Cahaya untuk menerima ajakan untuk menikah. Laksana tembok raksasa China yang menjulang tinggi sebagai pembatas keteguhan hati. Mungkin, banyak orang akan berpikir dua kali dihadapkan pada situasi seperti ini. Namun, bagi Cahaya jawaban apa yang bisa diberikan seorang gadis berumur 18 tahun yang baru akan lulus Madrasah Aliyah dan punya harapan tinggi untuk me-lanjutkan kuliah.
Meski diperlakukan layaknya prameswari, namun sepertinya tak dapat meruntuhkan hatiSaat ada seorang pria yang nyata-nyata me-ngajaknya berumahtangga. Apalagi lelaki yang mengajaknya berumah tangga baru saja dikenalnya. Tak lain hanya bisa menolaknya dengan halus karena masih banyak asa yang ingin diraihnya. Begitu pun Cahaya. Cahaya Insani, gadis lugu dari desa yang bertemu dengan lelaki mapan dan kaya. Namun, karena waktu yang belum saatnya, akhirnya ia pun mengabaikannya. Bukan karena sombong dan tak ingin bahagia, lebih dari itu, menurutnya semua sudah ada saatnya. Laksana lapar dan dahaga yang mampu dirasa jika sudah saatnya, maka ia pun yakin bahwa dunianya masih perlu banyak Rona.
        Setelah pertemuan pertama dan terakhir itu, Cahaya kembali melanjutkan kehidupannya. Kisahnya dengan teman prianya Ary dan Heru yang tiada kelanjutannya seperti tak dipermasalahkannya. Hubungannya dengan Ary, teman sekelasnya, Kelulusan dari Madrasah Aliyah-nya seakan menjadi pemutus hubungan. Teman dekat, sahabat, penyemangat, itulah nama hubungan yang ia berikan kepada teman sekelas dan teman barunya. Ia tak ingin seperti beberapa temannya, frustasi dan hilang arah, tak  mementingkan masa depannya karena lebih fokus dengan pacaran saja.
        Laksana mantra yang tak mempan akan ke-saktiannya, tidak ada sedikit penyesalan pun rasa ketika menolak keseriusan Heru. Lelaki tampan dan mapan dari kota besar yang baru dikenal. Meski begitu, nampaknya pesan terakhirnya, seakan membekas di hati. "Kuliahlah di kota seperti yang kau ingin. Tapi kalau bisa, ambillah kampus agama," pesan itulah yang selalu terngiang-ngiang dalam benak Cahaya. Cahaya yang saat itu berniat ikut UMPTN pun akhirnya memutuskan niatnya. Ia mengambil kuliah di Kampus agama Islam di Surabaya. Kampus agama seperti yang diinginkan oleh pria yang baru dikenalnya.
        Beberapa minggu setelah mendaftar kuliah, rasa bahagia menyeringai di pipi Cahaya saat melihat namanya merupakan salah satu dari ratusan mahasiswa yang diterima di kampus agama terbesar di Surabaya itu. Bagi Cahaya, seorang gadis desa yang lugu, kini pulang pergi ke kota sudahlah biasa. Bahkan di awal kuliah, seminggu sekali ia bisa pulang pergi Surabaya-Jombang dengan kereta. Transportasi yang cepat dan murah harganya. Meski sering kali tak kebagian tempat duduk, duduk di depan toliet, bahkan di depan pintu yang sangat ia suka.
Ia pun sudah menemukan tempat kos yang tidak terlalu jauh dari kampus. Saking senangnya bisa kuliah, Cahaya yang sering kali sakit saat menuai masalah, kini sembuh untuk selamanya. Sakitnya seakan hilang entah ke mana. Mungkin, kini tak lagi menyaksikan orang tuanya yang selalu bertengkar. Dan mungkin, kini hidupnya jauh lebih bebas dan luas dengan teman-teman yang berasal dari seluruh penjuru Indonesia bahkan negara tetangga, Malaysia.Â
        Saat kuliah, ia pun menemukan teman-teman yang begitu baik dan seakan sudah kenal lama. Begitu dekat dan akrab tanpa memandang dari mana asalnya. Tak lupa, ia bersyukur kepada Allah atas kemudahan yang didapatkan saat kuliah.Â
Betapa tidak, uang kuliah tidak hanya diperoleh dari ibunya. Yasif, kakak laki-laki yang sedari awal mendukungnya untuk kuliah juga memberikan suplai dana yang tidak sedikit jumlahnya. Apalagi, Yasif bekerja di kapal barang jurusan Surabaya-Makasar itu mempunyai gaji yang lumayan. Ditambah lagi dengan pemasukan tambahan dari berdagang barang-barang yang dibeli dari Surabaya untuk dijual ke Makasar dan begitu pun sebaliknya, membeli barang-barang dari Makasar untuk dijual di Surabaya.
        Suatu hari, saat kapal dari Makasar ke Surabaya sandar di pelabuhan tanjung perak untuk membongkar muatan, Yasif langsung menghubungi Cahaya, adiknya.
"Mbak Cahaya, telepon dari masnya," suara ibu kos terdengar keras memanggil Cahaya dari sebelah kosnya.
Dua rumah yang berdempet itu adalah rumah ibu kos dan rumah kos yang ditempatinya. Awalnya, telepon hanya ada di rumah ibu kost saja. Namun karena tidak ingin selalu merepotkan ibu kost saat ada telepon untuk anak-anak kosnya, akhirnya sambungan teleponnya dibuat paralel dan hanya bisa digunakan untuk menerima telepon saja.
        Cahaya bergegas dan mengangkat gagang telepon yang sedari tadi ditaruh di atas meja oleh ibu kos. Dari ujung telepon, terdengar suara pria yang tak lain adalah kakaknya. "Dik, ini aku sudah di Surabaya, kamu siapkan syarat-syaratnya ya. Nanti kita buka tabungan di bank dekat kampusmu," ungkap Yasif.
        "Iya Mas," jawab Cahaya singkat.
        Sejak saat itu, jumlah uang yang ada di tabungan Cahaya semakin bertambah. Jumlahnya hingga mencapai 60 juta. Kakaknya pun memberikan kebebasan kepada Cahaya untuk menggunakan sebagaimana mestinya. Namun demikian, Cahaya yang sangat paham dengan posisinya, hanya menggunakan uang seperlunya saja. Bahkan bisa dibilang terlalu hemat. Mungkin karena itulah, kakaknya memberikan kepercayaan kepada Cahaya untuk membawa tabungannya. Sekali lagi Cahaya bersyukur, betapa Allah sudah mengabulkan do'anya.
        "Terima kasih atas kemudahan yang telah Kau berikan ya Allah," puji Cahaya dalam setiap do'a-do'anya.
        "Tweety!" teriak Noura, gadis cantik dan modis kepada Cahaya yang sedari tadi duduk-duduk di depan kampus menunggu jadwal kuliah yang diawali pada jam kedua.       "Sweety, Sayang," jawab Cahaya sambil cium pipi kanan dan cium pipi kiri yang saat itu tenar disingkat cipika-cipiki.
        "Adik kecil belum datang?" tanya Noura kepada Cahaya.
        "Belum kelihatan dari tadi. Mungkin berangkat dari rumah, biasanya kalau hari Senin berangkat dari rumah," tambah Cahaya.
        Adik kecil adalah sebutan untuk teman kami yang bernama Rida. Cewek imut yang aktif di kegiatan pramuka dan Palang Merah Indonesia ini adalah teman Cahaya dan Noura. Hampir di setiap kesempatan, mereka selalu bertiga. Saking seringnya ke mana-mana bertiga, teman-teman kuliah mereka bahkan ada yang menyebut mereka tiga serangkai.
        Begitulah hari-hari yang mereka lalui selama kuliah, Cahaya yang lebih suka ikut kursus komputer dan bahasa Inggris di luar jam kuliah, Noura yang suka jalan-jalan, belanja dan pacaran. Rida seorang aktivis Palang Merah dan pramuka. Meski berbeda minat, tapi ketika jam perkuliahan, mereka seakan sudah menjadi soulmate yang tak ter-pisahkan. Duduk pun selalu bertiga.
        Siang itu, hari Selasa. Jam kuliah hanya ada di jam pertama dan kedua. Yakni jam delapan hingga jam dua belas siang. Segera setelah jam kuliah habis, Cahaya dan teman-temannya keluar dari ruang kuliah. Noura dan Rida langsung pulang. Sementara Rida yang berencana pergi ke perpustaan untuk mencari buku referensi tugas kuliah kelompoknya segera menuju perpustakaan untuk salat Zuhur dan selanjutnya mencari buku yang diperlukannya.
        "Mau ke mana Aya, ke perpus ya? Ayo bareng," kata Wirya, teman sekelas Cahaya yang memang cukup dekat dengannya.
        "Iya, nyari buku untuk tugas makalah yang presentasi minggu depan. Kelompokku sudah bilang, terima beres saja. Jadi aku yang mengerjakan semua," jawab Cahaya.
Mereka segera menuju perpustakaan hingga sore hari.
Cahaya memang sering mengerjakan tugas kelompoknya sendiri jika teman-temannya ingin terima beres. Memang tidak semua kelompok dalam kelasnya sama. Hanya beberapa dari temannya yang terlalu banyak kegiatan saja. Ia sendiri yang mengerjakan, mengetik, print dan membagikan copy makalah untuk dipelajari anggota kelompok. Namun teman-temannya mau mengganti dengan uang berapa pun yang diminta Cahaya.
        "Meski repot harus mencari, mengetik di warnet, print dan copy sendiri, tapi aku bisa untung. Dari pada tidak ada kegiatan di kos," gumamnya dalam hati.
        Apalagi, ketika mengetik tugasnya, Cahaya tidak sendiri. Ada Wirya, teman sekelas yang selalu dengan senang hati membantunya. Wirya yang mengetik dan Cahaya yang mendikte. Begitu seterusnya. Saking dekatnya, sampai-sampai teman-temannya mengira Cahaya dan Wirya menjalin hubungan. Wirya memang sering menelepon Cahaya. Jika ia mendadak tidak masuk kuliah.
        "Aya, tolong buatkan surat ya, aku tidak masuk kuliah," pinta Wirya kepada Cahaya.
"Oke," jawab Cahaya yang hafal dengan kebiasaan teman dekatnya itu.
        Suatu malam, sehabis Magrib, Wirya main ke kos Cahaya. Mereka duduk di teras depan yang ditutupi tirai kerai dari bambu. Mereka mengobrol ke sana kemari membahas berbagai hal.
        "Aku mau beli beberapa komputer untuk rental, kamu bisa ngetik di tempatku nanti," katanya kepada Cahaya.
        "Sip, penting gratis," jawab Cahaya sambil tertawa.
        Di tengah-tengah obrolan mereka berdua, tiba-tiba terdengar suara teriakan dari dalam kos.
        "Aya, telepon dari kakakmu!" teriak Diana, kakak kos Cahaya.
        "Sebentar ya, aku terima telepon dulu," pamit Cahaya kepada Wirya.
        "Dik, aku habis ini mau main ke kosmu, ini ada sisa jatah gula, susu dan roti, sabun dan sampo dari kapal yang masih sisa," kata Yasif, kakak Cahaya dari ujung telepon.         "Iya Mas, tak tunggu," jawab Cahaya kegirangan karena mau dikunjungi kakaknya. Memang, Yasif adalah tipe seorang kakak yang sangat menyayangi keluarganya. Di usianya yang sudah 30 tahun lebih, ia belum ingin menikah karena masih nunggu adiknya lulus kuliah. Hampir tiap bulan sekali, selalu membawa sisa jatah sembako yang diperoleh dari kapal untuk diberikan kepada adik perempuannya itu.
        "Siapa Ya yang telepon?" tanya Wirya kepada Cahaya yang baru keluar dari dalam kosnya setelah menerima telepon.
        "Kakakku mau ke sini," jawab Cahaya.
        "Kakakmu yang kerja di kapal itu?" tanya Wirya lagi.
        "Iya," jawab Cahaya.
        Wirya dan Cahaya memang sering bercerita tentang keluarganya masing-masing. Mereka semakin akrab karena sama-sama berasal dari desa. Apalagi, sepupunya juga bekerja di kapal, sama seperti kakak Cahaya.
        "Aku pulang dulu ya," pamit Wirya kepada Cahaya.
        "Gak apa-apa, tak kenalkan sama kakakku," goda Cahaya kepada Wirya yang sepertinya menghindar dan takut bertemu dengan kakak Cahaya. Wirya langsung berdiri dan pamit. Beberapa menit kemudian, tampak Yasif dari arah barat sambil membawa bungkusan plastik besar. Cahaya yang mengetahui tampak tersenyum lebar.
***
        Hari-hari dilalui Cahaya dengan begitu cepatnya. Saat ini ia sudah memasuki semester enam dan bahkan sudah usai mengikuti KKN.
        Dan seperti biasa, setelah KKN, para mahasiswa sibuk mencari tempat magang yang sesuai dengan jurusannya. Cahaya yang mengambil jurusan Ilmu Komunikasi dengan minat studi Broadcasting memutuskan untuk magang di sebuah radio swasta terbesar di Jawa Timur yang ada di Gresik beserta dua temannya yang lain, yakni Wirya dan Rida. Sementara Noura mengambil magang di salah satu instansi pemerintah yang berada di Surabaya Selatan      Â
        "Sebenarnya aku kemarin ingin kita bertiga magang di salah satu televisi swasta di Surabaya Barat, tapi antrenya lama," kata Rida dengan agak menyesal kepada Cahaya dan Wirya.
        Meski satu tempat magang, Cahaya, Wirya dan Rida berangkat dari tempat yang berbeda. Cahaya berangkat dari kosnya, sementara Wirya dan Rida berangkat dari rumahnya, Gresik. Dua bulan magang dilalui tanpa terasa. Cahaya dan Wirya, yang dulu teman dekat sekarang tampak canggung. Entah apa sebabnya. Mungkin karena banyak teman yang menganggap mereka mempunyai hubungan, sedangkan sebenarnya, mereka hanya teman saja.
        Suatu hari, seminggu sebelum masa magang habis. Kepala program radio tempat Cahaya magang meminta laporan akhir magang disertai contoh program acara yang dibuat oleh masing-masing peserta magang dalam bentuk laporan file rekaman suara. Cahaya yang tidak punya alat untuk merekam suara akhirnya meminta Wirya untuk menemani membeli recorder di salah satu mall besar di Surabaya utara. Setelah selesai magang, sore itu Wirya pun mengiyakan. Di dalam angkutan, mereka tak banyak berbincang seperti biasanya. Hanya saling diam tanpa berbicara apa-apa.Â
        Setelah mendapatkan apa yang diperoleh, akhirnya Cahaya berterimakasih kepada Wirya karena telah menemaninya membeli recorder yang dibutuhkannya.
        "Kamu pulang ke kos atau ke rumah?" tanya Cahaya kepada Wirya.
        "Ke Gresik," jawab Wirya.
"Terima kasih sudah diantar," ucap Cahaya.
        "Iya, gak apa-apa. Sama-sama," ucap Wirya.
Akhirnya mereka pun berpisah karena tujuannya berbeda.
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H