Mohon tunggu...
Anton 99
Anton 99 Mohon Tunggu... Dosen - Lecturer at the University of Garut

Express yourself, practice writing at will and be creative for the benefit of anyone

Selanjutnya

Tutup

Sosbud Pilihan

Filsafat Pancasila: Konsep Pemikiran Pancasila Menurut Prof. N. Drijarkara

15 Juni 2023   17:22 Diperbarui: 1 Juli 2023   11:39 417
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
www.cnnindonesia.com

Karya filsafat Pancasila yang menonjol dari seorang tokoh nasional yang bernama Prof. N. Drijarkara yaitu prasaran yang diucapkan di depan seminar pancasila pada tahun 1961 di Universitas Gadjah Mada (UGM).

Beliau mengangkat tema prasaran "Pancasila dan Religi", yang disajikan secara filosofis fenomenologis yang mula-mula di sajikan secara filosofis kemudian diberikan pertanggungjawaban filosofis tentang kebenaran pancasila, religi sebagai tuntutan totalitas manusia dan pancasila sebagai dorongan religinya.

Filsafat manusia  dibahas dalam prasaran itu, menguraikan pula filsafat kenegaraan terhubung kepada pancasila sebagai dasar negara.

Jika melihat fenomena prasaran yang disampaikan oleh Drijarkara pada seminar pancasila itu, berisi tentang pemikirannya yang mendalam tentang hakikat manusia bangsa indonesia yang dikaitkan dengan kewarganegaraannya, posisi pancasila dimaknai sebagai pandangan hidup dan pedoman berbangsa maupun bernegara.

Pemaparan yang mendalam tenatang hakikat manusia, negara dan keterhubungannya dengan Tuhan Yang Maha Esa, berarti bangsa Indonesia tidaklah cukup hanya menyandarkan diri dalam naungan negara namun harus pula di imbangi dengan pendekatan yang mendalam terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Bernegara bukanlah tujuan akhir dari hidup manusia, namun ada puncaknya dari kehidupan manusia dibawah naungan negara adalah untuk totalitas beribadah terhadap Tuhan Yang Maha Esa.

Sungguh luar biasanya isi serta kandungan pancasila yang begitu mendalam, sehingga jika bangsa Indoneisa memaknai dan mengamalkannya akan menciptakan insan yang utuh dan seutuhnya, yaitu keselarasan hidup antara kebutuhan lahiriah dengan batiniyahnya. 

Yakni puncak dari kehidupan manusia yang seiring dan seirama bersama-sama negara untuk menuju raihan tertinggi dalam mencapai keagungan dan kesucian tuhan.  

Selanjutnya, titik pangkal pancasila berada pada sila ke 1 sebagai akar utama kehidupan bangsa Indonesia yang menguatkan sila-sila lainnya.

Sila pertama menjadi substansi dari sila ke 2, sila ke 3, sila ke 4 dan sila ke 5. Maka sila ke 1 menjadi sangat urgent memegang pancasila sebagai pandangan dan pedoman hidup bangsa Indonesia. 

Betapa tingginya makna dan nilai pancasila setelah digali dan dijelaskan oleh para pemikir yang sekaligus pendiri Negara Kesatuan Republik Indonesia.

Inilah pemikiran filosofi dan pokok-pokok pikiran pancasila menurut Drijarkara yang merupakan tokoh filsafat nasional yang hidup semasa kepemimpinan era Soekarno (presiden pertama Indonesia).

1. Pancasila adalah inherent kepada eksistensi manusia sebagai manusia terlepas dari keadaan tertentu kepada konkretnya.

Untuk menunjukan akses manusia kearah pancasila Drijarkara  memulai dengan eksistensi manusia yang cara mengadanya ialah ada bersama, bukan antara "aku dan engkau"melainkan ada bersama dalam Aku-Engkau.

Dilakukan analogi dengan faktisitas permainan bulu tangkis, yang strukturnya pasti permainan bersama, eksistensi manusia membuat, bahwa manusia tidak hanya meng-Aku melainkan dalam peng-Aku-an itu selalu membuat engkau; manusia meng-Aku sekaligus meng-Kita.

Keniscayaan eksistensialnya manusia sebagai ada-bersama tanpak juga dalam fenomena bahasa. Di sini Drijarkara menganalogikan dengan tumbuh-tumbuhan yang menghasilkan bunga. 

Pemanusiaan manusia menghasilkan bahasa, manusia mem-bahasa dan bukan berbahasa; hal ini menunjukan struktur ada-bersama sebab "membahasa berarti 'keluar' dari diri sendiri dan 'memasuki' diri lain."

2. Ada bersama, yakni "berada-bersama-dengan-sesama" itu mempunyai fundamental yakni cinta-kasih. Jika manusia taat kepada prinsip, maka hidup bersama merupakan persaudaraan (Drijarkara, 1980).

Jadi yang termuat di dalamnya yakni "perikemanusiaan" (sila ke 2) yang "menjungjung tinggi sesama manusia, menghormati setiap manusia, dan segala manusia."

3. Perikemanusiaan adalah konsep umum universal, yang belum merujuk ke suatu bidang khusus kehidupan. Dalam perkembangan hidup manusia yang membuat diferensiasi, lapangan khusus kehidupan sebagai pelaksanaan perikemanusiaan yakni "keadilan sosial "(sila ke 5). 

Sejalan dengan eksistensi manusia yang memanusia dengan menyatu kedalam alam jasmani, manusia membudaya kebudayaan ini mengolah alam yang salah satu diantaranya menghasilkan ekonomi (kemakmuran).

Keadilan sosial adalah "perikemanusiaan sepanjang dilaksanakan dalam satu bidang, yakni ekonomi atau penyelenggaraan perlengkapan dan syarat-syarat hidup kita sepanjang hidup itu tergantung dari ketersediaan barang-barang materiil".

4. Demokrasi (sila ke 4) muncul bersama perkembangan masyarakat manusia yang menegara yang tak dapat lain kecuali penegaraan itu berdasarkan cinta-kasih.

Semakin besar dan "ketat" lingkup masyarakat manusia, misalnya negara, akan makin besar risiko kegagalan pelaksanaan cinta-kasih. Oleh sebab itu, "demokrasi" dibutuhkan guna sejauh mungkin menghindarkan resiko itu. 

Keniscayaan demokrasi dapat dipahami lebih jelas jika ditimbang dengan negara yang dipimpin oleh diktator yang sama sekali jauh dari pelaksanaan cinta-kasih. Prinsip demokrasi bermaksud sebaliknya. Di situ para warga harus dipandang dan diterima sebagai person atau pribadi dengan semua hak-haknya yang asasi. Namun menurut Drijarkara, HAM digunakan untuk menegara bersama, bukan untuk digunakan secara egois dan anarkis.

5. Drijarkara menyitir Thomas Aquinas dalam menjelaskan "Kebangsaan" (sila ke 3), yakni "tanah-air itu prinsip dari suatu Adaku" . Menegara berarti penegaraan suatu bangsa sedemikian rupa sehingga kebangsaan merupakan prinsip dari penegaraan. 

"Bangsa berarti kesatuan kulturil, kesatuan ekonomis, kesatuan geografis, kesatuan sejarah, menegara berarti memperkembangkan kesemuanya itu", demikian menurut Drijarkara.

6. Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan dasar segala sila. Eksistensi manusia dan eksistensi yang lain senantiasa relatif dan tergantung dan untuk mengerti tuhan, manusia berpangkal pada pengertian alam dan dirinya sendiri.

Jika adanya manusia itu berupa cinta kasih maka tuhan pastilah merupakan Maha cinta-kasih sedemikian rupa sehngga "Ada-Bersama", manusia selain memanusia dengan cinta-kasih sesama juga memanusia dengan cinta kasih dari dan kepada tuhan. Dengan mengutif William James dan "The varieties of religious experience" dinyatakan bahwa manusia itu terdorong ke religi, sebagai bakat dan dinamik kearah religi.

7. Betapa "dalamnya" religi dalam eksistensi manusia, Drijarkara menemukan inspirasinya dalam Serat Centhini:

Tunggal tan tunggal lawan ing pasti    Tan kena pisah siang

Roro pan tan roro                                         lan ratri

Lir jiwa tinon lawan ragane                     tansah wor-awor

Katon tunggal, katingal kalih                  angemban ingemban salawase

Mangke ana mami                                      amuruki osik eneng mami

Lawan Gustiningsun                                   awisik-awisik akeh bekti lulut

8. Akhirnya Drijarkara sampai kepada pencariannya bahwa pancasila itu keseluruhan sila-silanya dipersatukan oleh cinta-kasih; yang dapat di kondensasi menjadi "dwisila" yakni cinta kasih kepada sesama dan cinta kasih kepada tuhan. Namun, pada giliran finalnya pancasila itu adalah "ekasila" ialah cinta kasih kepada tuhan.

9. Dalam penjelasannya tentang tata-hubungan negara dengan religi, negara pancasila memiliki modalitas seperti :

- Tujuan langsung penegasan ialah kemakmuran bersama, dan tercapainya kemakmuran ini menjadi sarana dan syarat pelaksanaan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.

Jika negara dapat dan harus secara langsung melaksanakan kemakmuran umum, negara tidak secara langsung melaksanakan Ketuhanan Yang Maha Esa.  Oleh sebab itu, pelaksanaan Ketuhanan Yang Maha Esa ini diserahkan kepada religi. 

Pengaturan dan pencapaian kemakmuran umum termasuk kedalam pengkaryaan kenegaraan, sedangkan untuk Ketuhanan Yang Maha Esa tidak demikian halnya.

Pelaksanaan Ketuhanan Yang Maha Esa berada diatas aturan negara, maka itu menjadi wewenang religi. Negara atau pancasila pun tidak dapat memerintahkan cara-cara beribadat yang adalah menjadi kewenangan religi atau agama.

- Namun demikian tidak berarti tidak ada hubungan sama sekali antara negara pancasila dengan religi, seperti tata hubungan di negara-negara sekuler.

Justru Ketuhanan Yang Maha Esa menjadi prinsip lebih dalam penegaraan sedemikian, sehingga termaktub dalam konstitusi 1945. Menjadi prinsip lebih dalam berarti, Ketuhanan Yang Maha Esa merupakan tujuan lanjut, tujuan yang terakhir pancasila. Inilah presisi ketika ditegaskan bahwa hakikat pancasila ialah cinta kasih kepada tuhan. 

- Meskipun demikian tidak berarti bahwa negara tidak harus di kebawahkan oleh religi, diperalat oleh religi. Atau jiga religi tidak boleh terlalu erat jalinannya terhadap negara yang memungkinkan adanya bahaya bahwa, religi dijadikan sebagai alat politik semata! 

Jika demikian maka religi direndahkan "faktor" atau unsur politik. yang harus di camkan ialah "Negara Pancasila mengakui bahwa hidup seluruh manusia itu merupakan gerak ke tuhan bahwa apa yang diselenggarakan dengan menegara itu pada akhirnya untuk melaksanakan ada-kita sebagai cinta-kasih kepada tuhan. Jadi Negara Pancasila mengakui ketinggian dan kesucian hidup."

Inilah pemikiran Drijarkara tentang filsafat pancasila yang memiliki hubungan begitu erat tak terpisahkan bagi kehidupan bangsa Indonesia, termasuk dalam bernegara.

Baca Juga : https://www.kompasiana.com/anton995634/64898b404d498a45f8308052/filsafat-pancasila-pemikiran-filosofis-soekarno

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Sosbud Selengkapnya
Lihat Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun