Mohon tunggu...
Anto Medan
Anto Medan Mohon Tunggu... Wiraswasta -

Ayuk.......

Selanjutnya

Tutup

Politik

Freeport, Transkrip di Dunia Mimpi...

6 Desember 2015   22:10 Diperbarui: 28 Januari 2016   07:02 511
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Politik. Sumber ilustrasi: FREEPIK/Freepik

Semalam, gegara kebanyakan makan durian,  saya mimpi mendengar percakapan-percakapan sadis dan romantis mengenai Freeport di negeri mimpi. Namanya mimpi, mudah-mudahan kebenarannya juga kebenaran mimpi saja.

Di suatu tempat yang sendu, semilir angin bertiup pelan.....

Di suatu tempat, Presiden dan Menteri ESDM negara mimpi berdiskusi.

SS: Pak Presiden, bagaimana ya tentang Freeport.

JKW: Untung ruginya menurut Pak Menteri bagaimana?

SS: Keuntungannya kita kan dapat royalti, Pak. Triliunan rupiah lo, Pak, per tahunnya. Ruginya, ya ga ada, Pak. Kan kita juga belum sanggup mengelola tambang sebesar itu. Lagi pula mereka itu PMA pertama di Indonesia, lho Pak. Sudah puluhan tahun.

JKW: Jadi, masalahnya apa?

SS: Begini, Pak. Kan UU minerba mewajibkan dibangunnya smelter. Freeport minta tolong, kalau memang mau dibangun smelter, mereka minta kepastian perpanjangan izinnya, Pak Presiden. Soalnya, membangun smelter itu kan harus bangun pembangkit listriknya juga. Itu kan banyak uangnya, Pak. Mereka hanya minta kepastian perpanjangan izin.

JKW: Kan kemaren sudah dibilang, sesuai aturan kan 2 tahun sebelum habis baru boleh diperpanjang.

SS: Itulah, Pak Presiden. Hitung-hitungannya, membangun smelter dan pembangkit listrik itu kan bisa 3 sampai 4 tahun, baru selesai. Untk kapasitas mereka, lho, ya, Pak. Kalaupun dimulai sekarang, bisa-bisa tahun 2019 baru selesai, Pak. Mereka khawatir, kalau izin belum diperpanjang, kan tinggal 2 tahun, Pak.

JKW: Oh, begitu ya. Menurut Pak Menteri, bagaimana solusinya?

SS: Bagaimana kalau kita bikin perubahan aturan saja, Pak? Toh, dari jaman Pak SBY, mereka sudah diberi keringanan ekspor konsentrat, kok, Pak.

JKW: OK, coba Pak Menteri siapkan dulu, nanti kita diskusikan lagi.

 

Lalu, terjadi reshuffle, dan Menko diganti menjadi RR.

RR: Pak Presiden, mengenai Freeport, saya punya pemikiran sendiri

JKW: Gimana Pak Menko?

RR: Saya ada tiga tuntutan ke Freeport. Bagi hasilnya gila, hanya 1%. Masa rendah begitu, Pak. Terus mengenai limbah dan divestasi. Saya rasa itu harus, Pak.

JKW: Iya, saya juga pikir begitu. Kita harus manfaatkan sebesar-besarnya untuk kepentingan negara dan bangsa. Kemaren, menteri esdm infokan kalau mereka keberatan bangun smelter kalau tidak ada kepastian perpanjangan izin.

RR: Setuju, Pak Presiden! Kalau mengenai perpanjangan ijin, saya rasa tidak perlu sekarang Pak Presiden. Masa jaminan lisan dari Presiden masih mereka ragukan. Tapi, saya dengar Menteri sdh beri lampu hijau perpanjangan ijin.

JKW: Oh ya? Yang penting mereka mau ikut syarat kita, sebenarnya kita pasti berikan perpanjangan. Saya mau semua nya dirubah.  Yang penting untuk bangsa dan negara, terutama rakyat Papua juga. Sampai sekarang, tidak ada sumbangsih berarti.

 

Pak Menteri ESDM dipanggil lagi oleh Presiden

JKW: Pak Menteri, ini lima syarat kalau Freeport mau perpanjang ijinnya. 1. Royalti ditambah, 2. Penggunaan Local Content, 3. Divestasi saham, 4. Pembangunan Smelter, 5. Perbaikan Lingkungan Hidup. Dan ijin baru akan diperpanjang 2 tahun sebelum berakhir. (sambil membaca catatan di atas meja)

SS: Tapi, Pak, keberatan mereka kan....

JKW: Iya, kemaren saya sdh ketemu dengan manajemennya juga. Saya rasa, itu yang terbaik dapat kita tawarkan. Kita sudah terlalu lembek terhadapap Freeport. Kalau mereka penuhi 5 syarat kita, saya akan perpanjang. Kalau tidak, bagus mereka hengkang saja.

SS: Pak, kalau sampai begitu, tidak baik lho, untuk iklim investasi asing.

JKW: Tidak akan berpengaruh. Kan investor juga harus ikut aturan kita. Masa kita yang harus sesuaikan diri sama mereka.

SS: Pak, kemaren Pak MS sempat ngomong kalau kantor pusat Freeport bakal Arbitrase kita kalau sampai ijin tidak diperpanjang.

JKW: Lha, masa kita harus takut dan ikuti yang mereka mau. Pak menteri jalankan saja keputusan saya!

SS: Pak, apa manajemen kemaren ada menyinggung tentang persentase?

JKW: Divestasi? Persentase apa? Royalti? Royalti saya minta 4%, itu pun sudah lebih rendah dari negara lain, yang 6% sd 7%.

SS: Gitu ya, Pak. (berarti masalah saham utk Presiden gak diomongin, ya. Mungkin manajemen gak dapat celah nawarin kali, ya. Waduh, bisa buntu ini semua. Mana saya sudah buat surat utk Moffet. Pusing dah)

SS: Pak, kalau begitu saya ijin dulu, ya.

 

lalu, SS bertemu dengan MS

SS: Pak, gawat nih. Presiden kayaknya gak gampang diatur. Awalnya, Presiden sih sudah setuju. tapi, sekarang malah nambah-nambahin syarat. Dari 3 jadi 5 malahan.

MS: Pak, yang penting, royalti dan divestasi itu kalau bisa dipending dulu. Terus kita dapat kepastian perpanjangan ijin dulu. Apa ga bisa cara-cara dulu? Kan gak ada yang dirugikan.

SS: Entahlah, Pak. Saya juga pusing.

MS: Pak, saya dengar Bapak posisinya sekarang kurang bagus, ya? (bakal calon direshuffle)

SS: Sejak Menko baru ini, kepala saya makin pusing, Pak. Kerjaan kita yang harusnya senyap, ini malahan jadi konsumsi wartawan. Mungkin dah. Pasrah aja lah.

MS: Hmm, Pak, ini ide nih... Sekali lempar, mungkin bisa dapat 2, 3 burung.

SS: Apaan itu, Pak?

MS: Kemaren, saya ada rekam pembicaraan sama Pak SN dan MR. Mengenai mereka minta saham untuk boss Bapak sama Pak JK.

SS: Emang Bapak yakin, yang mereka bilang?

MS: Pak, MR itu punya jaringan yang sangat kuat. Apa yang dia mau, biasanya tercapai, kecuali mem-presidenkan Prabowo. Tapi, dia kan bukan pejabat pemerintah atau politik. Kalau SN itu, sebenarnya lebih tepat jadi pengusaha. Maksud saya begini, Pak Menteri. Kalau kita beberkan rekaman ini, otomatis, citra Pak Menteri akan jadi baik. Freeport juga akan dianggap anti korupsi. Mungkin dengan demikian, Pak Presiden juga akan lebih lunak sama Freeport. Lagipula, Partai Perjuangan akan berutang budi sama Bapak, karena sudah bantu mereka melenyapkan dua orang yang mereka tidak sukai ini, SN dan MR. Citra Bapak juga akan membaik, yakin saya, itu.

SS: Bisa jadi bumerang, ga, Pak?

MS: Pak, semua kan ada resikonya. Mohon maaf, saya rasa, kalau untuk Bapak, 'nothing to lose'. Kalau untuk Freeport, kami masih banyak cara, kok. Dubes juga siap membantu. Seburuk-buruknya, ya kita bangun saja smelter nya. Apa pemerintah bisa batalkan kalau kita bangun? Kan ga bisa.

SS: Kalau begitu, kita atur skenarionya, Pak.

 

Di warung kopi Wak Nur, Medan.

AM: Bah, kacau kali menteri kita ini, masa gampang kali mau perpanjang ijin Freeport.

AM: Emang napa, Bang?

AM: Kamu tahu gak, semua tambang lokal tutup gegara UU no. 9 thn 2009 tentang Minerba. Tidak boleh ekspor mineral mentah. Ini, Freeport sampai sekarang masih ekspor konsentrat mineral. Kok pemerintah bukannya membela pengusaha lokal, malahan perusahaan asing yang dibela. Sudah itu, pemerintah kita ini, mau kasih perpanjang ijin Freeport sebelum jatuh tempo, harusnya kan 2 tahun sebelum berakhir ijinnya.

AM: Kan kita diuntungkan, Bang.

AM: Untung apaan. Royalti cuman 1%. Pernah ke Papua ga? Harga semen saja sampai 1 juta di pegunungan, gara-gara jalannya susah. Rakyat sengsara, gak maju-maju. Miris lihatnya. Belum lagi, saya dengar limbahnya sembarang buang ke sungai. Rusak ekosistemnya.

AM: Hah, masa cuman 1%, Bang?

AM: Lha, iya. Dari jamannya Suharto sampai jamannya SBY.

AM: Tapi, kalau kita minta syaratnya banyak, apa gak lari Freeport?

AM: Mana berani dia lari. Emas di depan mata, kok lari. Sudah cocok yang dibilang Rizal Ramli, gertak aja itu. Gertak Medan, hahahaha.

AM: Emang kita sanggup, Bang, kelola tambang itu?

AM: Begini, di dunia tambang, ada suatu istilah. Processing Fee. Kalau kita kirim mineral mentah ke pabrik pengayaan dan pengolahan logam, umpamanya tembaga dan emas, kita tinggal membayar processing fee. Itu bisa persentase, hanya 5% atau 10%. Ataupun, bisa juga dengan satuan, misalnya USD 20 per ton.

AM: Maksudnya....

AM: Kita undang saja, BUMN Tiongkok ke Papua, suruh mereka yang bangun sendiri smelter dan PLTA. Kurasa, banyak yang mau. Mengantri pun. Emas jadi milik kita, kita bayar processing fee sama mereka. Kalau pun kita kasih 10%, kurasa mereka masih untung. Ada 16 juta kilo emas, bayangkan itu. Belum lagi tembaganya.

AM: Iya pulak, ya, Bang. Berarti, tembaga dan emas sana bisa jadi punya kita semua, dong, ya, Bang.

AM: Iya. Jadi, kalau menurut awak pulak, ya. Jangan lagi kasih keringanan ekspor konsentrat sama Freeport. Karena UU Minerba kan dari tahun 2009, sampai sekarang mereka baru progress 13 persen smelternya. Kan berarti memang tidak ada niat baiknya. Stop saja ekspornya. Nanti, tahun 2019, kalau mereka mau perpanjang ijin, tolak saja. Karena mereka tidak beritikad baik dari awal. Dan kalau perlu, didenda saja mereka karena perusakan alam. USD 100 milyar pun belum cukup. Kita ini kan negara berdaulat. Jangan dijadikan mainan sama orang luar. Sudah kekayaan alam diambil, dirusak pulak yang tersisa.

AM: Kenapa gak dikasih ke BUMN Indonesia aja, Bang?

AM: Bercanda kau. Emang ada BUMN yang menguntungkan Indonesia? Ntar semua rebutan kue lagi? Ini kalau kita kasih sama BUMN Tiongkok, tinggal hitung hasil aja. Kalau BUMN kita yang urus, hahaha, sudah tahu lah kau, macam mana ujung ceritanya.

AM: Iya pulak, ya, Bang. Tapi, nanti kita dituding gak nasionalis, Bang.

AM: Kita kan harus tegas dan jelas. Sekarang, emas 16juta kilo, sesudah ditambang dan diproses BUMN lokal, bisa-bisa hasil jadi 100 ribu kilo saja. Lagi pula, nanti mereka minta uang untuk bangun PLTA dan Smelter. Target pajak kita saja gak kesampaian. Apalagi, anggota DPR yang angkatan 98 itu, kan nolak penyertaan modal ke BUMN. BUMN itu harusnya menyetor ke Indonesia, bukan malah uang pajak kita dipakai untuk mereka. Kalau diproses Tiongkok, dari 16 juta kilo, kita bisa dapat setidaknya 90%nya. Tinggal awasi hasil produksinya saja. Coba kau hitung dulu, berapa kilo itu. Nah, lebih nasionalis mana, coba?

AM: Hadeuh, kayaknya Abang lebih cocok deh jadi Menteri daripada Sudirman Said.

AM: Hah, bisa saja kau. Sebenarnya kalau pintar, kalahnya Abang dibanding Sudirman Said. Cuman, inikan logika dan cinta negara saja yang bisa menjelaskan ini.

AM: Mudah-mudahan burung-burung di pohon ini menyampaikan ke Presiden ide Abang ini. Biar tahu rasa Freeport ini.

AM: Hanya burung yang bisa lewati paspampres ya, .......

AM+AM: hahahahaha.......

*AM = Anto Medan, *AM = Anak Medan.

Kalau inisial yang lain, namanya di dunia mimpi, tebak-tebak sendiri saja, deh.

 

Salam hayal,

Anto Medan

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Politik Selengkapnya
Lihat Politik Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun