Mendengar komentar tersebut, saya dan suami saling berpandangan. “Betul, dok. Awalnya saya memang merencanakan akan melahirkan tanggal 8 Juli. Ketika membuat rencana tersebut, saya hanya mempertimbangkan jadwal kerja. Tetapi tadi pagi saya sudah melihat ada sedikit pendarahan, dan sampai sekarang saya sudah merasakan kontraksi yang teratur.”
Dokter itu memandang saya dengan wajah kusut, terlihat jelas beliau tidak menyukai jawaban saya. “Ya sudah, saya beri kamu suntikan saja.” katanya, sejurus kemudian.
“Maaf, suntikan apa ya, dok?” saya bertanya dengan agak bingung.
“Suntikan untuk mempertahankan kandungan kamu, melahirkannya sesuai jadwal saja, tanggal 8 Juli.”
Saya pandangi wajahnya yang kusut. Entah mengapa, saya merasa tidak tenang. Bagaimana mungkin dokter memutuskan untuk memberi saya suntikan yang akan mempertahankan janin di dalam kandungan untuk sebelas hari ke depan, tanpa terlebih dahulu memeriksa kondisi saya dan kondisi janin saya?
“Dok, tapi … saya kok merasa sekarang sudah waktunya …. meskipun tidak terlalu sakit, kontraksinya cukup teratur ….”
“Ya sudah, kalau kamu tetap ingin melahirkan sekarang, kita lakukan saja. Tapi saya tidak mau tanggung jawab jika nanti anakmu masuk NICU.”
Sekali lagi saya dan suami saling berpandangan. Bingung.
“Bagaimana?” dokter kembali bertanya.
“Saya tidak mau ambil risiko bayi saya masuk NICU.” Jawab saya pelan.
“Ya sudah, kita suntik kalau begitu.”