Sore di luar begitu kelabu hingga membuat angin terlalu bersemangat untuk berhembus kencang, menyapa pepohonan dengan kasar. Mujurnya, pepohonan masih dapat berdiri dengan tegapnya. Jika tidak, angin bukan hanya dapat mematahkan tubuh sang pohon, tetapi juga jiwanya. Selazimnya kemudian hujan turun membasahi atap rumah penduduk dan membuat irama yang berbeda pada setiap kedatangannya. Tetapi nyatanya tidak, hujan ternyata lebih tahu perasaan para manusia yang kurang berkenan akan kehadirannya. Sejatinya manusia-manusia tersebut menolak berkah dari Tuhan melalui sang hujan.
Secangkir teh panas dengan setia menghangatkan pikiranku. Dan juga hatiku. Memandangi langit sore bersituasi seperti ini membuatku meraskaan de javu. Tak ada yang dapat kulakukan kecuali terpikirkan kisah kasih monyetku. Ya, terlintas begitu saja bagaimana aku jatuh hati pada seorang lelaki yang tidak amat kusukai. Awalnya tak pernah perasaanku berubah menjadi luar biasa terhadapnya, bahkan aku telah mengenalnya selama lebih dari tiga tahun. Lebih parah lagi, sebenarnya dia hampir menjadi seorang kekasih sahabatku, dulunya. Rasa penasaran untuk mengenang masa lalu yang datang secara tiba-tiba ini mengarahkanku untuk beranjak dari kursi malas dan membuatku melangkahkan kaki menuju kamar tidurku. Kemudian kuambil kotak usang berdebu di bawah kasurku. Kotak curahan hati ajaib, begitu aku yang remaja menamainya. Sempat sekilas kumenengok seonggok kasur yang empuk. Biasanya ketika aku melihat kasur yang menggoda ini, takkan sanggup kumenolak ajakannya untuk sejenak melupakan hidup, menerbangkan segala masalah ke langit-langit kamarku. Namun kali ini tidak.
26 Mei 2010
Dear, Diary.
Hari ini, hari yang melelahkan
Tak pernah tak menyakitkan
Di bawah atap ruang menimba ilmu tak berbeda
Bersama manusia yang kupuja
Namun apa daya, tak mampu kumenggapainya.
Akankah perasaan ini kan terus berpendar?
Atau justru hanya menjadi selasar?
Sampai kapan ku harus mengekangnya?
Memangkah ini harus kusimpan.
Oh Tuhan, aku terlena
Maafkan sang pungguk, yang membuang asa
Lembar kertas yang berada di paling atas ini berhasil membuatku tersenyum. Sebuah catatan yang menggambarkan betapa aku merasa lelah karena menjadi teman sekelas lelaki tersebut. Mencintai, namun tak bisa memiliki. Seingatku, lelaki itulah yang pertama kali memancarkan radarnya kepadaku saat itu. Namun mengapa aku yang harus menderita seperti itu? Mungkin itulah tonggak ketika aku mulai memikirkan hatiku untuk menang, tak selalu mengalah pada rasa milik sahabatku.
10 Juni 2010Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â Â
Dear Diary.
Selamat berulang tahun
Untuk ia yang telah mendetingkan tuts hatiku
Untuk ia yang bernyanyi dalam sendiriku
Untuk ia yang ada mewarnai jiwaku
Bagaimana nadanya berlagu?
Masihkah ragu membuatnya terpaku?
Masihkah diam menahannya malu?
Masihkah ego memenangkan relung?
Kuharap tidak begitu, Kawanku
Bagaikan musik klasik yang mengalir lembut
Kuyakin kau kan kepadaku
Cinta ini tak sekadar harapku. Kalimat tersebutlah yang begitu rapi tersusun di otakku kala itu. Kutahu kuhanya perlu menunggu, walau kan terdapat hati yang terlukai. Oh maafkan aku, Sahabatku.
13 November 2014
Dear Diary,
Hatiku berbunga,
Malaikat t’lah memainkan panahnya
Pun burung-burung berdansa dengan lincah
Walau bunga sempat layu tak kembang
Namun Hatiku berbunga, dan juga berduka.
Sedih mukanya tak karuan
Air matanya jatuh tak tertahankan
Akan ucap yang dinodanya
Lembar curahan hati kali ini kupilih dengan sengaja. Lembar usang tersebut bercerita bahwa sebulan sudah kumenjadi pasangan lelaki yang kupuja tersebut. Rasa bahagia selalu menjalar di seluruh organ tubuhku setiap kali kumelihatnya. Namun setiap rasa bahagia itu muncul, rasa bersalah selalu dapat mengalahkannya dengan arogan. Hubunganku dengan sahabatku bagaikan kaca yang pecah dan tak mungkin disatukan lagi. Lalu bagaimana akhir hubunganku dengan lelaki tersebut? Kandas di tengah jalan dengan umur yang masih sejagung. Mungkin itu adalah akibat yang harus kutanggung karena telah bermain-main dengan cinta.
Angin masih berhembus kencang dari jendela kamar yang terbuka, membelai rambutku yang kugerai begitu saja. Sejuk, sekaligus menyakitkan. Lembut, namun menusuk. Hujanpun rupanya benar-benar enggan ‘tuk turun. Sejurus kemudian kutersadar bahwa pintu depan masih kubiarkan terbuka. Entah berapa banyak masalah yang telah menerobos masuk. Dengan setengah berlari, kukembali menuju pintu depan. Empat, tujuh, sepuluh langkah... dan kuberhenti. Tak sanggup kumelanjutkan hitungan langkahku. Bukan karena melupakan angka terakhir hitungan langkahku, bukan. Bukan karena seseorang yang datang membawa celurit kemudian dengan cepat menggorok leherku, namun karena kedatangan seseorang bagai jelmaan malaikat yang tengah duduk manis dan sedang memandangi foto lamaku yang sengaja kupasang di meja sebelah sofa di ruang tamu. Ia menggenggam sesuatu. Ya, seseorang tersebut adalah dia. Dia adalah lelaki yang dulunya kupuja, dan lebih kupilih daripada sahabatku. Namun dia jugalah yang pergi meninggalkanku.
Beberapa detik kemudian, dia meyadari kehadiranku dan segera berdiri menyambut kedatanganku. Dia menyebut namaku dengan jelas sambil tersenyum simpul. Sedangkan aku hanya dapat berdiri bagai batu. Dia kembali menyebut namaku. Kali ini, dia medekat dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Namun aku masih tetap terdiam dengan kakunya. Entah apa yang terjadi kemudian. Yang kutahu dia tidak sedang sendirian, namun dengan seorang perempuan di sebelah kirinya. Dia datang dengan seorang perempuan yang dulunya sahabatku, dengan menggenggam tangannya dengan erat.