Kewenangan adalah kekuasaan formal yang diberikan oleh undang-undang.Otorisasi tersebut harus didasarkan pada ketentuan hukum yang sah agar otorisasi tersebut merupakan otorisasi yang sah. Kekuasaan suatu badan negara adalah kewenangan yang ditetapkan oleh hukum positif untuk mengatur dan memelihara kekuasaan Kewenangan Mahkamah Syar'iyah Aceh (MSA) dalam Sistem Peradilan Nasional menghadapi tantangan yang kompleks seiring dengan perkembangan zaman. Aceh sebagai satu-satunya provinsi di Indonesia yang menerapkan hukum syariah secara formal, memperlihatkan dinamika unik dalam interaksi antara hukum syariah dan hukum nasional.Â
Tulisan ini menggali tantangan dan prospek yang dihadapi MSA dalam konteks sistem peradilan nasional. Salah satu tantangan utama adalah harmonisasi antara hukum syariah dan hukum nasional, khususnya dalam konteks Aceh yang memiliki kedudukan istimewa. Meskipun hukum syariah memiliki basis historis yang kuat di Aceh, menyesuaikannya dengan prinsip-prinsip demokrasi dan hak asasi manusia merupakan tugas yang kompleks. Selain itu, pengawasan terhadap pelaksanaan hukum syariah perlu diperkuat untuk memastikan perlindungan hak-hak individu.Â
Di sisi lain, terdapat prospek yang menjanjikan dalam pengembangan MSA sebagai bagian integral dari sistem peradilan nasional. Dengan memperkuat infrastruktur hukum dan meningkatkan kualitas sumber daya manusia di MSA, potensi untuk memberikan keadilan yang efektif dan responsif terhadap kebutuhan masyarakat dapat ditingkatkan. Selain itu, pembangunan institusi hukum syariah yang profesional dan transparan dapat memperkuat kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan. Kesimpulannya, Kewenangan Mahkamah Syar'iyah Aceh dalam Sistem Peradilan Nasional menghadapi tantangan yang kompleks, tetapi juga memiliki prospek yang cerah.Â
Penting untuk terus mengembangkan kerja sama antara MSA dan lembaga-lembaga peradilan nasional lainnya serta memperkuat prinsip-prinsip keadilan, demokrasi, dan hak asasi manusia dalam implementasi hukum syariah di Aceh. Dengan demikian, MSA dapat menjadi pilar yang kuat dalam mewujudkan keadilan dan kedamaian di Aceh dan Indonesia pada umumnya. Wewenang Mahkamah Syar'iyah sebagai pengadilan khusus seperti yang dijelaskan dalam Pasal 3A Undang-Undang Nomor 3 Tahun 2006 tidak lagi terbatas dalam bidang perdata, tetapi juga mencakup bidang mu'amalah dan jinayah. Sebagai bagian dari sistem peradilan Indonesia, Mahkamah Syar'iyah memiliki dua kompetensi dasar, yaitu wewenang Peradilan Agama dan sebahagian wewenang Peradilan Umum.Â
Penerapan hukum syariah di Aceh merupakan fenomena unik di Indonesia dan menunjukkan dinamika khusus dalam interaksi antara hukum syariah dan peraturan perundang-undangan dalam negeri. Mahkamah Syar'iyah Aceh (MSA) merupakan satu-satunya provinsi yang memiliki yurisdiksi otonom khusus atas penerapan hukum syariah secara resmi dan berperan penting dalam sistem hukum negara. Namun, karena peran khusus tersebut, MSA menghadapi beberapa tantangan kompleks dan prospek menarik dalam sistem hukum negara. Dalam pendahuluan ini, kami membahas secara singkat latar belakang sejarah dan kerangka hukum yang membentuk kewenangan MSA, kemudian menjelaskan tantangan yang dihadapi badan ini dalam memenuhi mandatnya dalam sistem hukum nasional.Â
Pengembangan sumber daya manusia yang berkualitas di MSA sangat penting untuk menjamin penerapan hukum Syariah yang tertib dan adil. Pada saat yang sama, transparansi proses peradilan juga diperlukan untuk meningkatkan kepercayaan masyarakat terhadap lembaga hukum syariah.Namun, di antara tantangan-tantangan yang kompleks ini, MSA juga memiliki prospek yang menjanjikan. Dengan meningkatkan kualitas sumber daya manusia, memperbaiki infrastruktur dan mengambil peran yang lebih aktif dalam kerangka hukum nasional, MSA berpotensi menjadi lembaga hukum berkualitas yang memenuhi kebutuhan masyarakat Aceh.Melalui analisis mendalam terhadap tantangan dan perspektif yang dihadapi Mahkamah Syar'iyah Aceh dalam sistem hukum nasional, kita dapat lebih memahami dinamika kompleks pemolisian syariah di Indonesia.
Tantangan kewenangan Mahkamah Syar'iyah Aceh (MSA) dalam sistem peradilan nasional Indonesia mencakup beberapa aspek yang kompleks dan memerlukan penanganan yang hati-hati. Berikut adalah beberapa tantangan utama yang dihadapi oleh MSA:
- Salah satu tantangan terbesar bagi MSA adalah menjaga keseimbangan dan harmonisasi antara hukum syariah yang diterapkan di Aceh dengan prinsip-prinsip hukum nasional yang berlaku di Indonesia. Meskipun Aceh memiliki otonomi khusus dalam menerapkan hukum syariah, penting untuk memastikan bahwa keputusan-keputusan hukum yang diambil oleh MSA tetap sesuai dengan konstitusi dan norma-norma hak asasi manusia yang diakui secara universal.
- Dalam menjalankan kewenangannya, MSA harus memastikan bahwa putusan-putusannya tidak melanggar hak asasi manusia yang dijamin dalam Undang-Undang Dasar 1945. Ini termasuk memastikan bahwa hukuman yang dijatuhkan sesuai dengan prinsip-prinsip keadilan, proporsionalitas, dan non diskriminasi.
- Meningkatkan kualitas dan kapasitas sumber daya manusia di MSA menjadi tantangan lain. Hakim, jaksa, dan petugas peradilan lainnya harus memiliki pengetahuan yang memadai tentang hukum syariah dan hukum nasional, serta keterampilan yang diperlukan untuk menegakkan hukum dengan profesionalisme dan keadilan yang tinggi.
- Diperlukan pengawasan yang ketat terhadap proses peradilan di MSA untuk memastikan transparansi, akuntabilitas, dan independensi lembaga tersebut. Keterbukaan informasi dan partisipasi publik dalam proses peradilan juga menjadi kunci untuk membangun kepercayaan masyarakat terhadap sistem peradilan syariah.
- Tantangan lainnya adalah adanya perbedaan pemahaman dan interpretasi terhadap hukum syariah di antara para hakim dan pihak-pihak yang terlibat dalam proses peradilan. Penting untuk memastikan bahwa putusan-putusan yang diambil oleh MSA didasarkan pada pemahaman yang akurat dan konsisten terhadap hukum syariah.
Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar'iyah yang menyangkut seluruh Wewenang Peradilan Agama
UU Pemerintahan Aceh memberi kewenangan untuk membentuk Mahkamah Syar'iyah sebagai badan peradilan yang akan melaksanakan syari'at Islam. Dalam rangka penyelenggaraan otonomi khusus dan keistimewaan di bidang kehidupan beragama (Syariat Islam) Pemerintah Provinsi Aceh telah membentuk beberapa lembaga pendukung seperti Dinas Syari'at Islam, Wilayatul Hisbah dan beberapa lembaga lain terkait dengan pelaksanaan syari'at Islam. Pemerintah Aceh juga mengesahkan beberapa Peraturan Daerah/Qanun terkait dengan pelaksanaan wewenang Mahkamah Syar'iyah. Adapun hukum materil dalam bidang mu'amalah (perdata pada umumnya) yang telah ditetapkan pula menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah, sampai saat ini belum disusun qanunnya. Oleh karena itu kewenangan di bidang tersebut belum dapat dilaksanakan, kecuali beberapa perkara perdata yang sejak dulu telah menjadi kewenangan Pengadilan Agama, seperti masalah wakaf, hibah, wasiat dan sadaqah.
Pelaksanaan Wewenang Mahkamah Syar'iyah yang menyangkut Sebagian Wewenang Peradilan Umum
Sampai saat ini baru ada 5 (lima) qanun hukum materil yang berkaitan dengan kewenangan Mahkamah Syar'iyah di bidang pidana (jinayah), yaitu:
1) Qanun Nomor 11 Tahun 2002 tentang Pelaksanaan Syari'ah Islam bidang' Aqidah, Ibadah dan Syiar Islam. Dalam Qanun ini ada lima macam perbuatan yang dipandang sebagai jarimah (tindak pidana) yakni:
a) Penyebaran paham atau aliran sesat (bidang 'aqidah).
b) Tidak shalat jum'at tiga kali berturut-turut tanpa "uzur syar'i" (bidang ibadah).
c) Menyediakan fasilitas/peluang kepada orang Muslim yang tanpa 'uzur untuk tidak berpuasa (bidang ibadah).
d) Makan dan atau minum di tempat umum pada siang hari Ramadhan (bidang ibadah).
e) Tidak berbusana Islami (bidang syiar Islam).
2) Qanun Nomor 12 Tahun 2003 tentang Larangan Khamar dan sejenisnya.
3) Qanun Nomor 13 Tahun 2003 tentang Larangan Maisir (judi).
4) Qanun Nomor 14 Tahun 2003 tentang Larangan Khalwat (mesum).
5) Qanun Nomor 7 Tahun 2004 tentang Pengelolaan Zakat, juga terdapat beberapa perbuatan yang dikategorikan sebagai jarimah (tindak pidana) yang menjadi kewenangan Mahkamah Syar'iyah mengadilinya. Perbuatan dimaksud adalah sebagai berikut:
a) Tidak membayar zakat setelah jatuh tempo.
b) Membayar zakat tidak menurut yang sebenarnya
c) Memalsukan surat Baitul Mal
d) Melakukan penggelapan zakat atau harta agama lainnya
e) Petugas Baitul Mal yang menyalurkan zakat secara tidak sah.
Bab II Pasal 2 draf Qanun Jinayah mengatur tentang jarimah dan 'uqubat khamar (minuman keras), maisir (judi), khalwat (berdua-duaan pada tempat yang sepi yang bukan mahramnya), ikhtilath (perbuatan bermesraan antara laki-laki dan perempuan yang bukan mahram baik tempat tertutup maupun terbuka), zina, pelecehan seksual, pemerkosaan, qadzaf (menuduh seseorang melakukan zina tanpa dapat membuktikannya dengan menghadirkan 4 orang saksi), liwath (homoseksual), dan musahaqah (lesbian). [1]
Â
Qanun tersebut berlaku untuk setiap orang yang beragama Islam yang berdomisili di Aceh dan bagi nonmuslim yang melakukan jarimah di Aceh bersama-sama orang Islam serta memilih dan menundukkan diri secara sukarela pada hukum jinayah, dan nonmuslim yang melakukan jarimah di Aceh yang tidak diatur dalam KUHP atau ketentuan pidana di luar KUHP tetapi diatur dalam qanun ini (Pasal 4).
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H