Mohon tunggu...
Annisa Camelia Salsabila
Annisa Camelia Salsabila Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswa

Assalamualaikum ! Haiii... semoga semua artikel yang aku upload bisa membantu dan tentunya bermanfaat bagi kita semua yaa !

Selanjutnya

Tutup

Ilmu Sosbud

Teori mengenai Sexual Harassment, Kenyamanan, dan Produktivitas Karyawan di Tempat Kerja

3 Januari 2024   20:20 Diperbarui: 3 Januari 2024   20:51 440
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

SEXUAL HARASSMENT

Komnas Perempuan, dalam Naskah Akademik Undang-Undang Penghapusan Kekerasan Seksual, mendefinisikan kekerasan seksual sebagai setiap perbuatan merendahkan, menghina, menyerang dan/atau tindakan lainnya, terhadap tubuh yang terkait dengan nafsu perkelaminan, hasrat seksual seseorang, dan/atau fungsi reproduksi, secara paksa, bertentangan dengan kehendak seseorang, dan/atau tindakan lain yang menyebabkan seseorang itu tidak mampu memberikan persetujuan dalam keadaan bebas, karena ketimpangan relasi kuasa, relasi gender dan/atau sebab lain, yang berakibat atau dapat berakibat penderitaan atau kesengsaraan terhadap secara fisik, psikis, seksual, kerugian secara ekonomi, sosial, budaya, dan atau politik (Perempuan, 2017).

     Menurut Winarsunu dalam (Ridha , 2020) sexual harassment adalah segala bentuk perilaku yang menggambarkan seksual yang dilakukan oleh sepihak dan tidak diinginkan oleh korbannya, dapat berupa pemaksaan kehendak, ucapan, tulisan dan isyarat-isyarat tindakan yang bekonotoasi seksual, yang dapat mengakibatkan efek trauma, penderitaan psikis dan turunnya rasa percaya diri pada korban.

     Karena banyaknya korban dari sexual harassment ini adalah perempuan, namun tidak menutup kemungkinan bahwa laki-laki juga dapat mengalami sexual harassment  (Dedikasi.ID, 2021). Maka kekerasan terhadap perempuan adalah perbuatan atau tindakan yang berdasarkan perbedaan gender yang mungkin dapat membuat korban terjebak dalam kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, seksual bahkan psikis, termasuk ancaman, pemaksaan hingga perampasan secara sewenang-wenang yang terjadi di ruang lingkup publik seperti tempat kerja atau kehidupan pribadi yang tentunya merugikan korban dan membuat korban merasa tidak nyaman dan aman (Sadli, 2020).

     Sedangkan menurut (Hejase H J, 2015) sexual harassment itu seperti rayuan yang tidak diinginkan, baik secara verbal maupun non verbal seperti permintaan dalam melakukan hal-hal yang berbau seksual, dan mengganggu pekerjaan atau kinerja seseorang yang menyebabkan ketidaknyamanan dan merasa tidak aman di tempat kerja. Karena tempat kerja merupakan salah satu tempat dapat terjadinya sexual harassment (Nurvitasari, 2018).

     Menurut penelitian terdahulu yang dilakukan oleh (Caesaro, 2020) bahwa Workplace sexual harassment is a pervasive problem in many or- ganizations across the United States. Despite more than four decades of empirical research on the topic and numerous legal and policy ad- vances, the problem persist yang dapat diterjemahkan bahwa pelecehan atau kekerasan seksual yang terjadi ditempat kerja merupakan masalah yang terjadi dan menyebar dibanyak organisasi di Amerika Serikat. Meskipun lebih dari empat dekade penelitian empiris dengan topic dan banyak kemajuan hukum dan kebijakan, namun masalah tentang sexual harassment ini tetap ada.

     Indonesia sebagai negara kesatuan dan demokratis dengan dasar hukum dan UUD 1945, serta menjunjung tinggi harkat dan martabat seluruh rakyatnya, Indonesia memiliki aturan yang tertuang dalam UUD 1945 pasal 28 i ayat (2) yang berbunyi “Setiap orang berhak bebas dari perlakuan yang bersifat diskriminatif atas dasar apa pun dan berhak mendapatkan perlindungan terhadap perlakuan yang bersifat diskriminatif itu”. Dengan adanya aturan ini seharusnya seluruh rakyat Indonesia dapat merasa aman dimanapun dan kapanpun, namun dengan adanya tindakan atau perilaku buruk dan menyimpang yang dilakukan oleh orang yang tidak bertanggung jawab menjadikan rasa aman dan nyaman ini hilang (Wulandari, 2021)

  • Indikator Sexual Harassment

Menurut Santrock dalam (Utami, 2016) sexual harassment dapat dibagi menjadi 5 bentuk, yaitu:

  • Pelecehan Fisik

Pelecehan Fisik adalah perilaku atau kegiatan yang mengarah pada tindakan seksual tidak diinginkan, seperti memeluk, mencium, memegang area tubuh tertentu, menempelkan badan, dan sentuhan fisik lainnya.

  • Pelecehan Lisan atau Verbal

Pelecehan lisan atau verbal adalah kata-kata atau kalimat yang keluar dari mulut seseorang yang bersifat merendahkan, mengomentari bentuk tubuh, bahkan lelucon yang bergerak kearah konten seksual yang tentunya perilaku ini tidak diinginkan.

  • Pelecehan Isyarat atau Non Verbal

Pelecehan ini dapat diartikan dengan gerakan-gerakan tubuh atau gesture tubuh seseorang yang menggambarkan nafsu ketika melihat sesuatu atau objek, pelecehan ini dapat berbentuk kedipan mata, tatapan penuh dengan nafsu, bahkan isyarat gerakan yang dilakukan dengan jari atau menggigit dan menjilat bibir. Itu semua salah satu bentuk dari pelecehan secara non verbal, yang tentunya membuat tidak nyaman.

  • Pelecehan Visual

Pelecehan ini dilakukan dengan memperlihatkan konten-konten bermuatan pornografi, seperti foto, video, bahkan gambar kartun yang menggambarkan konten seksual, juga dapat berupa pesan elektronik dan media lainnya.

  • Pelecehan Psikologis atau Emosional

Pelecehan ini dapat berupa permintaan atau ajakan yang dilakukan secara terus menerus dan bersifat memaksa untuk melakukan hal yang berbau seksual.

     Menurut Survei Never Okay Project yang dilakukan pada tanggal 19 November sampai 9 Desember 2018 secara online tentang sexual harassment yang terjadi di tempat kerja dengan menggunakan metode kuantitatif yang menghasilkan data sebanyak 1.240 responden dan 94% mengalami pelecehan seksual di tempat kerja. Sekitar 76% pernah mengalami pelecehan secara lisan, 42% mengalami pelecehan isyarat, 26% mengalami pelecehan visual, 13% lingkungan kerja yang tidak bersahabat, 7% ditawari imbalan untuk melakukan sesuatu, 1% penyerangan seksual dan 2% lainnya.

  • Situasi Sexual Harassment 

Berdasarkan situasinya sexual harassment menurut (Badawy, 2016) dibagi menjadi dua yaitu:

  • Situasi quid pro quo (ini untuk itu), yaitu dimana seseorang yang memiliki posisi berbuka menuntut perhatian seksual sebagai imbalan atau balasan atas tunjangan yang diberikan dan situasi kondisi kerja, dimana seseorang berulang kali menjadi sasaran seksual, atau undangan seksual tanpa adanya tunjangan, keputusan yang berkaitan dengan pekerjaan seperti kontrak, promosi, reward and pusnishment yang didasari dengan sexual favor atau imbalan seksual. Pelecehan ini juga melibatkan tindakan seksusal yang tidak bisa diterima, ajakan melakukan tindakan seksual dan tindakan sacara verbal atau fisik lainnya yang bersifat seksual jika terjadi situasi seperti berikut:
    • Tindakan tersebut dilakukan secara tegas atau implisit dengan syarat atau kondisi hubungan kerja seseorang, atau
    • Penerimaan atau penolakan perilaku tersebut sebagai dasar pengambilan keputusan dalam hubungan kerja yang dapat mempengaruhi seseorang.

Pelecehan seksual quid pro quo dapat menggambarkan bahwa kejadian ini memang adanya terjadi kepada para karyawan di perusahaan. Karena beberapa studi menyimpulkan bahwa perusahaan atau institusi yang tidak memiliki keseimbangan antara jumlah karyawan laki-laki dan perempuan didalamnya memiliki kesempatan yang besar untuk terjadinya sexual harassment ini (Dwiyanti, Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta), 2014).

  • Situasi Hostile Environtment adalah tindakan negatif yang membuat lingkungan kerja yang tidak nyaman, dengan cara yang tidak masuk akal, yang dapat membuat korban merasa dijauhi dari lingkungan pekerjaan, merasa terintimidasi dan merasa tidak nyaman (FISIP, 2018). Menurut (Commision, 2023) bahwa lelucon, ketidaknyamanan dan kejadian yang membuatnya terasingkan (kecuali kejadian yang sangat serius) tidak dianggap ilegal. Secara garis besar karyawan dapat melakukan penuntutan terhadap pelaku diskriminatif
  • Penyebab Terjadinya Sexual Harassment 

Menurut Maria Puspita, Psikolog Associate Psikolog Yayasan Pulih berikut beberapa faktor yang menyebabkan terjadinya sexual harassment ditempat kerja, yaitu:

  • Relasi Kuasa yaitu dimana seseorang menggunakan kewenangan  kekeuasaannya karena jabatan yang lebih tinggi untuk menekan karyawan bawahannya.
  • Ketidaksetaraan gender dimana populasi atau banyaknya jumlah karyawan laki-laki dan perempuan yang tidak seimbang, sehingga dapat terjadinya sexual harassment.
  • Pelaku kejahatan sexual harassment yang tidak mendapatkan punishment atau hukuman konsekuensi dari tindakan kejahatan yang dilakukannya. Dimana perusahaan tersebut yang tidak menganggap serius akan kasus sexual harassment dan tidak memberikan sanksi yang setimpal kepada pelaku, ini yang akan menyebabkan sexual harassment menjadi hal yang biasa dan tidak serius, padahal perilaku ini sangatlah merugikan (Fernanda, 2021)

Gambar berikut adalah bentuk Gunung Es Pelecehan Seksual Cortina, yang menggambarkan bahwa sebagian besar tindakan sexual harassment bersifat merendahkan gender. Menurut (Cortina & Areguin, 2021) sebagai penulis yang mengembangkan metafora gunung es untuk menggambarkan Model Sexual Harassment Tripartite karya Fitzgerald. 

Gunung Es Cortina ini menggambarkan bagaimana pemaksaan seksual dan perhatian seksual yang tidak diinginkan (come-ons) hanya mewakili sebagian kecil sepotong pelecehan seksual yang terjadi di organisasi. Sexual Harassment yang digambarkan bawah batas karena jarangnya kesadaran masyarakat karena jarang menjadi berita utama pada media atau kasus-kasus pengadilan tinggi. Dilihat dari ilustrasi gunung es ini pelecehan gender memberikan dasar tindakan pelecehan yang lebih mengancam secara seksual.

Karena tempat kerja merupakan salah satu tempat yang berpotensi tinggi terjadinya sexual harassment apalagi dengan ketidakseimbangan jumlah karyawan laki-laki dan perempuan. Meskipun begitu setiap karyawan baik laki-laki atau perempuan berhak untuk mendapatkan hak untuk merasa aman dan nyaman saat bekerja. Namun dilansir dari banyaknya survei, penelitian terdahulu banyak korban dari sexual harassment ini adalah perempuan, dan dilihat dari ilustrasi dan penjelasan dari teori Gunung Es Cortina, banyaknya kasus sexual harassment yang tidak diketahui publik karena kurangnya kesadaran dan keberanian korban dalam melaporkan hal tersebut.

Alasan mengapa korban dari sexual harassment ini tidak melaporkan kejadian yang tidak menyenangkan karena korban takut dan malu juga khawatir kehilangan pekerjaanya, karena banyaknya kasus yang tidak dilaporkan kepada pihak berwajib karena laporan mereka yang dipersulit karena kurangnya bukti akan laporan sexual harassment yang mereka alami (Fadillah, 2021). 

Karena menurut (Culliberg & Mihelic, 2016) korban harus bersungguh-sungguh dalam mempertimbangkan niatnya untuk melaporkan si pelaku, karena termasuk dalam perilaku yang melanggar hukum, memikirkan posisi atau jabatan si pelaku, support dari rekan-rekan kerja dan adanya ketakutan akan hilangnya rasa respect dari anggota organisasi atau perusahaan.

Oleh karena itu banyak korban sexual harassment yang mengundurkan niatnya untuk melaporkan si pelaku dan memilih untuk diam, karena adanya rasa ketakutan jika terjadi pelaporan maka keamanan korban dapat terancam, karena takut adanya ancaman balas dendam dari si pelaku (Wainberg & Perreault, 2016). 

Karena menurut riset yang dilakukan oleh (He P, Jiang C, Xu Z, & Shen C, 2021) karyawan baik perempuan maupun laki-laki memiliki rasa ketakutan untuk menyampaikan informasi yang dapat mengakibatkan pemutusan hubungan kerja, diperlakukan secara tidak adil oleh rekan-rekan kerja, dan menyebabkan terintimidasi bahkan dapat menyebabkan terjadinya pelecehan di tempat kerja

Namun tidak jarang, perusahaan memberikan reward untuk karyawan atau korban sexual harassment berbentuk penghargaan atas keberanian untuk mengemukakan kejadian yang tentu saja bisa membuat korban merasa malu, dengan keberanian dalam melaporkan kejadian yang negatif dan salah yang tentunya dapat merugikan karyawan dan juga perusahaan. Selain itu juga biasanya karyawan yang berani dalam melaporkan hal-hal yang tidak sewajarnya dan menyimpang mendapatkan penghargaan finansial, dan adanya budaya organisasi yang bersih (Andon P, Free C, Jidin R, Monroe G.S, & Turner M.J, 2016).

  • KENYAMANAN KERJA 

Menurut (Keliat, Windawarti, Prawirowiyono , & Subu, 2015) kenyamanan adalah suatu keadaan dimana seseorang dapat merasakan kesejahteraan atau nyaman dalam hal mental, fisik dan sosial. Dengan terpernuhimya rasa nyaman dalam diri akan menyebabkan perasaan sejahtera. Karenanya kenyamanan harus diperoleh setiap individu atau karyawan di sebuah perusahaan dan perusahaan wajib untuk memberikan rasa aman dan nyaman terhadap semua karyawannya tanpa terkecuali, karena karyawan adalah asset bagi setiap perusahaan.

Menurut Oborne dalam (Zabdi, 2016) kenyamanan adalah situasi yang sulit untuk dinilai, karena bersifat berbeda. Kenyamanan juga merupakan penilaian respondentif individu, oleh karena itu kenyamanan tidak dapat dinilai secara pasti, dan menurut Potter dan Perry dalam (Zabdi, 2016) rasa nyaman juga merupakan situasi dimana terpenuhinya kebutuhan dasar sebagai manusia, kenyamanan harus dipandang secara holistic.

Kenyamanan kerja dalam penelitian yang dilakukan oleh (Jufrizen, 2017) adalah sikap dan perasaan karyawan yang dilakukannya dalam lingkungan kerja, imbalan yang diterima dan evaluasi akhir dari hasil kerjanya. Sedangkan menurut (Hasibuan, 2016) kenyamanan kerja adalah suatu sikap emosional yang membuat karyawan menyukai pekerjaannya. Kenyamanan kerja dapat tercermin dari semangat kerja karyawan, kedisiplinan dan prestasi kerja karyawan. Tentu saja semua itu dapat diperoleh dan dilakukan karyawan karena adanya rasa nyaman dalam bekerja dan lingkungan kerjanya.

Menurut Pasal 86 ayat (1) dalam Undang-undang Nomor 13 Tahun 2003 berisi “setiap pekerja/buruh mempunyai hak untuk memperoleh perlindungan atas keselamatan dan kesehatan kerja, moral dan kesusilaan, dan perlakuan yang sesuai dengan harkat dan martabat manusia serta nilai-nilai agama”. KUHP tidak mengatur pelecehan seksual secara lengkap, tetapi ketentuan tentang delik moral, khususnya pasal 281 dan 289 KUHP, dapat digunakan untuk melaksanakan pelecehan seksual secara fisik..

  • Aspek Kenyamanan

Menurut (Kolcaba, 2003) aspek kenyamanan terdiri dari 4 poin, yaitu:

  •  Kenyamanan fisik, yaitu berhubungan dengan sensasi dan keadaan yang dirasakan oleh tubuh seseorang.
  • Kenyamanan psikospiritual, yaitu yang behubungan dengan kesadaran internal diri sendiri, yang meliputi harga diri, makna kehidupan, konsep diri dan seksualitas hingga hubungan yang dekat dan lebih tinggi.
  • Kenyamanan lingkungan, yang behubungan dengan lingkungan seseorang hidup, seperti kondisi dan pengaruh dari luar kepada manusia. Bahkan lingkungan bekerja, lingkungan untuk bertetangga dll.
  • Kenyamanan sosiokultural, yaitu hubungan antara personal, kelompok, sosial dan masyarakat, termasuk rekan kerja.

Oleh karena itu perusahaan wajib memberikan dan membangun rasa nyaman untuk semua karyawannya, karena dengan merasa nyaman akan membuat karyawan lebih efektif dan efisien dalam melaksanakan pekerjaannya. Kenyamanan juga dapat membuat pekerjaan setiap karyawan maksimal, dengan adanya rasa nyaman maka karyawan akan merasa senang sehingga memberikan kinerja yang baik bagi perusahaan, dan ini adalah hal yang didapat jika perusahaan memberikan rasa nyaman untuk karyawannya.

Jika lingkungan kerja tidak nyaman, maka akan menghasilkan kinerja yang tidak maksimal. Ketidak nyamanan ini dapat berupa hubungan antara karyawan dengan pimpinan terkait seperti pimpinan yang otoriter dan bersikap tidak adil, perselisihan dan ketidak cocokan antar karyawan, pengaruh gaji yang tidak sesuai dengan beban pekerjaan karyawan, dan lingkungan kerja yang tidak sehat seperti adanya diskriminasi atau pelecehan hingga adanya sexual harassment.

  • Indikator Kenyamanan dalam Bekerja

Menurut Wursanto dalam (Dharmawan, 2011) kenyamanan dalam bekerja pada dasarnya dipengaruhi oleh beberapa indikator, yaitu:

  • Hubungan yang berlangsung dengan serasi dan penuh dengan rasa kekeluargaan dan saling menjaga.
  • Upah atau gaji yang bersifat sensitif dan merupakan faktor yang kompleks dan multidimensi dalam kenyamanan bekerja.
  • Diperlakukan secara layak, manusiawi dan baik. Diberi kesempatan untuk terus berkembang dan berorientasi untuk menjadi lebih baik dengan kemampuan tiap individu.
  • Semua karyawan diperlakukan secara adil dan objektif, tanpa ada rasa KKN atau hubungan kekeluargaan yang menyebabkan adanya perilaku yang di istimewakan.
  • Suvervisi yaitu pengawasan terhadap pekerjaan yang dilakukan.
  • Rekan kerja adalah hal yang berpengaruh untuk kenyamanan bekerja, karena rekan kerja seperti keluarga di tempat kerja. Rekan kerja yang kooperatif dan ramah adalah sumber kenyamanan pada individu atau kelompok kerja. Namun jika bekerja dengan rekan kerja yang tidak selaras apalagi terjadinya diskriminasi bahkan pelecehan atau sexual harassment akan menyebabkan ketidaknyamanan dalam bekerja.
  • Kondisi lingkungan kerja juga berpengaruh pada kinerja karyawan, jika lingkungan kerjanya bersih, nyaman dan tenang akan mempermudah fokus karyawan dalam bekerja. Jika lingkungan kerja yang berisik dan terlalu tertekan akan membuat kinerja karyawan menurun dan membuat tidak nyaman.
  • Kesehatan dan Keselamatan Kerja adalah goals yang harus dimiliki setiap perusahaan, karena adanya zero accident akan mencerminkan perusahaan yang menjaga kesehatan dan keselamatan karyawannya. Oleh karena itu perusahaan menyediakan Alat Pelindung Diri (APD) bagi karyawan yang memiliki pekerjaan berbahaya atau memiliki efek kesehatan jangka panjang.
  • PRODUKTIVITAS KERJA 

Produktivitas kerja yaitu yang timbul dari syarat-syarat yang harus dipenuhi karyawan untuk mencapai hasil yang maksimal dan produktivitas tenaga kerja terletak pada pelaksanaan faktor manusia sebagai pelaku kegiatan kerja (Bukit, 2017) sedangkan menurut (Hasibuan M. , Manajemen Sumber Daya Manusia, 2018) produktivitas adalah perbandingan dari input (masukan) dan output (hasil), jadi jika produktivitas naik dapat meningkatkan keefektifan dan keefisienan kerja karyawan, sistem kerja dan meningkatkan keterampilan karyawan.

Produktivitas juga diartikan sebagai ukuran kinerja yang memperhitungkan sumber daya yang digunakan, termasuk sumber daya manusia (Schermerhorn, 2011), sedangkan produktivitas menurut (Sinungan, 2014) adalah kemampuan seseorang atau sekelompok orang untuk menyediakan barang atau jasa dalam rangka waktu tertentu dan terjadwal. Produktivitas merupakan suatu sikap mental dan keinginan manusia untuk menggunakan sumber daya seefektif mungkin untuk mencapai hasil yang lebih baik, dan pada akhirnya akan dikur dengan masukan-masukan yang digunakan untuk mencapai hasil yang optimal (Handoko, 2019).

Untuk menjamin produktivitas yang tinggi, terdapat tiga aspek utama yaitu kemampuan manajemen kinerja, efesiensi kerja dan lingkungan kerja.  Ketiga aspek ini saling berkaitan dan berkesinambungan yang menyatu dalam suatu sistem dan dapat diukur dengan menggunakan berbagai skala yang relatif sederhana. 

Produktivitas adalah bagian penting dalam pengembangan strategi bisnis yang mencakup seperti biaya produksi, pemasaran dan keuangan. Individu yang memiliki sikap tersebut termotivasi untuk bersikap dinamis, kreatif, inovatif dan berpikiran terbuka, namun dituntut untuk tetap kritis dan peka terhadap ide-ide baru dan perubahan. Hubungan produktivitas dengan tenanga kerja adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan partisipasi tenaga kerja persatuan waktu (Wati, 2020).

  • Faktor-faktor yang Mempengaruhi Produktivitas Kerja 

Produktivitas adalah hal yang penting bagi perusahaan, tentunya dengan produktivitas yang baik pada karyawannya akan menguntungkan perusahaan. Namun banyak sekali faktor yang mempengaruhi faktor produktivitas kerja. Menurut (Lucia, Kawet, & Trang, 2015) produktivitas berkaitan dengan hasil akhir, yaitu seberapa besar hasil akhir yang dicapai dalam proses produksi. Hal ini tidak terlepas dari efesiensi dan efektivitas, berikut beberapa faktor yang dapat menentukan besar dan kecilnya produktivitas sebuah perusahaan, yaitu:

  • Knowlegde atau pengetahuan dan keterampilan sebenarnya menjadi landasan untuk mencapai produktivitas. Konsep ilmu tidak hanya didasarkan pada luas dan sempitnya wawasan seseorang, tetapi juga pada kecerdasan, kemampuan berfikir dan perolehan ilmu. Karyawan yang memiliki pendidikan dan wawasan yang luas diharapkan  mampu untuk berkontribusi memecahkan masalah yang terjadi di perusahaan dan dapat melaksanakan tugasnya secara efekti dan efisien.
  • Skill atau keterampilan pada dasarnya adalah keterampilan operasional teknis yang berhubungan dengan pekerjaan dan penguasaan bidang studi tertentu. Keterampilan didapat dari belajar dan berlatih juga pengalaman yang didapat. Dengan adanya keterampilan yang dimiliki karyawan diharapkan dapat membantu perusahaan dalam menyelesaikan masalah, dan karyawan yang memiliki keterampilan yang baik akan semakin produktif.
  • Abilities atau kemampuan yang dimiliki karyawan. Konsep ini lebih luas karena dapat mencakup berbagai kompetensi. Karyawan yang memiliki pengetahuan dan kemampuan tinggi diharapkan juga memiliki keterampilan tinggi. Dengan kemampuan yang tepat, karyawan dapat melakukan aktivitas tanpa masalah teknis apapun.
  • Attitude atau sikap yang dimiliki karyawan yang merupakan suatu kebiasaan yang terpolakan, jika sesuatu kebiasaan yang terpolakan dapat memberi pengaruh positif terhadap pelaku kerja seseorang, maka hal itu bermanfaat. Jika karyawan memiliki sikap yang baik maka akan menjamin kinerja yang baik, seperti disiplin, dan mempunyai rasa tanggung jawab dalam mengikuti aturan perusahaan dan kesepakatan kerja.
  • Behavior atau kebiasaan yang ditanamkan pada karyawan untuk menunjang efektifitas kerja dan sebaliknya kondisi karyawan yang seperti ini maka produktivitas dapat dipastikan dapat terwujud.
  • Indikator Produktivitas Kerja

Menurut (Sutrisno, 2014) untuk mengukur produktivitas kerja, diperlukan suatu indikator, yaitu:

  • Kemampuan

Kemampuan adalah kecakapan karyawan dalam melakukan sesuatu atau menyelesaikan pekerjaannya. Karena karyawan dapat melaksanakan tugasnya bergantung pada keterampilan dan kemampuannya serta profesionalisme dalam bekerja.

  • Berusaha untuk meningkatkan hasil yang dicapai

 Hasil dapat dirasakan oleh yang membuat bahkan yang menikmati. Oleh karena itu meningkatkan hasil yang dicapai untuk memanfaatkan produktivitas kerja semua karyawan yang bekerja.

  • Semangat kerja

Semangat kerja dapat membuat produktivitas kerja meningkat, dapat dilihat dari etos kerja dan hasil dari kerja yang dibandingkan setiap harinya, agar terlihat perbandingan hasil kerjanya.

  • Pengembangan diri

Pengembangan diri dapat lakukan dengan mempertimbangkan tantangan dan harapan yang ingin dicapai kedepannya. Karena semakin kuat tantangan yang dihadapi maka menghasilkan pengalaman yang lebih baik. Karena masalah tidak dapat dihindarkan, dan dari masalah akan terlahir karyawan yang bermental kuat dan dapat menambah value untuk pengembangkan dirinya.

  • Mutu atau Kualitas

Kualitas merupakan hasil kerja yang dapat mencerminkan nilai dari kerja karyawan, oleh karena itu peningkatan kualitas bertujuan untuk mencapai hasil yang terbaik, yang pada akhirnya akan memberikan manfaat yang besar bagi perusahaan dan karyawan itu sendiri.

  • Efesiensi

Efesiensi adalah perbandingan antara hasil yang dicapai dengan total sumber daya yang digunakan. Input dan output merupakan aspek produktivitas yang mempunyai dampak signifikan terhadap karyawan.

DAFTAR PUSTAKA

Andon P, Free C, Jidin R, Monroe G.S, & Turner M.J. (2016). The impact of financial incentives and perception of seriousness on whistleblowing intention. Journal of Business Ethics, 165-178.

Badawy. (2016). An Examination of Sexual Harassment, Job Stress and Turnover Intention: Evidence from Egypt. Journal of Business and Management, 11-26.

Bukit, B. (2017). Pengembangan Sumber Daya Manusia. Yogyakarta: Zahir Publishing.

Caesaro, B. (2020). Attitudes about victims of workplace sexual harassment based on sex. Current Research in Behavioral Sciences.

Commision, E. E. (2023, September 29). U.S Equal Employement Opportunity Commission. Retrieved from Harassment: https://www.eeoc.gov/harassment

Cortina, L. M., & Areguin, M. A. (2021). Putting People Down and Pushing Them Out: Sexual Harassment in the Workplace. Annual Review of Organizational Psychology and Organizational Behavior, 285-309.

Culliberg , B., & Mihelic, K. (2016). The evolution of whistleblowing studies: a critical review and research agenda. Journal of Business Ethics, 787-803.

Dedikasi.ID. (2021, Mei 30). Perempuan dan Pelecehan Seksual; Soal Keberpihakan yang Timpang. Retrieved from Dedikasi: https://dedikasi.id/views/opini/perempuan-dan-pelecehan-seksual-soal-keberpihakan-yang-timpang/

Dharmawan, I. Y. (2011). Pengaruh Kompensasi Dan Lingkungan Kerja Non Fisik Terhadap Disiplin Dan Kinerja Karyawan Hotel Nikki Denpasar. Tesis : program Magister Universitas Udayana Denpasar.

Dwiyanti, F. (2014). Pelecehan Seksual Pada Perempuan Di Tempat Kerja (Studi Kasus Kantor Satpol PP Provinsi DKI Jakarta). Jurnal Kriminologi Indonesia, 29-36.

Fadillah, A. N. (2021). Catcalling Sebagai Perilaku Pelecehan Seksual Secara Verbal Ditinjau Dari Perspektif Hukum Pidana. Jurnal Belo, 150.

Fernanda, E. (2021, July 29). Menurut Psikolog, Ini Bentuk dan Penyebab Terjadinya Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Retrieved from para puan: https://www.parapuan.co/read/532811773/menurut-psikolog-ini-bentuk-dan-penyebab-terjadinya-pelecehan-seksual-di-tempat-kerja?page=all

FISIP. (2018, October 11). Menyoal Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Retrieved from UIupdate: https://uiupdate.ui.ac.id/article/menyoal-pelecehan-seksual-di-tempat-kerja

Handoko, J. (2019). Pengaruh Faktor Internal dan Eksternal Pegawai terhadap Produktivitas Kerja(studi kasus pada pegawai bagian produksi PT. Anugerah Mulia Indobel “Coklat Monggo” Yogyakarta). Jurnal Nasional Manajemen Pemasaran, 45-50.

Hasibuan. (2016). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

Hasibuan, M. (2018). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Bumi Aksara.

He P, Jiang C, Xu Z, & Shen C. (2021). Knowledge hiding : current research and future research direction. Front Psychological, 237.

Hejase H J. (2015). Sexual Harassment in the Workplace: An Exploratory Study from Lebanon. Journal of Management Research, 107.

Jufrizen. (2017). Efek Mediasi Kepuasan Kerja Pada Pengaruh Kompensasi Terhadap Kinerja Karyawan. Jurnal Ilmiah Manajemen Dan Bisnis, 2580-4170.

Keliat, B., Windawarti, D., Prawirowiyono , A., & Subu, A. (2015). Nanda International Diagnosis Keperawatan Definisi dan Klasifikasi 2015-2017. Jakarta: EGC.

Kolcaba, K. (2003). Comfort theory and practice: a vision for holistic health care and research. New York: Springer.

Lucia, R. H., Kawet, L., & Trang, I. (2015). Pengaruh Konflik dan Stres Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Dimediasi Oleh Kepuasan Kerja Karyawan Universitas Katolik De La Salle Manado . Jurnal EMBA, 719-728.

Nurvitasari, A. (2018, December 14). Survei ‘Never Okay’: 81% Responden Alami Pelecehan Seksual di Tempat Kerja. Retrieved from MAGDALENE: https://magdalene.co/story/survei-never-okay-81-responden-alami-pelecehan-seksual-di-tempat-kerja/

Perempuan, K. (2017, Februari 10). Naskah Akademik Rancangan Undang-Undang tentang Penghapusan Kekerasan Seksual. Retrieved from https://www.dpr.go.id/doksileg/proses1/RJ1-20170307-091105-5895.pdf

Ridha , I. (2020). Perlindungan Hukum Terhadap Perempuan Pekerja Shift Malam Dalam Konteks Sexual Harassment di Kota Pekanbaru. Respublica, 51-65.

Sadli, S. (2020). Hak Asasi Perempuan adalah Hak Asasi Manusia dalam Pemahaman Bentuk- bentuk Tindak Kekerasan Terhadap Perempuan dan Alternatif Pemecahannya KK Convention Watch, Pusat Kajian Wanita dan Jender. Jakarta: Universitas Indonesia.

Schermerhorn, J. (2011). Management. United State America: John Wilye and Sons.

Sinungan. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia dan Produktivitas Kerja. Jakarta: Bumi Aksara.

Sutrisno, E. (2014). Manajemen Sumber Daya Manusia. Jakarta: Kencana Prenada Media Group.

Utami, S. W. (2016). Hubungan Antara Kontrol Diri dengan Pelecehan Seksual pada Remaja di Unit Kegiatan Mahasiswa Olahraga Universitas Muhammadiyah Purwekerto. Repository Universitas Muhammadiyah Purwekrto.

Wainberg, J., & Perreault, S. (2016). Whistleblowing in audit firms: do explicit protection from retaliation activate implicit threats of reprisal? Behavioral Research of Accounting, 83-93.

Wati, L. S. (2020). Pengaruh Kenyamanan Kerja Terhadap Produktivitas Kerja Karyawan di PT. Penjuru Wisata Negeri Tour and Travel Pekanbaru. Riau: Fakultas Dakwah dan Komunikasi Universitas Islam Negeri Sultan Syarif Kasim Riau.

Wulandari, T. (2021, September 13). Makna Pasal 28 dalam UUD 1945 untuk Hak Asasi Manusia. Retrieved from detikedu: https://www.detik.com/edu/detikpedia/d-5721614/makna-pasal-28-dalam-uud-1945-untuk-hak-asasi-manusia

Zabdi, A. (2016). Kajian Kenyamanan Fisik pada Terminal Penumpang Stasiun Besar Yogyakarta. e-journal Universitas Atma Jaya Yogyakarta, 30-64

Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
  7. 7
Mohon tunggu...

Lihat Konten Ilmu Sosbud Selengkapnya
Lihat Ilmu Sosbud Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun