Dalam bidang pendidikan misalnya tampak dengan nyata hak hak untuk memperoleh pendidikan yang lebih bagi golongan Eropa dan pendidikan yang minim untuk golongan Bumi Putera, sedangkan bagi kelompok Timur Asing memperoleh hak istimewa untuk menikmati pendidikan seperti yang dimiliki oleh kelompok Eropa.
Politik kolonial di Afrika telah melahirkan genoside seperti di Rwanda. Bekas jajahan Belgia itu dihuni oleh suku Hutu atau Bantu yang dianggap sebagai penduduk asli yang belum beradab.
Di samping itu terdapat kelompok Tutsi atau Hamite yang berasal dari Mesir dan Ethiopia dan dianggap kelompok yang sudah beradab. Dengan politik kolonial, suku Tutsi memperoleh kedudukan yang lebih baik dibandingkan dengan suku Hutu. Di dalam revolusi tahun 1959 terhadap kekuasaan kolonial, terjadilah perubahan sosial dalam mencari identitas politik.
Revolusi tersebut dipelopori oleh suku Hutu sehingga dikenal sebagai revolusi Hutu. Dengan revolusi tersebut suku Hutu dianggap sebagai Bumi Putera sedangkan suku Tutsi dianggap sebagai suku yang asing. Dalam revolusi tersebut suku Tutsi terpaksa menyebar ke daerahdaerah atau negara tetangga. Pada tahun 1990-1994 terjadi perang saudara yang terkenal dengan adanya genoside.
Di dalam kasus tersebut kita lihat pergolakan dalam identitas politik di dalam proses membentuk negara (state formation). Di dalam kasus tersebut terlihat dengan jelas bahwa ras tidak berkaitan dengan hal-hal biologis dan etnisitas dengan hal-hal budaya. Ternyata konsep ras dan etnisitas hanya dapat Dimengerti dalam konteks kolonialisme.
Pada masa kolonial pengertian ras telah muncul dari konsep Bumi Putera yang dikonstruksikan di dalam masyarakat kolonial. Etnisitas dikonstruksikan sebagai Bumi Putera. Sejalan dengan itu etnisitas dikonstruksikan sebagai kelompok yang mempunyai budaya tertentu dan dianggap sebagai budaya yang inferior (H.A.R Tilaar, 2007).
Politik kolonial yang juga melahirkan identitas legal dimana secara langsung atau tidak langsung telah mempererat sentimen etnis atau kesukuan. Dalam politik kolonial hal tersebut dikenal sebagai politik devide et impera, dibagi-bagi sehingga mudah dikuasai. Politik kolonial dalam pembentukan identitas nasional tampak bekas-bekasnya di dalam pembentukan negara Indonesia.
Dalam UUD 1945 sebelum diamandemen disyaratkan bahwa seorang presiden haruslah seorang Indonesia asli. Di dalam amandemen UUD 1945 syarat-syarat tersebut hanya dikatakan di dalam Pasal 6 "Calon Presiden dan calon Wakil Presiden harus seorang warganegara Indonesia sejak kelahirannya.” Rumusan tersebut telah menghilangkan keragu raguan mengenai keaslian seorang warganegara Indonesia, Mantan Presiden Abdulrahman Wahid terkenal dengan ungkapannya bahwa beliau sendiri mempunyai darah Cina.
Pembedaan antara warganegara asli dan warganegara keturunan telah mempunyai dampak yang sangat luas di dalam kehidupan masyarakat. Di dalam kartu tanda penduduk (KTP) misalnya masih terlihat pembedaan antara warganegara asli dan warganegara keturunan.
Sangat menggembirakan pengertian mengenai “asli” dan “tidak asli” telah hilang di dalam Undang-Undang No. 12 Tahun 2006 Tentang Kewarganegaraan. Dalam Era Reformasi diskriminasi rasial mulai dihilangkan dalam praktik kehidupan berbangsa. Pengertian etnisitas lebih merupakan pengertian budaya (cultural identity) yang memberikan sumbangan terhadap. identitas berbangsa yaitu bangsa Indonesia yang bersatu.
Salah satu cara untuk memperhatikan USA adalah membandingkan kelompok inti Anglo-Saxon dengan kelompok-kelompok lainnya. Budaya orang Amerika begitu banyak didasarkan pada model Inggris sehingga anggota kelompok biasanya berfikir tidak ada perbedaan status etnik tetapi hanya “orang Ameriksa”.