“Ndis, Aku ingin tahu. Apakah kamu menyukaiku?”
“Mengapa Mas tiba-tiba tanya begitu?” Sampai kapanpun aku siap menunggu kita direstui mas.
“Ayahku, sebenarnya telah menerimamu mas?”
“Ayahku, sudah amat berhutang budi padamu.”
“Ayahku pernah bilang Mas, begini kata Ayah, “Aku bingung dengan sikap Makmu. Padahal Masmu amat sangat baik bagi kita.”
“Dia juga sangat berterima kasih padamu Mas?
Ayah Gendis telah lama mengidap penyakit kencing batu. Waktu itu, ia selalu sakit ketika buang air kecil. Bahkan susah berdiri. Sampai akhirnya sakit berbulan-bulan. Dia masih bersikukuh dan menganggap itu hanya sakit biasa. Di kemudian hari karena bujukan tetangga, istrinya, dan juga saudaranya. Ia akhirnya mau berobat. Di situlah diketahui kalau calon Ayah bagiku ini, mengidap penyakit kencing batu. Sejak saat itu, aku selalu mengantar jemputnya untuk rutin cuci darah. Ayah Gendispun telah merestui hubunganku sejak lama dengan Gendis.
Gendis melanjutkan, “Ayah telah menerimamu apa adanya.”
“Dia sempat bilang, Mas harus bisa tegas. Tegas dalam mengambil keputusan!”
“Sekalipun Makku belum merestui, Mas harus bisa mengambil keputusan!”
Sembari melihat buah Jenitri mulai kemerah-merahan. Gendis dengan manja bersandar di pundakku. Dua ekor bajing seakan malu-malu mengintip di balik dahan pohon Jenitri. Mereka berdecit melompat kesana-kemari tatkala percakapan kami berlangsung.