Terdampak oleh pandemi Covid-19, bisnis perusahaan mengalami penurunan sebesar 80%. Perusahaan terpaksa mengurangi jumlah pegawai, terutama fungsi administrasi.
Kini, Tiwi menangani kegiatan administrasi pembukuan, keuangan, pembelian, dan personalia. Dia merasa beban kerjanya bertambah dan menghadap atasannya untuk meminta kenaikan gaji.
Setelah melalui berbagai pertimbangan, atasannya memutuskan untuk memberinya tunjangan sebesar 35% dari gaji pokoknya. Dengan demikian, total take home pay Tiwi kini berjumlah 48% di atas UMP Jakarta.
Menurut atasannya, beban kerja Tiwi sebetulnya tidak bertambah, jika tidak ingin dikatakan berkurang. Namun, dia memaklumi bahwa pekerjaan Tiwi saat ini lebih kompleks dibanding sebelumnya, karena jenis pekerjaannya lebih beragam.
Saya bertanya berapa besar kenaikan take home pay yang diharapkan Tiwi. Dia menyebut satu angka yang membuat saya terdiam sejenak.
Sejujurnya ekspektasi Tiwi tidak sebanding dengan kontribusi yang dia berikan, terlalu tinggi menurut saya. Akhirnya saya paham mengapa atasannya meminta saya memberinya sesi konseling.
Ekspektasi gaji: kontribusi versus kebutuhan
Saya mulai dengan bertanya mengapa Tiwi berpikir bahwa dia layak diberi remunerasi sebesar ekspektasinya.
Saya sampaikan bahwa total take home pay yang dia terima saat ini sudah dalam range ideal. Saya ingin memahami, hasil kerja yang mana yang membuat Tiwi merasa bahwa dia masih underpaid.
“Saya hanya coba-coba saja saat menyebut angka tersebut kepada atasan saya dan kepada ibu." jawabnya jujur.
“Coba-coba? Maksudmu, kalau dikabulkan syukur, kalau tidak dikabulkan tidak apa-apa?”
“Kalau tidak dikabulkan, saya sedang berpikir apakah saya akan take it or leave it.”