Mohon tunggu...
Herlianiz
Herlianiz Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penggemar berat Dan Brown yang juga menyenangi Jostein Gaarder dan Linda Christanty serta terobsesi pada pahlawan super Iron Man.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menyibak Selimut Malam (FFK)

18 Maret 2011   13:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

Rasanya belum lama ketika ruangan itu dipenuhi gelak tawa tiga anaknya. Ketika Annisa beranjak remaja dan terlihat makin jelita, setiap hari ia bermimpi, anak gadisnya itu akan menikah dengan lelaki tampan, kemudian mereka akan memberinya cucu yang lucu. Bila Annisa dan suaminya tetap tinggal di kota ini, ia akan meminta mereka tinggal di rumah besar ini, menemaninya menikmati sisa-sisa hidupnya. Namun mimpinya itu tampaknya segera hilang, terbang bersama perginya sang puteri dari rumahnya.

Kriiing...! kriiing...! Dering telpon memecah senyap. Perempuan yang masih bugar di usia enampuluhan itu melangkah cepat. Ada sesuatu yang membuatnya ingin segera mengangat telpon.

"Sayangku, apa kabarmu?" Suara berat dan hangat yang sangat dikenalnya terdengar dari ujung sana. Suara yang sebenarnya teramat dirindukannya. Suara mantan suaminya. Meski telah bercerai, lelaki itu masih rajin menelpon, terutama menanyakan kesehatannya. Lelaki bermata biru yang mengabdikan hidupnya untuk menyelamatkan orangutan itu tak sedetikpun berhenti mencintainya. Ia pergi bukan karena tidak cinta pada istrinya. Kalau saja perempuan itu tidak berkeras hati, lelaki itu akan menerimanya kembali dalam dekapannya. Beberapa tahun lalu, setelah perempuan itu pensiun, sang mantan suami mengajak rujuk demi menjalani masa tua bersama. Namun perempuan itu bergeming. Ia tak mau hidup di hutan bersama kawanan orangutan.

"Halo, David," cepat-cepat perempuan itu menjawab, "saya baik-baik saja. Kamu sendiri bagaimana?"

Mereka berbasa-basi sejenak hingga mantan suaminya, David, mulai membujuknya.

"Aku akan hadir juga, Sofia. Tolonglah. Aku mengerti bila engkau masih marah padaku, Sofia. Namun jangan kau lampiaskan rasa marah itu padanya. Ia satu-satunyabidadari kita," suara David bergetar, terdengar isak lembut di ujungnya. "Ingatlah Sofia, hubungan kita retak meskipun dulu orangtuamu merestui pernikahan kita. Apa yang akan terjadi bila...,"

"Cukup, David...," tangis Sofia pecah. Ia sesenggukan sambil mendekap gagang telepon. Perempuan itu tahu bahwa anak-anaknya bukanlah miliknya. Mereka memiliki hidup sendiri meskipun mereka bagian dari tubuh dan jiwanya. Mereka bagian dari masa lalunya yang menjadi milik masa depan. Ibarat hari, ia telah melewati masa senja, sebentar lagi malam akan tiba mendekap hidupnya. Sedangkan anak-anaknya, terutama Annisa, baru beranjak meniti pagi. Apa jadinya bila sang ibu justru menjadi ganjalan yang menghambat langkahnya? Isak Sofia semakin menjadi.

Hati David bertambah remuk. Ia tak tahan mendengar kekasihnya menangis sendirian di ujung sana. Baginya, Sofia tak pernah terceraikan dari hatinya, ia hidup dalam jiwanya. "Sofia...," bisiknya, "Ijinkan aku menjemputmu dan membawamu kepernikahan anak kita. Masih ada waktu beberapa hari," David memohon.

"Beri aku waktu sehari lagi, David," Sofia terdengar mulai melunak.

"Aku akan menghubungi Haris dan Hendra," ucap David, "Terima kasih banyak,Sofia. Aku cinta padamu." Meskipun hampir 18 tahun bercerai, ia tak pernah lupa mengucapkan kata cinta untuk mengakhiri pembicaraan telepon dengan ibu anak-anaknya.

Perempuan itu menghabiskan harinya merenungi masa lalunya yang tidak sepenuhnya pahit. Mereka hidup bahagia hingga Annisa menginjak usia 7 tahun. Selebihnya gadis itu tumbuh dewasa tanpa sang ayah. Anak perempuanku telah menyimpan derita selama belasan tahun, mengapa aku tega menambah beban hidupnya? Berat nian derita yang kupikul akibat terpisahkan dari lelaki yang kucintai, apakah aku akan mewariskan derita ini pada anak perempuanku? Sudah gilakah diriku?

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun