Mohon tunggu...
Annisa Zaenab Nur Fitria
Annisa Zaenab Nur Fitria Mohon Tunggu... Psikolog - Psikolog Klinis

Saya seorang psikolog klinis berlisensi dan pembaca di dunia anak-anak dan keluarga. Dalam kedua peran tersebut, saya percaya bahwa hidup kita terbuat dari banyak cerita. Dalam praktik saya, saya bertanya, menantang, dan memberdayakan pemikiran dan pola yang dibawa orang-orang dalam cerita mereka–dan memberikan makna yang lebih dalam.

Selanjutnya

Tutup

Love Artikel Utama

"Si Kecil" dalam Diri, yang Turut Memengaruhi Cara Kita Mencintai

29 Februari 2024   12:20 Diperbarui: 1 Maret 2024   00:50 259
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Ilustrasi cinta (Teraphim via KOMPAS.com)

Tahu enggak kebutuhan mencintai dan dicintai itu seperti satu kebutuhan pokok dalam piramida kebutuhan Maslow?

Nah, dalam perjalanan menuju cinta, kita sering dihadapkan dengan rintangan, salah satunya adalah perbedaan cara mencintai.

Menurut Dr. Milan dan Kay Yarkovich, ada 5 gaya cinta yang bisa mempengaruhi cara kita menjalin hubungan. Mereka berdua juga meyakini bahwa masa kecil punya andil besar dalam membentuk gaya cinta seseorang.

Berikut adalah 5 love style yang ternyata dipengaruhi oleh masa kecil:

1. The Pleaser 

Tipe "The Pleaser" sering kali tumbuh dari orangtua yang over protektif dan mudah mengkritik anaknya. Orang-orang yang termasuk dalam tipe ini biasanya berusaha keras banget buat bikin orang-orang di sekitarnya senang demi menghindari konflik.

Jadi, dalam hubungan, mereka suka banget mengalah atau minta maaf lebih dulu buat memperbaiki masalah. Mereka juga susah banget menolak atau bilang "tidak" buat menghindari konflik.

Tapi, yang seru, tipe "The Pleaser" ini biasanya jago banget baca situasi dan kondisi orang-orang di sekitarnya. Jadi, secara alami, mereka sudah punya panduan buat tindakan dan keputusan mereka.

Tapi saat tipe "The Pleaser" lagi stres atau merasa bikin kecewa orang-orang di sekitarnya, mereka suka melarikan dan mengunci diri dari masalah. Meskipun enggak selalu bisa, tapi tipe "The Pleaser" biasanya akan terus berusaha untuk membuat orang-orang di sekitarnya senang, hingga terkadang lupa dengan batasan untuk diri sendiri.

Nah, buat bisa mulai hubungan yang sehat, tipe "The Pleaser" perlu bisa jadi jujur sama perasaannya sendiri, daripada terus-terusan berusaha melakukan hal-hal untuk menyenangkan orang lain. 

2. The Victim

Tipe "The Victim" biasanya lahir dari orangtua yang kasar dan suka marah-marah. Kondisi kayak begitu membuat tipe "The Victim" jadi pintar bertahan tanpa pedulikan dirinya sendiri.

Sejak kecil, mereka sudah terbiasa buat tutup mulut, bersembunyi, dan melarikan diri dari masalah.

Jadinya, tipe "The Victim" suka punya dunia imajinasinya sendiri buat menyelamatkan diri dari kenyataan hidup yang bikin sakit hati. 

Dari pengalaman masa kecilnya, tipe "The Victim" sering kali punya rasa percaya diri yang rendah banget. Mereka juga sering berjuang menghadapi anxiety disorder atau bahkan depresi.

Buat menghadapi hidup yang kacau dan penuh tekanan dari kecil, tipe "The Victim" jadi mahir dalam beradaptasi dan mengikuti alur kehidupan.

Tapi, karena sudah terbiasa sama situasi yang kacau, mereka malah bisa merasa cemas dan gelisah jika dihadapkan dengan situasi yang aman, tenang, dan damai.

Buat bisa mulai hubungan yang sehat, tipe "The Victim" harus belajar mencintai dan menghargai diri mereka sendiri. 

3. The Controller

Tipe "The Controller" biasanya tumbuh di lingkungan yang buat mereka kurang merasa aman, jadi mereka terpaksa jadi kuat dan tegar dari kecil untuk bisa bertahan hidup.

Mereka memiliki obsesi mengontrol atas segalanya, supaya enggak ada yang tau masa kecil mereka yang mereka anggap sebagai kelemahan. Mereka juga benci keluar dari zona nyaman, soalnya ketidakpastian atau hal baru bisa bikin mereka merasa lemah.

Nah, pas dihadapkan dengan masalah, tipe "The Controller" ini yakin banget kalau mereka bisa selesaikan sendiri. Buat bisa mulai hubungan yang sehat, tipe "The Controller" perlu belajar untuk menerima bantuan, kontrol emosi, dan ikhlaskan jika enggak segalanya bisa di atur sesuai keinginan. 

4. The Vacillator

Berbeda dari tiga tipe sebelumnya, tipe "The Vacillator" biasanya besar dengan orang tua yang kurang konsisten, khususnya dalam memberikan kasih sayang.

Jadi, mereka tumbuh dengan perasaan bahwa mereka bukan prioritas utama bagi orang tua mereka. Akibatnya, mereka sering punya rasa takut kalau diabaikan.

Nah, buat mengisi kekosongan kasih sayang dari orang tua, tipe "The Vacillator" akan berusaha keras untuk mencari perhatian dan kasih sayang dari orang lain.

Saat mereka mencoba untuk membangun hubungan, sering kali tipe "The Vacillator" punya konflik batin dan tekanan emosional, karena ragu dan takut diabaikan sama orang lain. 

Selain itu, tipe "The Vacillator" juga memiliki kepekaan yang sangat tinggi. Mereka bisa merasakan perubahan kecil dari orang sekitarnya. Kepekaan ini yang buat mereka sering ragu dan takut kalau diabaikan sama orang lain.

Buat tipe "The Vacillator", penting banget untuk sabar sebelum membangun hubungan sama orang lain, biar enggak kecewa dengan ekspektasi yang mereka punya.

5. The Avoider 

Sekarang kita bahas tipe "The Avoider". Mereka biasanya tumbuh dari orang tua yang menganut nilai kemandirian tinggi. Mirip dengan tipe "The Vacillator", mereka juga besar dengan kekurangan kasih sayang.

Bedanya, tipe "The Avoider" ini tumbuh sebagai anak yang mandiri, berusaha memenuhi kebutuhannya sendiri. Mereka cenderung menyimpan perasaan dan keinginan mereka yang muncul karena kurangnya perhatian dan kasih sayang dari orang tua.

Nah, si "The Avoider" ini lebih suka pakai logika daripada perasaan. Jadi, supaya bisa bangun hubungan yang sehat dan stabil, mereka perlu belajar buat membuka hati dan mengungkapkan apa yang mereka merasakan secara jujur. 

Benarkah Pengabaian Masa Kecil Memengaruhi Kita dalam Menjalin Hubungan Romantis?

Oke, selanjutnya kita akan membahas mengenai pengabaian emosional.

Pengabaian emosional itu seperti salah satu bentuk pelecehan emosional, loh. Ini bisa dikenali dari pola yang berulang di mana emosi anak dianggap remeh, enggak diakui, diabaikan, atau diminimalkan.

Misalnya, kalau kita besar sama orang tua yang cuek dan enggak respons sama kasih sayang atau perhatian kita, itu bisa dianggap bentuk pengabaian emosional.

Nah, pengabaian emosional ini pas banget jadi bahan pertimbangan buat lihat bagaimana pandangan kita terhadap dunia dan diri sendiri. Efeknya bisa lama dan bercabang, bahkan bisa mempengaruhi gaya keterikatan kita, lho.

Jadi gaya keterikatan sebenarnya membahas cara kita bangun hubungan dan bentuk ikatan sama orang lain.

Konsep ini pertama kali diperkenalkan oleh John Bowlby di tahun 1950-an sebagai bagian dari teori keterikatan.

Nah, menurut teorinya, ada 5 jenis gaya keterikatan yang bisa dibagi jadi tipe aman dan yang enggak aman. Penasaran, kan? Yuk, kita bahas lebih lanjut! 

  1. Secure: bonding sehat yang menyebabkan tekanan minimum

  2. Insecure: hubungan yang dapat menyebabkan kesusahan atau gesekan besar

  3. disorganized (fearful-avoidant)

  4. avoidant (anxious-avoidant, dismissive) 

  5. anxious (anxious-ambivalent, preoccupied)

Pengabaian emosional masa kanak-kanak sering kali dikaitkan dengan gaya keterikatan yang tidak aman. 

4 cara pengabaian emosional masa kanak-kanak berdampak pada gaya keterikatan

Kualitas bonding kita dengan pengasuh di masa kecil sangat punya andil besar untuk menentukan tingkat rasa aman yang kita miliki dalam menjalin hubungan dewasa. Ada penelitian dari tahun 2016 dan 2018 yang mengatakan jika pengabaian emosional saat masih kecil sering kali berhubungan sama orang dewasa yang cenderung cemas dan senang nge-avoid hubungan. Begini caranya:

1. Trust 

Sebagai seorang anak, kalau orang yang jadi andalan kita tiba-tiba cuek, bisa mempengaruhi kemampuan kita buat percaya sama orang lain.

Waktu sudah dewasa, terkadang kita bisa merasakan ketakutan untuk dekat atau bahkan enggak bisa benar-benar hadir secara emosional. Ada juga yang sampai curiga terus sama niat dan gerak-gerik orang lain, lho! 

2. Self-reliance

Jika sewaktu masa anak-anak pengasuh kita cuek secara emosional, bisa jadi itu yang bikin kita lebih mandiri dan percaya diri. Tapi, lama-lama, bisa saja kita jadi kesulitan minta bantuan atau bergantung sama orang lain. Malah mungkin kita lebih pilih enggak mau terlalu dekat atau terikat sama orang lain.

Kalau sudah begitu, kita bisa saja jadi santai, meremehkan pasangan, atau berpikir kalau enggak perlu banget melibatkan mereka dalam proyek-proyek kita. 

3. Emotional expression

Sewaktu kecil apabila kita enggak pernah mengalami berbagai macam emosi, bisa jadi menjadi lebih susah untuk mengenali emosi orang lain atau bahkan diri kita sendiri. Proses kita dalam menunjukkan emosi juga bisa jadi kacau, alias disebut sebagai 'disregulasi emosional'.

Menurut Rachel Kaplan, yang ahli di bidang sosial klinis, kalau kita kurang paparan sama emosi saat masih anak-anak, kita bisa enggak belajar cara meniru emosi itu.

Nah, akibatnya, sebagai orang dewasa, kita menjadi sulit untuk mengidentifikasi, mengakui, atau menanggapi emosi diri sendiri atau emosi pasangan.

Bisa juga kita jadi merasa enggak enak kalau disuruh buka-bukaan, kurang nyaman sama keintiman, atau susah banget menunjukkan perasaan kita. Serba sulit, ya!

4. Uncertainty

Kalau saat kecil kita enggak dapat kepastian yang konsisten, bisa jadi kita enggak akan pernah merasa benar-benar aman, kata Dr. Judy Rosenberg, psikolog dari Los Angeles.

Akibatnya, bisa kurang percaya diri, meski di luar kelihatan mandiri. Jadi, pas sudah jadi orang dewasa, bisa saja kita lebih suka stay di zona nyaman dan nge-avoid pengalaman baru sama pasangan. 

Siapa yang setuju jika pengalaman masa lalu itu memiliki kekuatan luar biasa terlebih untuk membentuk hubungan romantis kita saat ini.

Banyak di antara kalian yang mungkin ingin percaya bahwa kita bisa memulai hubungan baru dengan lembaran bersih, tetapi pada kenyataannya apa yang kita alami dan pelajari dari masa kecil memiliki dampak yang signifikan pada cara kita berinteraksi dengan pasangan saat ini.

Jadi, teman, pengalaman masa kecil ternyata punya peran penting dalam kemampuan kita membangun keintiman. Salah satu faktor kunci adalah kualitas kelekatan yang terbentuk waktu kecil.

Bayangkan saja, hubungan kita sama orangtua pada masa kecil bisa jadi fondasi buat cara kita lihat diri sendiri dan orang lain. Menurut Bowlby dalam Pramana, 1996), kalau anak merasa diterima dengan baik, dia bisa mengembangkan kelekatan yang kokoh dan rasa percaya diri enggak cuma sama orangtua, tapi juga sama lingkungan sekitarnya. 

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Love Selengkapnya
Lihat Love Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun