Akan tetapi, aku tetap bahagia. Karena apa? Itu karena, Mamak pernah berkata kepadaku. Kata Mamak. Ayahku amat sangat mencintaiku. Mak pernah bilang kepadaku, begini katanya, “Bujang, Ayahmu pesan sama Mak, rawatlah anak kita ini dengan sebaik-baiknya sampai ia dewasa. Mungkin penyakit ini, penyakit struk ini, akan menyeretku pada kematian.”
Mamakku pertama mengenal Ayahku karena Mamakku kala itu bekerja di Rumah Ayahku sebagai pembantu. Merawat Ayahku yang memang orang Cina, Ayahku yang memang kala itu mengidap penyakit struk. Ayahku akhirnya mencintai Mamakku.
Begitu baiknya Mamak katanya, pintar merawatnya. Merawat Ayahku yang penyakitan dengan penuh kasih sayang. Mamak terbata-bata menceritakan itu. Aku ... sedikitpun tidak marah. Karena, karena beginilah takdirku. Ditambah lagi, Aku yang memang hanya lulusan SMP. Ini pun kebanggaanku sendiri di zaman yang serba canggih seperti sekarang. Aku seharusnya yang paling bersyukur dibandingkan kedua kakakku, karena kedua kakakku hanya lulus SD. Apalah daya, Mamakku bekerja sendirian menyekolahkan kami bertiga. Mamak yang bahkan tidak mengenal huruf.
Tapi, aku tak tahu ... mengapa cobaan berlanjut menjadi makin menyiksa seperti ini.
Mak Gendis tak mau menerimaku sebagai calon menantunya.
Aku sangat mencintai Gendis. Tak ada wanita lain selain Gendis.
***
Setelah sejenak beraktivitas di pagi ini, berjalan-jalan dengan langkah kaki ringan kurang lebih satu jam. Berkeliling ke lahan hutan pinus milik pemerintah.
Aku dengan Gendis. Aku tak sendiri. Tadi pagi, setelah mandi pagi. Aku menjemput Gendis. Dari tadi aku belum bercerita usiaku. Yah, Usiaku sudah tiga puluh. Gendis dua puluh empat. Sebenarnya usia yang sudah tua untuk ukuran penduduk di sini kalau belum menikah. Tetapi aku tidak akan kapok sampai direstui.
Aku dan Gendis berjalan-jalan di sekitar hutan pinus. Sambil sesekali bertatap muka. Kami bagaikan dua remaja yang baru pertama jumpa dan jatuh hati. Gendis adalah wanita yang tidak begitu tinggi. Kurang lebih tingginya sepundakku. Kulitnya hitam manis, rambut terurai agak mengombak. Matanya bulat dan hitam. Dia manis, tidak begitu cantik. Namun, bagiku. Tak ada wanita lain yang singgah di hatiku selain dia.
Aku melihat-lihat hutan pinus, kemudian bersamanya menuruni bukit dan duduk di pekaranganku yang aku tanami dengan pohon Jenitri dan sebagian pohon Cabai.