Mohon tunggu...
Herlianiz
Herlianiz Mohon Tunggu... karyawan swasta -

Penggemar berat Dan Brown yang juga menyenangi Jostein Gaarder dan Linda Christanty serta terobsesi pada pahlawan super Iron Man.

Selanjutnya

Tutup

Puisi

Menyibak Selimut Malam (FFK)

18 Maret 2011   13:12 Diperbarui: 26 Juni 2015   07:40 457
+
Laporkan Konten
Laporkan Akun
Kompasiana adalah platform blog. Konten ini menjadi tanggung jawab bloger dan tidak mewakili pandangan redaksi Kompas.
Lihat foto
Bagikan ide kreativitasmu dalam bentuk konten di Kompasiana | Sumber gambar: Freepik

"Maafkan Masmu ini Nisa. Mas tidak bisa membantu."

Klik! Telepon diputus sepihak.

Annisa menghentikan laju mobilnya, lalu terisak dengan kepala menempel erat pada kemudi. Beban yang menghimpit terasa semakin berat saja. Setelah kemarin Haris, kakak sulungnya, menyatakan ketidaksetujuannya, kini giliran Hendra, kakaknya yang lain, bersepakat dengan sang ibu. Sulit sekali rasanya mencari orang yang mau mengerti dan memahami akan cintanya pada Erick.

Dalam diam batin Annisa bergejolak. Benarkah jalan yang telah dia pilih? Annisa mengerti benar kekhawatiran ibunya. Dia tentu tak ingin pahit perceraian yang pernah dialaminya terulang pada putri kesayangannya. Tapi Erick tak sama dengan ayah. Setidaknya itu yang Annisa yakini sebagai sebuah kebenaran. Erick bahkan rela meninggalkan tanah kelahirannya dan memilih untuk menetap di Indonesia. Semua demi cintanya yang tulus padaku. Tapi mengapa ibu tak pernah bersedia memberi restu. Tak cukupkah semua pengorbanan Erick untuk dapat meluluhkan hati ibu, Annisa membatin.

Kini, harapan satu-satunya hanyalah Om Tio. Adik bungsu ibunya itu begitu menyayangi Annisa sejak dahulu. Bagi Annisa, Om Tio adalah sosok pria pengganti ayahnya. Annisa menyalakan mobilnya, perlahan berjalan menuju kediaman Om Tio.

***

Pagi belum sepenuhnya melepaskan selimut malam ketika ibunda Annisa mengemasi sajadah dan mukenanya. Sejak sepertiga malam hingga saat subuh datang, perempuan yang sedang menapaki usia senja itu mengadu pada Sang Penentu.

"Ya, Tuhan, bila ini semua adalah kehendakMu, mohon ringankan hatiku untuk menerima keputusan anak perempuanku," begitu doa ia panjatkan.

Sambil terus melafalkan doa dalam hati, perempuan itu membuka jendela ruang keluarga satu persatu. Sejak Annisa meninggalkan rumah beberapa hari lalu, setiap hari rasa sepi menggigit ulu hati. Perihnya terasa hingga ke rahimnya. Di dekat akuarium, perempuan itu berhenti, memandangi si ikan louhan, satu-satunya teman yang sesekali ia ajak bicara. Teringat ia akan awal kehamilannya yang ketiga. Saat ayahanda Annisa tahu bahwa anak ketiga mereka perempuan, lelaki itu memondongnya penuh cinta. Bagai pengantin baru, mereka memutuskan berlibur dua minggu. Kenangan indah itu menari-nari di benaknya.

"Apa yang harus kulakukan?" Perempuan itu meraih stoples mungil berisi pakan ikan, menaburkan isinya sedikit ke dalam aquarium. Si ikan louhan naik ke atas, mulut lebarnya menangkapi butiran-butiran itu. Dua makhluk yang sama-sama kesepian itu bercengkerama dalam diam.

"Di masa tuaku, aku tak ingin kesepian sepertimu," bisik ibunda Annisa pada ikan yang mengapung dekat permukaan. "Sendirian di dalam aquarium seperti ini," berkata dalam hati, perempuan itu mengedarkan pandang ke ruang keluarga yang besar.

HALAMAN :
  1. 1
  2. 2
  3. 3
  4. 4
  5. 5
Mohon tunggu...

Lihat Konten Puisi Selengkapnya
Lihat Puisi Selengkapnya
Beri Komentar
Berkomentarlah secara bijaksana dan bertanggung jawab. Komentar sepenuhnya menjadi tanggung jawab komentator seperti diatur dalam UU ITE

Belum ada komentar. Jadilah yang pertama untuk memberikan komentar!
LAPORKAN KONTEN
Alasan
Laporkan Konten
Laporkan Akun