Mohon tunggu...
Anne Levwingston
Anne Levwingston Mohon Tunggu... Mahasiswa - Mahasiswi Jurusan Pendidikan Bahasa dan Sastra Indonesia Angkatan 2023 Universitas Pendidikan Indonesia

Hobi saya adalah Membaca dan Menulis sebuah karangan yang bisa dikenang semua orang selamanya, saya sangat berminat pada dunia kependidikan, bahasa, sastra, sejarah, film, dan berbagai hal yang menurut saya akan menjadi konspirasi karena saya sangat menyukai hal yang misteri.

Selanjutnya

Tutup

Cerpen

Secercah Harapan dalam Kegelapan

2 September 2024   09:35 Diperbarui: 2 September 2024   09:38 51
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Cerpen. Sumber ilustrasi: Unsplash

"Gapapa si aku makan tahu tempe juga, lagian yang penting bisa makan, selamat makan," ujar Upan, anak kedua yang selalu terima apa adanya.

"Kalau aku sih yang penting semuanya makan, ga kayak Basgara yang selalu ceplas ceplos mentingin diri sendiri," ucap Isky, anak kelima yang sering gaduh dengan Basgara dan terbukti dengan ucapannya tadi, ia berhasil membuat Basgara marah.

Bu Indah hanya tersenyum, walau hati dan pikirannya masih tidak baik, ia bersyukur anak-anaknya masih bisa makan dan masih sehat. Bu Indah pergi ke kamar untuk memberi makan Damari dan Surya.

Hari-hari berlalu dengan biasanya, Halin bersekolah sembari mengantar jualannya dan Pak Bahari yang kadang-kadang merampas uang hasil jualannya. Namun, suatu hari, tepatnya di hari Sabtu jadwalnya untuk berjualan ke pasar, tiba-tiba saja Pak Bahari yang sedang duduk santai sembari merokok itu mencegat Halin dan membuat Halin gemetar.

"Jadwal kepasar ya?" Tanya Pak Bahari.

Halin mengangguk pelan.

Ayahnya itu mengangguk paham dan menepuk pelan bahu Halin, "hati-hati, semoga dagangannya laku, tenang saja, hari ini bapak tidak merampas uangmu, karena bapak sudah cukup, maaf kalau bapak selalu kasar ke kalian, terutama kepadamu Halin, terimakasih sudah menjadi anak kami yang kuat."

Halin termangu, karena bingung menjawab apa, ia lagi-lagi mengangguk pelan dan pamit untuk pergi ke pasar.

Di jalan sembari mengayuh sepedanya ia sesekali terus mencubit pipinya, takut hanya mimpi, tapi itu terasa sakit, aneh, ayahnya yang selalu berkata kasar, tinggi, dan sering memukul itu tiba-tiba berkata lembut dan perkataannya kurang lebih sama seperti ibunya.

Hati Halin benar-benar hangat, dengan semangat ia mengayuh sepedanya menuju pasar, tetapi baru saja ia memarkirkan sepedanya di pasar, ia melihat orang-orang ricuh berdesakan keluar dari pasar, semua berantakan, karena penasaran, anak berumur 15 tahun itu melihat ke sumber kericuhan dan ternyata ada gelombang air yang sangat besar itu sedang menuju ke pasar yang berarti itu datang dari arah rumahnya berada karena rumahnya benar-benar tak jauh dari pantai berada. 

Halin langsung panik dan berlari menuju rumahnya melalui jalan pintas. Dengan penuh ketegangan, ia sampai di lokasi rumahnya, namun yang ia temukan hanyalah reruntuhan dan puing-puing. Hatinya hancur melihat rumah yang sudah hancur. Di tengah reruntuhan, Halin mendengar suara tangisan dua anak laki-laki.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
  6. 6
Mohon tunggu...

Lihat Konten Cerpen Selengkapnya
Lihat Cerpen Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun