Malaikat t’lah memainkan panahnya
Pun burung-burung berdansa dengan lincah
Walau bunga sempat layu tak kembang
Namun Hatiku berbunga, dan juga berduka.
Sedih mukanya tak karuan
Air matanya jatuh tak tertahankan
Akan ucap yang dinodanya
Lembar curahan hati kali ini kupilih dengan sengaja. Lembar usang tersebut bercerita bahwa sebulan sudah kumenjadi pasangan lelaki yang kupuja tersebut. Rasa bahagia selalu menjalar di seluruh organ tubuhku setiap kali kumelihatnya. Namun setiap rasa bahagia itu muncul, rasa bersalah selalu dapat mengalahkannya dengan arogan. Hubunganku dengan sahabatku bagaikan kaca yang pecah dan tak mungkin disatukan lagi. Lalu bagaimana akhir hubunganku dengan lelaki tersebut? Kandas di tengah jalan dengan umur yang masih sejagung. Mungkin itu adalah akibat yang harus kutanggung karena telah bermain-main dengan cinta.
Angin masih berhembus kencang dari jendela kamar yang terbuka, membelai rambutku yang kugerai begitu saja. Sejuk, sekaligus menyakitkan. Lembut, namun menusuk. Hujanpun rupanya benar-benar enggan ‘tuk turun. Sejurus kemudian kutersadar bahwa pintu depan masih kubiarkan terbuka. Entah berapa banyak masalah yang telah menerobos masuk. Dengan setengah berlari, kukembali menuju pintu depan. Empat, tujuh, sepuluh langkah... dan kuberhenti. Tak sanggup kumelanjutkan hitungan langkahku. Bukan karena melupakan angka terakhir hitungan langkahku, bukan. Bukan karena seseorang yang datang membawa celurit kemudian dengan cepat menggorok leherku, namun karena kedatangan seseorang bagai jelmaan malaikat yang tengah duduk manis dan sedang memandangi foto lamaku yang sengaja kupasang di meja sebelah sofa di ruang tamu. Ia menggenggam sesuatu. Ya, seseorang tersebut adalah dia. Dia adalah lelaki yang dulunya kupuja, dan lebih kupilih daripada sahabatku. Namun dia jugalah yang pergi meninggalkanku.
Beberapa detik kemudian, dia meyadari kehadiranku dan segera berdiri menyambut kedatanganku. Dia menyebut namaku dengan jelas sambil tersenyum simpul. Sedangkan aku hanya dapat berdiri bagai batu. Dia kembali menyebut namaku. Kali ini, dia medekat dan mengulurkan tangannya untuk bersalaman denganku. Namun aku masih tetap terdiam dengan kakunya. Entah apa yang terjadi kemudian. Yang kutahu dia tidak sedang sendirian, namun dengan seorang perempuan di sebelah kirinya. Dia datang dengan seorang perempuan yang dulunya sahabatku, dengan menggenggam tangannya dengan erat.