Mohon tunggu...
Purbo Iriantono
Purbo Iriantono Mohon Tunggu... Freelancer - Jalani inspirasi yang berjalan

"Semangat selalu mencari yang paling ideal dan paling mengakar" merupakan hal yang paling krusial dalam jiwa seorang yang selalu merasa kehausan kasih...

Selanjutnya

Tutup

Filsafat Pilihan

Derrida dan Indonesia: "Wonderful!"

20 Agustus 2020   06:47 Diperbarui: 20 Agustus 2020   06:47 123
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Filsafat. Sumber ilustrasi: PEXELS/Wirestock

Bila ada yang ingin tahu, siapa sosok filsuf paling kontroversial, paling rumit sekaligus paling banyak dipertanyakan status mega prestasi dan kejeniusannya?;  atau lebih mudahnya, -dalam bahasa millenial-, :"Siapa sosok filsuf yang layak mendapat gelar sebagai sang "Joker" di segenap dan di seluruh sejarah ranah pemikiran?(Joker is the inventor of play, of games, of draughts, dice, etc.).

Jawabnya,- setidaknya sejauh penulis ketahui, tidak lain adalah sosok yang bernama Jacques Derrida. Ia lebih umum dikenal sebagai pematok, pe-revolusi dan pengembang dekonstruksi,  gagasan kontroversialnya. 

Apa itu dekonstruksi?  Sebagai jawaban sementara, dekonstruksi dapat kita maknai sebagai metoda "pengguncang" segenap kestabilan,  dan kestabilan ini lah yang  kerap dijadikan klaim hasil pungkasan pengetahuan, yakni pukulan palu pemutus kata akhir  kebenaran. 

Dengan demikian, Derrida lewat metoda dekonstruksinya akan selalu "mengguncang" setiap klaim kebenaran yang dikumandangkan oleh para filsuf lain. 

Adagium yang jadi palu godam dekonstruksionisme adalah "tidak adanya kestabilan abadi di ranah kebenaran setiap pernyataan", semua pernyataan yang merujuk pada kebenaran selalu menyimpan kontradiksi di dalamnya, dan karenanya berpotensi untuk mengalami semacam "gempa atau gejolak pengguncangan" yang bersumber dari kontradiksi tersebut.

Pendekatan dekonstruksi ini sebenarnya beliau "pungut"  dan kembangkan dari pendahulunya, yakni filsuf Heidegger yang terkenal dengan gelaran "si petualang pencari makna final 'Being' yang belum tuntas terjawab hingga akhir hayatnya", dan salah satu penggalan dari keseluruhan pendekatan yang ditempuh Heidegger untuk mengatasi misteri " being" adalah pendekatan dekonstruksi. 

Dengan demikian, bisa dibilang si Derrida telah "membajak" metoda dekonstruksi dari si Heidegger dan membelokkan atau memanfaatkan metoda tersebut untuk tujuan yang berbeda, yaitu tujuan uniknya Derrida sendiri.

Hingga detik ini, pendekatan dekonstruksi masih merupakan alat paling rumit dan nyaris misterius karena berkancah di ranah permainan segenap kemungkinan; gerak maju-mundur, masuk-keluar dari semua pertentangan makna. 

Tradisi pokok upaya  pemikiran yang berpatok dan berlandaskan pada ucapan (speech) untuk mengajarkan fenomena "kehadiran" (being) demi pencapaian ukiran atau tulisan jiwa pada liyan, dijungkir-balikkan dengan preferensi beliau yang bertumpu pada landasan hasil tertulis (writing). 

Status pendekatannya ini memporak-porandakan segenap stabilitas tatanan pengetahuan dengan berbagai kontradiksi yang terkandung di dalamnya (mana ada kandungan di luar? Kecuali kandungan buatan, tentunya). 

Karya tulis beliau melantakkan gagasan umum terkait teks, makna, kobsep dan identitas. Reaksi pada tulisannya terentang luas dari yang bersifat kritikan kritis nalar sampai yang hanya bersifat pelecehan belaka. 

Sedemikian kontroversialnya status dekonstruksi, sehingga ada yang mencercanya sebagai nihilisme yang kaya pernak-pernik politis, ada juga yang menyebut sebagai pilihan dan pembedaan atau peragaman radikal dari filsafat, dan ironisnya tak satu pun upaya pendefinisian tersebut  yang memuaskan. 

Namun, setiap kontroversi yang ditimbulkannya, pada akhirnya, berhasil mengungkapkan sesuatu yang layak  dipertaruhkan dalam filsafat kontemporer. Ragam cara untuk memberi cap atau stempel atau bahkan kritikan pada upaya kontroversialnya itu (dekonstruksionisme) antara lain:

- Cara baru berfilsafat; cara membaca teks teoritis tidak sebagaimana yang terpikirkan; piranti positif untuk memunculkan persoalan pada cara terbaru teori sastra; balas-dendam sastra pada filsafat; tanggapan traumatik pada setiap kepastian filsafat, resistensi (penentangan) pada pertanyaan yang diawali dengan "What is...?", bahaya neo-Heideggerianisme, repetisi (pengulang-ulangan) tema-tema tak berujung (mentok) dalam idealisme Jerman, kuasi transendentalisme, tanggapan etis terhadap komplasensi (kepuasan diri) yang mendasarkan diri pada segala yang bercirikan konsep, "hermeticism"  (kecenderungan asketisme?) yang "sembrono" dan karenanya kurang diperlukan;  sesat era "jadul" terhadap skeptis-isme dan irasionalisme; pembantaian berkesinambungan pada tradisi filsafat Barat.

Kritik Derrida untuk filsafat bukanlah kritik standar (baku) karena nyaris tidak bersentuhan dengan terma-terma pada umumnya. Derrida tidak berpatok pada posisi yang "fixed" (mungkin istilah sundanya, "keukeuh" atau tetapan) di antara ragam tradisi yang saling bersaing adu pengaruh. Ia tidak sekedar "mendukung" atau "menolak"  salah satu atau dua dari banyak tradisi tersebut. 

Celakanya pula, ia tidak mengajukan teori, konsep, metoda atau proyek lintas batas hasil karya pribadinya; karena tulisan beliau nyaris tidak mungkin untuk diringkas; jelasnya, tidak ada konsep atau metoda "dasar" yang dapat digunakan sebagai pembatas dan penjelas ajarannya, namun serentak , secara singkat,  selalu menyinggung pemikiran ala Barat dengan strategi yang juga nyaris "kusut". 

Pendekatannya melawan prosedur - yang biasanya diawali dengan permulaan atau awalan,  paparan eksposisi (penguraian), memajukan proposisi, dan berlanjut ke simpulan, dst. 

Benar apa yang dituduhkan oleh sebagian besar guru (besar) di Cambridge yang menunjukkan keberatan,  bahwa tulisan beliau rumit dan sukar serta mendekati subversif. Tulisannya sangat ketat dan logis, tapi dari tatanan yang juga sangat asing. Adakah salah satu cara untuk dapat memulai atau cara yang berperan sebagai titik-tolak pembacaan hasil karya tulisnya?

Ada cerita menarik, terkait keberatan para guru besar di Cambridge ketika harus menentukan Derrida sebagai sosok yang layak untuk menerima gelar kehormatan dari universitas besar itu (21Maret 1992); meskipun pada akhirnya diputuskan beliau-lah si jenius yang terlayak. 

Namun prosesnya penuh liku pertentangan, karena terutama alasan bahwa pendukung Derrida kebanyakan dari kalangan sastrawan, sedangkan beliau sendiri berlatar-belakang pendidikan filsafat. Cilakanya lagi, kebanyakan tokoh filsafat menolak atau keberatan dengan kritik filsafatnya yang terlampau cemerlang sekaligus asing. 

Singkatnya, gegeran dan konflik di seputar pra anugerah gelar kebesaran itu, universitas Cambridge bisa dibilang terbelah! Bahkan, hasil akhir penganugerahan itu pun masih diberi semacam "embel-embel" atau memo bahwa beliau satu-satunya penerima anugerah kebesaran dengan catatan atau peringatan pada kontribusinya yang tidak kalah besar. 

Jadi, kebesaran kontribusinya bergandengan tangan dengan peringatan besar akan bahaya sampingannya:"...To use mystification as a defensive weapon or as a cheap way of appearing "deep" is still bad form. For all the intellectual brilliance of Derrida and others, their intellectual style corrupts and evidence of its corruption is to be seen in Anglo-Saxon academic life where post-structuralism and postmodernism have taken root. (Prof.R.A.Sharpe ., Dept of Philosophy University of Wales)

Analogi terdekat, menurut penulis, beliau disepadankan dengan gardu listrik yang selalu di lekatkan peringatan :"Awas bahaya, tegangan tinggi!". Meskipun, kontribusi sang gardu tidak ternilai bagi pencerahan; tapi siapa berani dekat dengannya?

Prestasi beliau yang sangat kontroversial ini pun sebanding dengan kontroversi sejarah kelahirannya. Derrida dilahirkan di Aljasair pada tahun 1930, dari keluarga kelas menengah bawah, keturunan Yahudi  (Sephardic). 

Ia banyak menghabiskan masa pendidikan dan pengajaran akademiknya di Perancis di bidang filsafat yang saat itu sedang dibanjiri oleh kegemaran pada ajaran Marx dan Hegel. Ia pernah berniat menuntaskan tesis doktoralnya di ranah fenomenologi Husser, tapi ia batalkan sendiri. 

Alasan beliau adalah pertanyaan :"Apakah mungkin menulis sesuatu yang beraroma filsafat di dalam batas tesis yang bersifat akademik ketat?" Perlu diketahui, fenomenologi itu dirintis oleh Husserl, seorang ahli matematika yang juga tidak puas dengan kondisi ketidakpastian dalam ilmu pasti dan "terjerumus" ke dalam jurang filsafat; namun justru pada akhirnya ,-sebagian-,  ajaran beliau jadi pembuka jalan untuk aliran eksistensialisme, dan digandrungi para penggila ilmu psikologi (analitik).

Kembali ke masalah dekontruksi Derrida, hal yang menarik bagi penulis adalah preferensi beliau pada  tulisan (writing) yang membalikkan tekanan dasar pemikiran Barat pada ucapan (speech). Hal ini terkait erat dengan pembacaan beliau pada inti pemikiran Plato, khususnya dalam "Plato Pharmacy".  

Pembacaan beliau pada karya Plato tersebut, didasarkan pada titik-tolak cara hidup virus, yang, pertama dalam komunikasinya bersifat selalu " menggelincirkan/memelesetkan"(derailing), dan kedua, virus bukanlah mikroba, virus bukan makhluk hidup bukan pula benda mati. Dengan menelusuri utas (thread) ini sampailah ia pada pemahaman tentang matriks.

Kita dapat menyebut utas kedua tersebut bersifat UNDECIDABILITY; bila virus bukan yang hidup atau bukan pula yang mati, maka posisi kebingungan (relasi kontradiktif)  ini kita sebut "undecidability". 

Kita telah mafhum bahwa " undecidability" merupakan utas (thread) untuk landasan tradisionalnya filsafat. Namun, utas (thread) undecidability ini juga dapat kita tarik atau geser dari yang "di luar" filsafat, yakni dalam layar tancap eh! layar lebar atau cinema...

Ingat film Zombie? :"She's dead yet alive! She's alive yet dead!" Zombie adalah jenis atau macam terror yang khas atau unik; tubuh tanpa jiwa, pikiran dan kehendak atau pembicaraan (speech). Jelasnya, zombie adalah mayat yang teraktivasi-ulang, tubuh hidup tanpa jiwa dan tanpa pikiran yang merupakan hasil olah karya penyihir.

Perjumpaan dengan zombie adalah perjumpaan yang mencemaskan. Apa jadinya bila distingsi rasionalis ala Barat terkait "hidup" dan "mati" tidak lagi berlaku? Namun apapun skenarionya, hanya ada satu model dasar zombie, yakni Alive but Dead, Dead but Alive dalam ranah budaya yang secara ketat memila-milah tegas antara yang hidup dari yang mati; eksistensi zombie menyanggah keharusan dan kepastian budaya karena ada di ruang di antara hidup dan mati.

=Antara hidup dan mati - hanya ada ruang tak berketentuan (uncertain). Zombie BISA hidup ATAU mati, namun realitas zombie memangkas (cut across) kategori ini: bisa jadi zombi itu mencakup keduanya BAIK hidup DAN mati, serentak (dan sebangun)  pula zombie TIDAK hidup dan TIDAK mati, karena zombie tidak berada diujung kedua pangkalnya (pangkal hidup dan pangkal mati). 

Kehidupan yang sejati harus mengandaikan kematian sejati. Zombie merupakan "kortsleuting" (korslet) dari logika distingsi pada umumnya. Karena mengandung kedua kutub (hidup dan mati), maka juga sekaligus tidak memiliki kedua kutub tersebut; zombie tergolong dalam tatatan asing ( different order of things ); singkatnya, dalam istilah kehidupan dan kematian, zombie itu "tidak dapat diputuskan" ( it cannot be decided).

Konon, istilah populer yang tersebar di Hollywood, zombie itu "misteri yang dilarang untuk diyakini, bahkan meskipun itu benar ada dan ada benar." Singkatnya lagi, "undecidables" (ketidak-dapat-diputuskan) itu MENGANCAM, mereka meracuni rasa nyaman karena kita sedang dan selalu mendiami dunia yang diatur atau dikelola berdasarkan kategori "decidable" (berketetapan atau berkeputusan).

Terma "hidup" dan "mati" dari sudut OPOSISI BINER :  yakni sepasang terma yang bertentangan yang masing-masing saling terkait untuk memunculkan makna. Ada banyak oposisi seperti itu, dan semuanya diatur berdasarkan perbedaan atau distingsi. Atau ini atau itu; either/or. Bila ini kita terima,  maka terbentuklah tatanan konsep. 

Oposisi biner meng-golong-golongkan (classify)  dan mengorganisasi obyek, kejadian, dan relasi. Oposisi biner memungkinkan kita untuk membuat keputusan, dan inilah fondasi pemikiran sehari-hari, juga pemikiran filsafati, teori dan sains.

"Undecidables" (selanjutnya penulis singkat dengan akronim UDC)  mengacau-balaukan logika oposisi.  UDC menyalip kedua ujung atau sisi  oposisi tapi sekaligus mengandung ketidaksesuaian pada setiap sisi atau ujung tersebut.  UDC melampaui semua kemungkinan makna oposisi. Dan karena itu-lah UDC senantiasa mempertanyakan prinsip dasar oposisi.

UDC menunjukkan dimana letak runtuhnya tatanan klasifikasi: UDC menandai batas dari tatanan.  Sebagaimana semua UDC, zombie menginfeksi (menjangkiti) kelompok-kelompok oposisi di-sekitaran-nya. Zombie membutuhkan atau selalu  haus akan kategori yang stabil, gamblang dan permanen (menetap).

Tapi apa yang akan terjadi dengan "white/black", " master/servant", and "civilized/primitive",  bila kolonialis putih juga bisa menjadi budak zombie-nya kekuasaan kulit hitam?  Dapatkah "white science/black magic" tetap tidak bergeming, bila terkadang yang bekerja efektif pada zombie justru "white-magic" - agama Kristiani, daya cinta kasih atau moralitas unggul? 

Sejauh mana tingkat kepastian atau keyakinan pada  (how certain) oposisi "inside/outside", bila jiwa internal-nya zombie  di ekstraksi ( dipancarkan) dan kekuatan atau daya eksternal menjadi daya sisi dalam internalnya? 

Adakah makna mapan dan mantap dalam oposisi " maskulin" dan "feminin"; juga antara " buruk"  dan "baik", ketika zombie pada umumnya justru tidak mengenal perbedaan diantara kedua jenis kelamin (desexualized), dan tidak punya daya bahkan untuk membedakan jenis kelaminnya?

Karena alasan di atas-lah, zombie jadi bersifat mempesona sekaligus menakutkan.  Zombie meracuni sistem tatanan, dan sebagaimana setiap UDC maka ia harus dipulihkan kembali ke tatanan. Tapi bagaimana cara memulihkannya kembali ke tatanan? Zombie tidak dapat mati atau dibunuh karena ia telah mati? Satu-satunya cara adalah dengan memutuskan ketidakberketentuannya (UDC). 

Sang tokoh magis atau sosok linuwih harus memutuskan (to decide) zombie, agar kembali ke salah satu ujung sisi dari oposisi. Zombie harus dijadikan mayat atau makhluk hidup selayaknya.

Berdasarkan prosesi penalaran di atas, Derrida juga mengubah patok dasar ucapan (yang muwakili budaya mitos) ke tulisan. Pada awalnya karya tulisan dianggap lebih rendah dari ucapan karena karya tulisan tidak dapat langsung menanggapi atau menjawab setiap tanggapan, tulisan juga melemahkan memori alami karena manusia beralih ke daya eksternal pengingat dan jadi pelupa, karya tulisan juga dapat meracuni generasi penerus karena mengandung kecenderungan untuk lebih menonjolkan aspek permukaan atau tampilan alih-alih realitas yang terkandung di dalamnya. 

Mereka akan jauh lebih cepat menerima secara berlimpah dan segera dari yang diajarkan ; mereka akan tampak sebagai orang yang  berpengetahuan meskipun sebenarnya "dangkal"; dan generasi seperti ini akan sukar dididik - mereka terlanjur mewarisi kepalsuan yang menjadi kulit permukaan kebijakan atau kebajikan alih-alih menjadi sungguh bijak atau bajik (kok terdengar aneh ya? bajik). 

Seperti potongan gambar foto atau lukisan, tulisan itu tak dapat menjawab si penanggap dan tersebarnya relatif lebih cepat di antara orang yang benar memahami juga di antara orang yang tidak punya urusan dengan tulisan atau gambar tersebut. Karena itu lah media gambar atau tulisan membutuhkan pendamping, sosok dewasa yang lebih matang.

Lalu bagaimana cara Derrida membalikkan keadaan kebijakan dari yang menonjolkan  keunggulan bicara kepada penonjolan karya tulisan? Bahkan setelah kita mafhum bahwa : "Writing is a poison". Writing adalah UDS yang mengacaukan semua oposisi, tulisan melampaui baik dan buruk, melampaui  sifat menyembuhkan atau mencederai.Tulisan bukan sekedar menybuhkan atau bukan sekedar meracuni. 

Meskipun tulisan merupakan ingatan eksternal, tapi ia berperan sebagai pelengkap (supplement) dan karakter tulisan akan menghuni interior ingatan. Karya tulis menyangkal untuk tetap tinggal diam dalam status sebagai  " tampilan" dari pengetahuan sejati. Bahkan Plato mengakui pentingnya tulisan sebagai pengetahuan sejati dan supplement ingatan yang akan memenuhi interior memory.

Beliau, Plato, berujar:"Hanya omongan (speech) yang bernilai dan layak untuk diperhatikan yang akan masuk kepikiran dan layak untuk diajarkan, omongan atau ucapan seperti inilah yang akan tertulis tebal dalam jiwa."

Tulisan sebagai supplemen ucapan, sebanding dengan pangeran sebagai supplemen untuk raja. Supplemen adalah pelengkap, dan ucapan atau raja tak akan pernah utuh tanpa suplemen tulisan dan pangeran. Supplemen tulisan dan pangeran adalah pengganti ucapan atau raja dalam bentuk lain, karena tulisan dan pangeran senantiasa akan meluas atau mengembangkan dirinya dan tak nyaman dengan tetap tinggal diam sebagai faktor eksternal.

Lalu apa makna semua yang beraroma Derrida dengan Indonesia kekinian? Indonesia, bagi penulis tidak kalah kompleks, rumit dan kontroversial sekaligus indah bahkan "wonderful" dari sang maestro keunikan Derrida. 

Fenomena Indonesia yang kaya ragam sumberdaya ini menuntut kelapangan dan kebesaran jiwa yang lebih besar dari para guru besar universiras Cambridge;  dan tuntutan kebesaran dan kelapangan jiwa tersebut terutama terjelma dalam bentuk sikap keterbukaan pada segala hal yang potensial dan asing,  meskipun yang potensial dan asing itu sangat kontroversial dan bersifat menyangkal aturan adat kebiasaan. 

Contoh lebih praktis, kita dapat membayangkan, apa bakal jadinya negeri yang kaya ragam sumberdaya ini bila dipenuhi oleh para elit yang tidak mau atau enggan berpikir kritis dan dalam, sebagai syarat keterbukaan sikap juga  kelapangan dada? 

Bagaimana nasib bangsa besar kita yang beragam beda, dan sedang sakit pandemik ini, bila para elitnya hanya senang membesar-besarkan persoalan permukaan yang populis tanpa mau memperhitungkan (apalagi memikirkan) konteks keseluruhan yang lebih luas dan menyangkal entitas permasalahan yang bersifat laksana zombie? 

Anda bisa mimilih contoh sendiri, negara-negara dari bagian mana yang mudah untuk terbakar dan terprovokasi;  dan bagaimana keadaannya bila dibandingkan dengan negara yang punya kebiasaan menunjukkan kebijakan "tenang dan damai" dalam memutuskan langkah politiknya; itu tidak mudah, karena bentangan luas pulau di Nusantara dengan keragaman sukunya tak dapat disamakan dengan kondisi negara lain yang jauh lebih homogen keadaan alam maupun penduduknya. 

Maka, penulis berharap para elit pun mulai lebih suka berpikir daripada berbicara, bahkan bila demokrasi menghalalkannya; karena, seperti ujaran Derrida, tulisan cerdas jauh lebih bernilai dari semua jenis celotehan ...Terimakasih!

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Filsafat Selengkapnya
Lihat Filsafat Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun