya kaku makin terdiam dalam nafas yang tak tertahan


Siapa yang tersenyuman di balik diwajah gigil basahnya


Seperti warna cahaya, tak ada batas seperti penyerahan itu!


ketidak berdayaan telah melupakan hijau kilauan dan kesejukan embun


Dia bukan nelayan, bukan pula pelayat,


dia adalah pemancing, sang penikmat malam


lahir sebuah Kepasrahan yang ternikmati


kesendiriannya adalah segala keabadian

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun