AM: Untung apaan. Royalti cuman 1%. Pernah ke Papua ga? Harga semen saja sampai 1 juta di pegunungan, gara-gara jalannya susah. Rakyat sengsara, gak maju-maju. Miris lihatnya. Belum lagi, saya dengar limbahnya sembarang buang ke sungai. Rusak ekosistemnya.
AM: Hah, masa cuman 1%, Bang?
AM: Lha, iya. Dari jamannya Suharto sampai jamannya SBY.
AM: Tapi, kalau kita minta syaratnya banyak, apa gak lari Freeport?
AM: Mana berani dia lari. Emas di depan mata, kok lari. Sudah cocok yang dibilang Rizal Ramli, gertak aja itu. Gertak Medan, hahahaha.
AM: Emang kita sanggup, Bang, kelola tambang itu?
AM: Begini, di dunia tambang, ada suatu istilah. Processing Fee. Kalau kita kirim mineral mentah ke pabrik pengayaan dan pengolahan logam, umpamanya tembaga dan emas, kita tinggal membayar processing fee. Itu bisa persentase, hanya 5% atau 10%. Ataupun, bisa juga dengan satuan, misalnya USD 20 per ton.
AM: Maksudnya....
AM: Kita undang saja, BUMN Tiongkok ke Papua, suruh mereka yang bangun sendiri smelter dan PLTA. Kurasa, banyak yang mau. Mengantri pun. Emas jadi milik kita, kita bayar processing fee sama mereka. Kalau pun kita kasih 10%, kurasa mereka masih untung. Ada 16 juta kilo emas, bayangkan itu. Belum lagi tembaganya.
AM: Iya pulak, ya, Bang. Berarti, tembaga dan emas sana bisa jadi punya kita semua, dong, ya, Bang.
AM: Iya. Jadi, kalau menurut awak pulak, ya. Jangan lagi kasih keringanan ekspor konsentrat sama Freeport. Karena UU Minerba kan dari tahun 2009, sampai sekarang mereka baru progress 13 persen smelternya. Kan berarti memang tidak ada niat baiknya. Stop saja ekspornya. Nanti, tahun 2019, kalau mereka mau perpanjang ijin, tolak saja. Karena mereka tidak beritikad baik dari awal. Dan kalau perlu, didenda saja mereka karena perusakan alam. USD 100 milyar pun belum cukup. Kita ini kan negara berdaulat. Jangan dijadikan mainan sama orang luar. Sudah kekayaan alam diambil, dirusak pulak yang tersisa.