Selasa pagi yang cerah. Mobil yang saya tumpangi berhenti di depan sebuah kantor di daerah Permata Hijau. Agenda saya pagi itu adalah mendampingi anak bungsu pemilik perusahaan tempat saya bekerja untuk menghadiri penandatanganan Akta Jual Beli apartemen yang baru dibelinya. Ketika kamu bekerja di suatu perusahaan keluarga, kamu harus siap untuk sesekali mengerjakan tugas di luar job descriptions seperti yang saya agendakan pagi itu. Bagi saya, penugasan seperti itu adalah tanda bahwa saya diberi kepercayaan lebih, dan saya melakukannya dengan senang hati.
Sebelum sopir memarkirkan mobil dengan sempurna, saya merasakan adanya kontraksi di perut disertai rasa adanya lendir yang keluar dari vagina. Tergesa-gesa saya turun dari mobil. Dengan sedikit berlari, saya menuju ke kamar kecil. Sambil menenangkan diri saya memeriksa celana dalam saya. Ada lendir bercampur darah di sana. Sekali lagi saya merasakan kontraksi. Ah, apakah ini hanya Braxton Hicks, hanya kontraksi palsu? Ataukah anak di dalam rahim saya sudah tidak sabar ingin melihat dunia?
Sambil menenangkan diri saya melangkah keluar dari kamar kecil menuju tempat resepsionis. Saya menelepon rekan kerja saya dan meminta bantuannya untuk mengerjakan beberapa pekerjaan yang harus saya selesaikan pada hari itu.
Setelah menyelesaikan urusan kantor, saya menelepon suami saya. Pagi itu dia sedang menghadiri rapat pemilihan pengurus Asosiasi Persepatuan Indonesia (Apresindo) di hotel Twin Plaza. “Sekarang kamu pulang dan siapkan keperluan untuk ke rumah sakit. Saya juga akan izin pulang. Kita berangkat sama-sama dari rumah.” Suami saya memberi instruksi sebelum menutup pembicaraan.
Lima belas menit kemudian, saya sudah sampai di rumah. Saya sempatkan diri untuk mandi dan keramas. Setelah menyiapkan baju dan keperluan lainnya, saya menunggu suami pulang sambil menikmati teh manis yang dibuatkan Mama. Sudah beberapa kali saya merasakan kontraksi berulang.
Kontraksi terjadi setiap 15 – 20 menit. Dan setiap kali terjadi, berlangsung sekitar 1 menit. Sambil menunggu suami saya tiba di rumah, untuk mengalihkan perhatian dari rasa sakit kontraksi, saya bermain dengan anak ketiga yang saat itu masih berusia satu tahun sembilan bulan.
Kami tiba di rumah sakit sekitar pukul 10.00 pagi. Kepada suster yang menyambut saya di poli obgyn, saya jelaskan bahwa saya memang sudah merencanakan operasi Caesar pada tanggal 8 Juli sekalian mau sterilisasi. Namun karena sejak pagi sudah beberapa kali merasakan kontraksi dan ada sedikit pendarahan, maka saya memutuskan untuk memeriksakan diri ke dokter. “Dokter sedang di kamar operasi, Ibu, silakan menunggu.”
Hampir dua jam kami menunggu. Akhirnya, suster memanggil saya masuk ke ruang periksa. Setelah suster mengambil data tekanan darah dan berat badan, saya dipersilakan berbaring sambil menunggu dokter tiba. Sejurus kemudian, dokter memasuki ruangan. Raut wajahnya menunjukkan kelelahan yang amat sangat.
“Saya baru selesai melakukan operasi Caesar. Operasinya berlangsung hampir dua jam. Saya capek sekali,” hanya itu yang dikatakannya sambil mempelajari status saya. “Ini rencananya mau melahirkan dengan operasi Caesar tanggal 8 Juli, masih sebelas hari lagi!”
Mendengar komentar tersebut, saya dan suami saling berpandangan. “Betul, dok. Awalnya saya memang merencanakan akan melahirkan tanggal 8 Juli. Ketika membuat rencana tersebut, saya hanya mempertimbangkan jadwal kerja. Tetapi tadi pagi saya sudah melihat ada sedikit pendarahan, dan sampai sekarang saya sudah merasakan kontraksi yang teratur.”
Dokter itu memandang saya dengan wajah kusut, terlihat jelas beliau tidak menyukai jawaban saya. “Ya sudah, saya beri kamu suntikan saja.” katanya, sejurus kemudian.
“Maaf, suntikan apa ya, dok?” saya bertanya dengan agak bingung.
“Suntikan untuk mempertahankan kandungan kamu, melahirkannya sesuai jadwal saja, tanggal 8 Juli.”
Saya pandangi wajahnya yang kusut. Entah mengapa, saya merasa tidak tenang. Bagaimana mungkin dokter memutuskan untuk memberi saya suntikan yang akan mempertahankan janin di dalam kandungan untuk sebelas hari ke depan, tanpa terlebih dahulu memeriksa kondisi saya dan kondisi janin saya?
“Dok, tapi … saya kok merasa sekarang sudah waktunya …. meskipun tidak terlalu sakit, kontraksinya cukup teratur ….”
“Ya sudah, kalau kamu tetap ingin melahirkan sekarang, kita lakukan saja. Tapi saya tidak mau tanggung jawab jika nanti anakmu masuk NICU.”
Sekali lagi saya dan suami saling berpandangan. Bingung.
“Bagaimana?” dokter kembali bertanya.
“Saya tidak mau ambil risiko bayi saya masuk NICU.” Jawab saya pelan.
“Ya sudah, kita suntik kalau begitu.”
Sebelum dokter sempat memberi instruksi kepada suster, saya menyahut, “Saya tidak mau disuntik.”
Kini, giliran dokter dan suami saya yang memandang saya dengan ekspresi tidak mengerti.
“Jadi, mau tetap operasi hari ini atau mau disuntik agar kandungannya bisa bertahan sebelas hari lagi?” dokter bertanya sambil memandang saya dengan sebal.
“Tidak mau dua-duanya,” jawab saya sambil berusaha bangun. Saya pegang tangan suami saya. “Ayo, kita pulang saja.”
Saya tidak ingat prosedur administrasi seperti apa yang saya jalani saat itu dan bagaimana respons dokter dan para suster. Yang saya ingat hanya satu hal. Saya tidak mau merisikokan nyawa saya dan nyawa anak saya di tangan seorang dokter yang tidak mau bertanggung jawab.
Menurut saya, langsung memutuskan untuk menunda persalinan hingga sebelas hari kemudian tanpa memeriksa kondisi janin dari pasien yang sudah mengalami pendarahan dan kontraksi, adalah suatu kecerobohan. Dan saya tidak mau menyerahkan diri saya dioperasi oleh dokter yang ceroboh.
Karena sudah jam makan siang, kami memutuskan untuk pulang ke rumah. Dalam perjalanan, suami saya bertanya apa rencana saya. “Pulang saja. Nanti sampai rumah baru kita pikirkan.”
Sampai di rumah, Mama bertanya mengapa kami pulang lagi. Saya hanya menceritakan bahwa dokter menganggap belum waktunya saya melahirkan, tetapi saya berniat mencari opini dari dokter yang lain. Mama menyuruh saya tiduran, lalu segera masuk ke dapur untuk menyiapkan makan siang bagi saya dan suami saya.
Sambil makan, saya teringat dokter kandungan senior yang telah membantu saya ketika melahirkan anak saya yang pertama sampai yang ketiga. “Habis makan saya coba telpon tempat praktek dokter Harry ya … semoga dokternya tidak keluar kota dan semoga nanti sore beliau praktek.”
“Kamu tidak pernah periksakan diri ke dokter Harry sejak awal kehamilan, lalu tiba-tiba kamu mau datang dan minta beliau membantu proses persalinan. Kamu yakin dokternya mau?” tanya suami saya.
Sejak mengandung anak pertama hingga anak ketiga, saya menjadi pasien dokter Harry. Namun, menjelang ulang tahun pertama anak ketiga, kami pindah rumah. Dan ketika saya hamil anak keempat, kami memutuskan untuk memeriksakan ke dokter kandungan yang praktek dekat rumah. Semoga dokter Harry berkenan membantu saya.
Selesai makan, saya telepon suster di tempat praktek dokter Harry. “Sore ini dokter mulai praktek jam lima. Tapi pasien sudah penuh.”
“Sus, tolonglah, selipkan satu lagi saja, ini emergency. Saya sudah merasakan kontraksi dari pagi.”
“Baiklah, Ibu langsung datang saja ya.”
Jalanan agak macet ketika kami berangkat ke tempat praktek dokter Harry. Saat kami tiba, sedang ada pasien lain yang diperiksa. Setelah pasien tersebut keluar dari ruang praktek dokter, suster meminta saya dan para pasien yang lain untuk menunggu, “Dokter mau istirahat makan malam. Tunggu dokter selesai makan ya.”
“Sus, bolehkah minta tolong dokter periksa saya sebentar saja?”
Suster tersebut masuk ke ruang praktek dokter. Tak lama kemudian, dia keluar lagi dan mempersilakan kami masuk.
Dokter Harry menyambut kami dengan ramah. Setelah mendengar penuturan saya, beliau melakukan pemeriksaan USG. “Kamu dengar detak jantung anakmu?” beliau menatap saya sambil tersenyum. Tatapan dan senyumnya yang kebapaan sangat menenangkan hati saya. Sambil menunjuk layar monitor, beliau berkata, “Lihat, ini kepalanya, ini tangannya, ini kakinya … perkembangannya sempurna … kehamilan kamu sudah memasuki minggu ke-40 ya … ini sudah 39 minggu dan 4 hari … anakmu sehat … dan kamu tidak salah, sudah saatnya dia dilahirkan.”
Suami saya menggenggam erat tangan saya dan kami saling berpandangan. Saya dapat melihat ekspresi kelegaan dan harapan yang terpancar di wajahnya. O Yesus, Maria! Terima kasih Bunda Maria yang telah setia mendampingi dan mendoakan kami pada Putramu. Terima kasih Yesus yang memampukan aku melalui perjalanan sepanjang hari ini.
Terima kasih Allah Bapa yang telah menyediakan semua yang kami perlukan dan menuntun kami langkah demi langkah. Terima kasih Allah Roh Kudus yang telah mengobarkan keberanian dalam hatiku dan keteguhan untuk terus berjuang. Terima kasih … terima kasih seribu … saya sungguh merasa amat sangat lega … saya sungguh merasa ada selaksa beban terangkat dari hati dan pikiran saya.
Dokter Harry menyudahi pemeriksaannya dan membuat surat pengantar. Sambil menyerahkan surat, beliau menepuk lembut pundak saya. “Setelah makan malam dan semua pasien selesai, saya segera berangkat. Kita bertemu di rumah sakit nanti malam.”
Sepanjang perjalanan ke rumah sakit, kami memutar album lagu rohani. Suara Nikita yang menyanyikan lagu “Dia Hanya Sejauh Doa” membuat kami ikut bersenandung. "Bila kau rasa gelisah di hatimu, bila kelam kabut tak menentu hidupmu, ingat, masih ada Seorang penolong bagimu, Yesus tak pernah jauh darimu. Bila cobaan menggodai hatimu, bila sengsara menimpa keadaanmu, ingat, Yesus takkan pernah jauh darimu, Dia selalu pedulikan kamu. Berseru memanggil nama-Nya, berdoa, Dia 'kan segera menghampiri dirimu, percaya, Dia tak jauh darimu, Dia hanya sejauh doa."
Malam itu, 27 Juni 2000 pukul 22.30, anak bungsu saya lahir. Anak perempuan yang keempat. Meskipun air ketuban sudah berwarna hijau, tetapi anak saya lahir sehat. Berat badannya 3,02 kg, dengan tinggi badan 49 cm dan lingkar kepala 33,5 cm. Anak saya sangat normal! Tuhan sungguh sangat baik!
Mengingat kejadian yang saya alami pada pagi hari itu, rasanya saya tidak akan nekad memutuskan operasi ketika dokter yang seharusnya melakukan operasi tersebut menyatakan tidak mau bertanggung jawab jika anak saya harus masuk NICU. Seandainya saya tetap memaksa untuk operasi dan apa yang dia khawatirkan terjadi, atau bahkan kemungkinan yang lebih buruk lagi … seandainya operasi tetap dijalankan dan terjadi sesuatu yang tidak diinginkan atas diri saya atau anak saya … saya tak berani membayangkannya!
Tetapi, mengingat air ketuban yang sudah berwarna hijau pada saat anak saya dilahirkan, saya pun tak berani membayangkan seandainya saya menuruti keinginan dokter untuk memberi suntikan dan memaksanya bertahan dalam kandungan saya sebelas hari lagi. Bagaimana jika anak saya tidak mampu bertahan?
Seorang kolega suami saya yang mendengar sharing pengalaman kami, bercerita tentang bahaya bagi janin jika air ketuban sudah berwarna hijau. Air ketuban hijau mengindikasikan bayi sudah buang air besar di dalam rahim. Menurut penuturan teman tersebut, kemungkinan besar terjadinya bayi buang air besar sebelum dilahirkan adalah karena terjadi penurunan fungsi plasenta akibat kehamilan lewat waktu (overdue). Tetapi usia kehamilan saya masih dalam batas 40 minggu, belum overdue. Jadi menurut teman tersebut, kemungkinan bayi saya buang air besar dalam rahim karena mengalami stress sepanjang hari.
Teman itu juga mengingatkan kami untuk bersyukur karena proses persalinan yang berlangsung dengan baik. Sekali lagi dia mengingatkan kami tentang bahaya bagi janin jika bayi sudah buang air besar di dalam sebelum dilahirkan. Air besar yang dibuang bayi dalam kandungan disebut mekonium. Jika bayi menghirup campuran antara mekonium dan air ketuban, akan terjadi Meconium Aspiration Syndrome (MAS).
“MAS adalah masalah serius yang dapat berdampak langsung pada kesehatan bayi baru lahir,” katanya. “Mekonium di paru-paru dapat menyebabkan peradangan dan infeksi. MAS juga meningkatkan risiko bayi mengalami hipertensi paru persisten. Terjadi tekanan darah tinggi di pembuluh paru-paru, yang kemudian membatasi aliran darah dan membuat bayi sulit bernapas dengan benar.”.
“Satu lagi,” lanjutnya, “MAS juga dapat membatasi aliran oksigen ke otak, yang dapat menyebabkan kerusakan otak permanen. Meskipun kasus ini sangat jarang terjadi, tetapi sedih sekali, hal itu terjadi pada putra sulung kami.”. Saya ikut sedih melihat ekspresi wajahnya.
Merefleksikan pengalaman ini, saya sungguh tak henti bersyukur atas kebaikan Tuhan. Dalam waktu kurang dari duabelas jam, Tuhan mengubah masalah yang saya alami di pagi hari menjadi solusi yang sempurna di malam hari. Ketika kami seolah-olah berada di jalan buntu, Dia menjaga saya dan anak saya, Dia menunjukkan jalan yang lain dan menuntun kami kepada orang baik yang telah disiapkannya untuk menolong kami.
Kini, duapuluh tahun telah berlalu. Putri bungsu kami telah menjadi seorang mahasiswi dan sebentar lagi akan memasuki semester kelima. Saya menyadari bahwa saya hanya manusia biasa dengan segala kelemahannya. Kelemahan saya membuat saya jauh dari kriteria orangtua ideal dan membuat saya seringkali mengecewakan dan menyakiti hati anak saya tanpa saya sadari. Namun, saya akan selalu berdoa semoga dia selalu mengingat bagaimana Tuhan menyelamatkan dia sejak hari pertama dirinya dilahirkan. Semoga cinta Tuhan senantiasa menuntunnya menyusuri lorong-lorong kehidupannya, menuju kepenuhan rencana indah Tuhan untuk hidupnya.
Dan pada hari ulang tahunnya yang keduapuluh ini, saya ingin menghadiahkan sebuah lagu yang saya harapkan dapat menjadi pedoman baginya di dalam menjalani hari-hari yang terbentang di hadapannya …
Jakarta, 27 Juni 2020
Siska Dewi
Artikel ini juga akan ditayangkan pada hari ini di blog kami: https://ajournalofblessings.wordpress.com/
Baca konten-konten menarik Kompasiana langsung dari smartphone kamu. Follow channel WhatsApp Kompasiana sekarang di sini: https://whatsapp.com/channel/0029VaYjYaL4Spk7WflFYJ2H