Di sebuah desa yang dekat dengan pantai, Desa Makmur namanya, sesuai dengan namanya kehidupan warga disana sangat makmur, tetapi ada beberapa  rumah yang dimana isinya tidak sesuai dengan nama desa dan salah satunya adalah rumah milik keluarga Pak Bahari, anggota keluarga mereka berjumlah sembilan orang yang terdiri atas Pak Bahari, Bu Indah, Halin, Upan, Gema, Basgara, Isky, Damari, dan Surya. Di Desa Makmur ini kebanyakan kepala keluarganya menganut paham "banyak anak banyak rejeki" dan Pak Bahari salah satunya. Akan tetapi, tidak seperti keluarga lain, Pak Bahari yang terkenal sebagai pemabuk dan tukang judi itu tidak mau menafkahi istri dan ketujuh anaknya, oleh karena itulah Bu Indah berjualan kue kering ke pasar untuk bertahan hidup dengan hasil yang tak seberapa dan berhenti sampai Halin, anak sulung mereka berumur 15 tahun dan Halin benar-benar menanggung beban yang berat dimana ia harus bersekolah menengah atas sembari berjualan.
Halin harus menghilangkan rasa gengsinya demi membantu ibu dan keenam adiknya bertahan hidup, serta agar adik-adiknya bisa terus bersekolah. Setiap harinya, Halin bangun sekitar pukul empat pagi untuk membuat kue kering yang telah ibunya ajarkan, lalu, pergi ke sekolah sembari membawa dua toples kue kering untuk dititipkan di kantin dan ia juga harus melawan para pembully di kelasnya yang kadang membullynya secara fisik karena menurut para pembullynya, Halin adalah anak yang paling terlihat kucel, menyedihkan, serta paling miskin dan bahkan tidak hanya murid, beberapa gurunya pun kadang menyindirnya ketika Halin menunggak SPP.
Pulang sekolah, Halin mengambil uang hasil penjualan kue kering yang tidak seberapa dan cukup untuk makan dan menabung di hari itu. Namun, uang tersebut kadang diambil oleh ayahnya yang sedang mabuk untuk dipakai beli alkohol dan melakukan perjudian. Sesuai firasat Halin, saat ia memarkirkan sepedanya di halaman depan rumah, ia mendengar suara ayahnya yang mulai mengamuk.
"Pasti ayah lagi mabuk, untung aku udah nyisain buat ibu dan lainnya," gumam Halin pelan dan melangkahkan kakinya ke rumah.
"Assalamualaikum, Halin sudah pulang," kata Halin sembari menutup pintu rapat.
Pak Bahari dengan mata merahnya dan yang sedang memarahi Bu Indah itu langsung menatap Halin, "nah lu pulang juga, mana uang hasil penjualan hari ini, hah?!"
Halin dengan gemetar mengambil uang yang telah dipisahkan tersebut dari sakunya dan langsung direbut oleh Pak Bahari.
"Cuman segini? Lu pasti masih ada duit kan? Jangan Bohong Halin!" Pak Bahari merogoh-rogoh saku celana Halin dan langsung mengambil semua uang hasil penjualan kue keringnya.
Pak Bahari tersenyum senang dan menepuk bahu Halin, "nah gini dong jadi anak, berguna, ga kayak adek-adek lu itu bisanya cuman jadi beban gue aja."
Pak Bahari melangkah pergi, tetapi Halin menahannya.Â
"Pak tolong sekali ini aja, itu uangnya buat ibu dan adek-adek Halin makan pak, sama buat ditabung juga."
Pak Bahari mendorong Halin sampai terjatuh ke lantai.
"Lihat muka gue, ada tampang peduli? Itu ya urusan lu lah, kerja lagi kek atau apa kek, duit hasil jual kue itu sudah tentu buat gue, dah ah gue mau pergi, males di rumah banyak beban."
Hati Halin langsung remuk ketika Pak Bahari menutup pintu dengan keras, Bu Indah langsung berlari ke arah Halin dan memeluk Halin dari belakang, seketika itu juga air mata Halin keluar.
"Ibu.. maaf bu, Halin ceroboh malah menyimpan semuanya di saku, gegara kecerobohan Halin, ibu dan adik-adik engga bisa makan hari ini."
Bu Indah masih terus memeluk Halin, "justru ibu yang harusnya meminta maaf pada Halin, maaf telah selalu merepotkan Halin dan terimakasih sudah menjadi anak yang kuat dan contoh baik untuk adik-adikmu, maaf ibu tidak bisa membantu banyak Halin."
Halin menggeleng, ia melepaskan pelukan ibunya dan berbalik menghadap ibunya yang ternyata sudah berkaca-kaca.
"Gapapa ibu, Halin seneng bisa bantu ibu, ini udah jadi tugasnya Halin."
Bu Indah tersenyum, lantas memeluk kembali Halin.
Pintu rumah kembali dibuka, memperlihatkan Upan, Gema, Basgara, serta Isky.Â
"Napa nih?" Tanya Basgara melihat Halin dan Bu Indah berpelukan di lantai.Â
Melihat keempat adiknya sudah pulang sekolah, Halin langsung mengusap air mata dan melepaskan pelukannya, ia segera bangkit yang diikuti oleh Bu Indah.
"Gapapa, eh kalian udah pulang toh, kalian lapar kan?" Tanya Bu Indah sembari berjalan menuju dapur.
"Iyalah habis sekolah, habis mikir pasti lapar lah bu, makan apa gitu?" Tanya balik Basgara, anaknya yang keempat itu memang sedikit mewarisi sifat Pak Bahari yang kurang sopan.Â
"Maaf ya, kalian makan dulu tahu sama tempe." Jawab Bu Indah.
Basgara berdecak, "lagi? emang Kak Halin ga kerja?"
Halin menghampiri Basgara yang sudah duduk di kursi makan dan ikut duduk, "aku kerja kok."
Basgara menyeringai dan melipat kedua tangannya ke dada, "diambil bapak?"
Halin terdiam.
Basgara tertawa, "lemah."
Bu Indah membawa tahu dan tempe yang sudah siap disantap, "Basgara gak boleh gitu sama kakakmu sendiri."
"Lah emang bener bu, lemah banget kakak, terus ya si bapak tua itu kerja dong bu jangan cuman ngandelin Kak Halin."
"Sudahlah Basgara, kamu ngomen mulu dari tadi bikin suasana runyam aja." Itu bukan Bu Indah yang menjawab, tetapi Gema, anak ketiga yang paling bijaksana.Â
"Gapapa si aku makan tahu tempe juga, lagian yang penting bisa makan, selamat makan," ujar Upan, anak kedua yang selalu terima apa adanya.
"Kalau aku sih yang penting semuanya makan, ga kayak Basgara yang selalu ceplas ceplos mentingin diri sendiri," ucap Isky, anak kelima yang sering gaduh dengan Basgara dan terbukti dengan ucapannya tadi, ia berhasil membuat Basgara marah.
Bu Indah hanya tersenyum, walau hati dan pikirannya masih tidak baik, ia bersyukur anak-anaknya masih bisa makan dan masih sehat. Bu Indah pergi ke kamar untuk memberi makan Damari dan Surya.
Hari-hari berlalu dengan biasanya, Halin bersekolah sembari mengantar jualannya dan Pak Bahari yang kadang-kadang merampas uang hasil jualannya. Namun, suatu hari, tepatnya di hari Sabtu jadwalnya untuk berjualan ke pasar, tiba-tiba saja Pak Bahari yang sedang duduk santai sembari merokok itu mencegat Halin dan membuat Halin gemetar.
"Jadwal kepasar ya?" Tanya Pak Bahari.
Halin mengangguk pelan.
Ayahnya itu mengangguk paham dan menepuk pelan bahu Halin, "hati-hati, semoga dagangannya laku, tenang saja, hari ini bapak tidak merampas uangmu, karena bapak sudah cukup, maaf kalau bapak selalu kasar ke kalian, terutama kepadamu Halin, terimakasih sudah menjadi anak kami yang kuat."
Halin termangu, karena bingung menjawab apa, ia lagi-lagi mengangguk pelan dan pamit untuk pergi ke pasar.
Di jalan sembari mengayuh sepedanya ia sesekali terus mencubit pipinya, takut hanya mimpi, tapi itu terasa sakit, aneh, ayahnya yang selalu berkata kasar, tinggi, dan sering memukul itu tiba-tiba berkata lembut dan perkataannya kurang lebih sama seperti ibunya.
Hati Halin benar-benar hangat, dengan semangat ia mengayuh sepedanya menuju pasar, tetapi baru saja ia memarkirkan sepedanya di pasar, ia melihat orang-orang ricuh berdesakan keluar dari pasar, semua berantakan, karena penasaran, anak berumur 15 tahun itu melihat ke sumber kericuhan dan ternyata ada gelombang air yang sangat besar itu sedang menuju ke pasar yang berarti itu datang dari arah rumahnya berada karena rumahnya benar-benar tak jauh dari pantai berada.Â
Halin langsung panik dan berlari menuju rumahnya melalui jalan pintas. Dengan penuh ketegangan, ia sampai di lokasi rumahnya, namun yang ia temukan hanyalah reruntuhan dan puing-puing. Hatinya hancur melihat rumah yang sudah hancur. Di tengah reruntuhan, Halin mendengar suara tangisan dua anak laki-laki.
Halin segera mencari sumber suara dan akhirnya menemukan Damari dan Surya yang terjebak di reruntuhan bekas kamar mereka. Kedua anak kecil itu terlihat sangat ketakutan dan kedinginan.
"Kak Halin!" seru Damari, mata mereka yang masih basah dengan air mata.
Halin melihat Damari yang kesusahan menahan kayu agar tidak jatuh pada dirinya dan terus mencoba untuk menarik Surya yang kakinya terhimpit. Halin berusaha meraih mereka dan membantu mereka keluar dari reruntuhan. Dengan susah payah, Halin berhasil mengangkat puing-puing yang menimpa mereka dan menyelamatkan mereka dari situ.
Halin memeluk kedua adiknya dengan erat, air mata mengalir di pipinya. "Kalian baik-baik saja?" tanyanya dengan suara gemetar.
Damari dan Surya mengangguk lemah. "Kami takut, Kak," jawab Surya sambil menggigil.
"Kita harus segera pergi dari sini," kata Halin. "Mari kita cari tempat yang aman."
Dengan hati yang berat, Halin membawa Damari dan Surya menjauh dari reruntuhan. Mereka harus segera mencari tempat yang aman, mengingat seluruh desa terdampak oleh bencana ini.
Halin dan adik-adiknya berlari ke arah yang lebih tinggi, menjauh dari pantai. Mereka melewati puing-puing dan reruntuhan yang menutupi jalan, berharap menemukan tempat yang aman. Setelah beberapa jam berlari dan mencari, mereka akhirnya menemukan sebuah panti asuhan yang baru saja dibuka sebagai tempat perlindungan bagi korban bencana.Â
Halin dan kedua adiknya meminta izin untuk menetap sementara sampai keadaan membaik dan petugas disana yang ramah dan baik itu mengizinkan. Dua minggu lamanya mereka menetap disana, mendapatkan perlindungan, dan kebutuhan lainnya.
Setelah keadaan mulai membaik serta Halin dan kedua adiknya mulai menyesuaikan diri dengan kehidupan baru mereka, sebuah kejutan tak terduga datang. Seorang keluarga kaya raya yang mengetahui keadaan mereka melalui berita bencana, datang ke panti asuhan untuk bertemu dengan Halin dan adik-adiknya.
Keluarga tersebut, yang terdiri dari seorang pasangan suami istri dan dua anak remaja, menyatakan keinginan mereka untuk mengadopsi Halin dan adik-adiknya. Mereka menawarkan rumah dan kehidupan yang penuh kasih sayang serta kesempatan pendidikan yang lebih baik.
Halin terkejut dan merasa tidak percaya. Dengan air mata bahagia, dia memeluk adik-adiknya dan berterima kasih kepada keluarga tersebut. "Kami tidak pernah membayangkan akan mendapatkan keluarga baru yang begitu baik. Terima kasih atas segala bantuan dan kasih sayangnya."
Di rumah baru mereka yang indah, Halin, Damari, dan Surya merasakan kebahagiaan yang belum pernah mereka alami sebelumnya. Ruang makan yang penuh dengan makanan lezat, kamar tidur yang nyaman, dan perhatian penuh kasih dari keluarga baru mereka membuat mereka merasa disambut dengan hangat. Halin melihat senyum di wajah Damari dan Surya, dan meskipun hatinya merasa lega melihat mereka bahagia, ada rasa hampa yang terus menyelinap dalam pikirannya.
Setiap malam sebelum tidur, Halin sering merenung tentang keluarga lamanya. Di tengah kebahagiaan baru mereka, ingatan tentang ayah, ibu, dan keempat adiknya---Upan, Gema, Basgara, dan Isky---selalu kembali menghantui pikirannya. Namun, seiring waktu, Halin mulai menemukan cara untuk memaafkan ayahnya. Meskipun perbuatan ayahnya sangat menyakitkan, dia menyadari bahwa amarah dan kebencian hanya akan membebaninya lebih lanjut. Halin juga merasa rindu yang mendalam terhadap ibu dan keempat adiknya yang hilang.Â
Dengan perasaan campur aduk, Halin menutup mata dan berdoa. Dia berharap agar kenangan tentang keluarga lamanya akan memberikan kekuatan dan inspirasi untuk menjalani kehidupan baru mereka dengan penuh kasih sayang dan syukur. Dan meskipun mereka tidak lagi bersama, cinta dan kenangan mereka akan selalu hidup dalam hatinya.
Di tengah-tengah kegelapan dan kesedihan yang pernah melingkupi hidupnya, Halin menemukan secercah harapan. Seperti cahaya yang menerangi ruang gelap, kehadiran keluarga baru dan kesempatan baru dalam hidupnya memberi Harapan baru bagi masa depannya. Dia menyadari bahwa, meskipun kegelapan bencana tsunami telah membawa penderitaan yang mendalam, secercah harapan itu kini membimbingnya menuju kehidupan yang lebih baik.
Halin bertekad untuk menghargai setiap momen dari kehidupan baru mereka sambil terus mengenang dan menghargai masa lalu yang telah membentuknya. Setiap kali dia melihat Damari dan Surya tersenyum, dia merasa semangat dan kehadiran keluarga baru memberikan kekuatan untuk melanjutkan hidup dengan penuh harapan dan kasih.
Follow Instagram @kompasianacom juga Tiktok @kompasiana biar nggak ketinggalan event seru komunitas dan tips dapat cuan dari Kompasiana
Baca juga cerita inspiratif langsung dari smartphone kamu dengan bergabung di WhatsApp Channel Kompasiana di SINI